Berita
Berbagai Masalah Taklid
Cara-cara Mengetahui Mujtahid yang Memenuhi Syarat
pembahasan sebelumnya Ringkasan Fatwa Ayatullah Ali Khamenei, Daras Fikih Ibadah: Taklid
Mujtahid yang telah memenuhi syarat dapat diketahui dengan dua cara:
- Dengan cara ithmi’nan (keyakinan hati) yang diperoleh baik melalui informasi yang tersebar di masyarakat umum, atau melalui pembuktian pribadi, maupun
melalui cara-cara lainnya. - Dengan kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah (pakar agama) sekalipun tidak sampai mendatangkan ithmi’nan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 25, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 3)
Catatan:
Apabila terdapat kesaksian syar’i (seperti kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah) bahwa seorang mujtahid telah layak dan memenuhi syarat, maka kesaksian tersebut menjadi hujah syar’i selama tidak ada kesaksian lainnya yang bertentangan dengannya. Kesaksian semacam itu dapat dipegang sekalipun tidak sampai mendatangkan ithmi’nan. Pada kondisi seperti ini tidak diwajibkan mencari dan menetapkan adanya kesaksian yang bertentangan dengannya. (Ajwibah al- Istifta’at, No. 22 dan 27)
Cara-cara Memperoleh Fatwa Seorang Mujtahid
1. Mendengarnya langsung dari mujtahid yang bersangkutan
2. Mendengarnya dari dua atau seorang yang adil
3. Mendengarnya dari seseorang yang dianggap jujur
4. Merujuk kepada buku fatwa (risalah amaliyah)nya yang aman dari kekeliruan. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 25)
Catatan:
Dalam hal menukil fatwa seorang mujtahid dan menjelaskan hukum-hukum syar’i, tidak disyaratkan harus memperoleh izin darinya. Tetapi dalam melakukan hal itu tidak boleh salah dan keliru. Apabila ternyata salah dalam melakukan hal itu, maka ia wajib meluruskannya segera dan mengabarkan kepada orang-orang yang telah mendengar darinya. Dan si pendengar tidak diperkenankan mengamalkan apa yang ia dengar dari seseorang sampai ia merasa yakin akan kejujuran si penyampai. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 28)
Hukum-hukum ’Udul (Pindah Taklid)
Diperbolehkan ’udul kepada mujtahid yang tidak a’lam dalam beberapa kondisi berikut:
a. Pada masalah-masalah yang di dalamnya mujtahid a’lam tidak memiliki fatwa, sementara mujtahid yang tidak a’lam (di bawahnya) berfatwa dengan jelas dan tidak ber-ihtiyath.
b. Pada masalah-masalah yang di dalamnya fatwa mujtahid yang tidak a’lam tidak bertentangan dengan fatwa mujtahid a’lam.
c. Pada masalah-masalah yang di dalamnya fatwa a’lam menyalahi ihtiyath, sementara fatwa mujtahid yang tidak a’lam sesuai dengan ihtiyath. (Ajwibah al-
Istifta’at, No. 8, 19 dan 20)
Tempat-tempat Tidak Dibolehkan ’Udul:
a. ‘Udul dari mujtahid hidup kepada mujtahid hidup lainnya—secara ihtiyath wajib—tidak dibolehkan, kecuali mujtahid tersebut tidak memenuhi sebagian syarat marja’iyah. Misalnya marja’ yang kedua a’lam dibandingkan marja’ pertama dan fatwanya bertentangan dengan fatwa marja’ yang pertama.
b. Tidak boleh kembali bertaklid kepada mujtahid yang sudah mati setelah ‘udul darinya kepada mujtahid hidup dalam masalah-masalah yang di dalamnya ia sudah berpindah taklid darinya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 31, 38, 39, 45, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 5)
Catatan:
Adanya dugaan bahwa fatwa seorang marja’ a’lam itu tidak sesuai dengan zaman atau kondisi pada masanya atau sulit diamalkan, tidak bisa dijadikan sebagai alasan kebolehan ‘udul darinya kepada mujtahid lain. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 45)
Berbagai Masalah Taklid
- Ketika seorang mukalaf di tengah-tengah melakukan salat berbenturan dengan masalah yang ia belum ketahui hukumnya, ia dibolehkan mengamalkan salah satu dari dua pilihan yang dimungkinkannya sampai ia menyelesaikan salatnya. Tetapi setelah salat ia harus menanyakan masalah tersebut. Apabila ternyata apa yang telah ia lakukan itu menyebabkan batal salatnya, maka ia wajib mengulangi lagi salatnya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 6)
- Jahil (tidak mengetahui)—dari satu sisi—terbagi dua:
a. Jahil Qashir: Seseorang yang sama sekali tidak menyadari ketidaktahuannya atau ia tidak mengetahui cara menghilangkan ketidaktahuannya tersebut.
b.Jahil Muqashshir: Seseorang yang menyadari ketidaktahuannya dan ia pun mengetahui cara menghilangkannya, tetapi ia enggan untuk
mempelajari hukum-hukum. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 46 dan 47) - Ihtiyath wajib ialah kewajiban melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan karena ihtiyath (kehati-hatian). Dalam ihtiyath wajib si mukalid dibolehkan merujuk kepada mujtahid yang tidak ber-ihtiyath dan mempunyai fatwa yang jelas, tetapi harus menjaga urutan a’lamiyah-nya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 8 dan 48)
- Beberapa istilah yang biasa terdapat di dalam kitab-kitab fikih seperti: ”Fihi Isykal”, ”Musykil” dan ”La Yakhlu Min Isykal” menunjukkan atas ihtiyath. Kecuali istilah ”La Isykala Fihi”, ia menunjukkan atas fatwa. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 50)
- Dalam pengamalan hukum tidak terdapat perbedaan antara istilah ”tidak boleh” dengan istilah ”haram”. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 51)
Dikutip dari buku Daras Fikih Ibadah: Ringkasan Fatwa Imam Ali Khamene’i terbitan Nur Al-Huda