Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Beda Salaf dan Salafi

‘Salaf’ adalah kata Arab yang berarti ‘berlalu’ sebagai lawan dari ‘khalaf’ yang berarti ‘menyusul’. Salaf berasal dari kata salafa-yaslufu-salafan, artinya adalah: telah lalu. Kalimat yang berbunyi al-qaum al-sullâf, artinya kaum yang terdahulu. Sedangkan kalimat salaf al-rajuli, artinya: bapak-bapak mereka yang terdahulu. Bentuk jamaknya adalah aslâf dan sullâf.

Baca juga Pergeseran Makna Salafi Dulu dan Kini

Di antaranya juga kata al-sulfah, artinya: makanan ringan yang dimakan sebelum sarapan. Al-Taslîf, artinya pendahuluan, sedangkan al-sâlif dan al-salîf, artinya: orang yang terdahulu. Dan kata sulâfah, artinya: segala sesuatu yang engkau peras ialah awalnya. Senada dengan itu pula riwayat, “Sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu adalah aku.” (Imam Muslim, Shahîh Muslim, h. 1219, hadis 6207, bab Fadhail Fatimah, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 2002)

Salafi adalah predikat bagi orang-orang Muslim yang memiliki jargon ‘mengikuti para salaf’ (terdahulu), seperti para ulama dan terutama para pendiri mazhab. Akhir-akhir ini bermunculan orang-orang yang mengerek nama salaf, salafi, salafuna, salaf saleh dan derivatnya.

Sebutan salaf sering digunakan sebagai topeng dan modus operandi untuk menghindarkan orang dari penyebutan ‘Wahabisme’ yang cenderung sinis. Kata ‘salafi’ tidak lain adalah kemasan lain dari teologi Wahabi yang didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dari keluarga klan Tamim.

Umumnya kaum intelektual dan ulama Sunnî, penganut 4 mazhab ‘resmi’ Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali menganggap kaum Wahabi, termasuk pendirinya, sebagai kelompok yang berpikir sangat linier, literal sambil menolak metafor (majâz), sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Alquran maupun hadis.

Gerombolan ini sangat getol dengan truth claim sembari menganggap kelompok lain, Sunni maupun Syiah sebagai sesat dan menyesatkan. Patokan langganannya adalah pemahaman literal terhadap sejumlah hadis antara lain hadis ‘Kullu bidah dhalâlah wa kullu dhalâlah fî nnâr’. Karena itulah, mereka menganggap berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunût, talqîn. tahlîl, istighâtsah, berzikir berjamaah, membaca burdah berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin lainnya sebagai bidah.

Tidaklah mengherankan, bila mereka tidak mengecam pengeboman masjid-masjid di Najaf dan Karbala yang memakan banyak korban. Kemenangan spektakuler Hizbullah atas Israel pun tidak diapresiasinya karena sentimen sektarian mereka yang telah membatu.

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *