Artikel
Gus Dur: ‘Syiah adalah NU Plus Imamah’
Gus Dur: ‘Syiah adalah NU Plus Imamah’
Menurut budayawan Koentjoroningrat, terdapat tiga lapisan kebudayaan, yaitu ideofak, sosiofak, dan artefak. Tradisi dan budaya keagamaan memiliki tiga level/lapisan.
Level terluar disebut artefak berupa simbol-simbol; level tengah disebut sosiofak berupa amalan ritus; dan level terdalam disebut ideofak berupa ide dan nilai dasar yang melandasi kedua lapisan lainnya. Ideofak adalah makna dan pesan inti dari tradisi dan budaya keagamaan.
“Gus Dur pernah menyatakan bahwa NU adalah Syiah kultural. Gus Dur melihat ini dari kacamata kultural, bahwa tradisi-tradisi yang dijalankan orang NU sebagian mengindikasikan adanya pengaruh Syiah.” (Agus Sunyoto, M.A)
Baca juga : Syahadat Syiah Berbeda dengan Ahlusunah?
Apa yang dinyatakan Gus Dur merupakan refleksi beliau untuk mengungkap lapisan ideofak yaitu sistem makna yang tersembunyi di balik berbagai tradisi yag dijalankan oleh NU.
Gus Dur memahami betul bahwa di balik simbol dan ritus terdapat lapisan ideofak, sistem signifikansi, dan itu adalah nilai dan spiritualitas Syiah.
“Titik temu antara kita umat Islam Indonesia, terutama warga NU dengan Syiah yaitu seperti mahabbah Ahlulbait, sangat mencintai Habaib, Ahlulbait, cium tangan guru, cium tangan orang yang kita muliakan sama antara kita dan tradisi Syiah, baca Barzanji, baca Diba’, baca shalawat, haul, ziarah kubur, tawassul sama antara kita dan Syiah.” (Prof. Dr. KH. Said Agil Sirajd)
Baca juga : Menjawab Tudingan Mazhab Syiah adalah Sebuah Gerakan Politik
Selain Sumatera dan Jawa, jejak spiritualitas Syiah juga ditemukan di berbagai daerah di Nusantara seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Sulu, Thailand, dan Malaysia.
Di Sulawesi, peringatan Asyura masih dilangsungkan di beberapa wilayah meski tidak dilakukan secara kolosal seperti di Aceh, Bengkulu dan Pariaman.
Masyarakat Muslim memperingatinya dengan memasak bubur khusus yang dikenal dengan ‘bubur asyuro’. Sebagian besar orang Mandar menganggap bulan Muharam sebagai bulan bencana dan kedukaan yang tidak baik untuk menyelenggaraan perayaan kegembiraan seperti pernikahan, sunatan atau pendirian rumah.
Dalam sebuah penelitian disertasi tentang identitas keagamaan di sebuah komunitas Muslim di Hatuhaha di Negeri Pelauw, Kecamatan Pulau Huraku, Maluku Tengah, seorang promovendus Universitas Gadjah Mada berhasil mempertahankan hasil penelitiannya.
Namanya WW Salah satu temuan penting dari penelitian Yance Rumahuru adalah bahwa Syiah merupakan paham Islam yang pertama hadir di Hatuhaha, Pulau Haruku, Maluku Tengah.
Sebagai seorang Nasrani, Dr. Yance tidak memiliki dilema antropologis yang mungkin dialami oleh seorang Muslim Sunni atau Syiah dalam penelitian ini.
Sarjana lulusan Program Lintas Agama dan Budaya Pascasarjana UGM ini, menemukan sejumlah tradisi Syiah yang telah menjadi adat dan tradisi komunitas Muslim Hatuhaha.
Baca juga : Ali bin Abi Thalib Diagungkan Syiah, Sunni, dan Non-Muslim
“Belakangan orang baru bilang bahwa Islam di Maluku im Sunni. Namun sebenarnya setelah saya melakukan penelitian tahun 2009-2011, saya menemukan bahwa di Maluku Tengah justru yang ada di sana adalah Islam Syiah.
Kehadiran Islam di Maluku sendiri sebenarnya bisa ditarik ke belakang jauh sebelum kedatangan Portugis dan Belanda.
Saya menemukan bahwa di abad ke-7, 8 dan 9 sudah ada orang-orang Cina dan orang Arab yang sebenarnya itu bukan orang Arab murni, tapi ada orang Persia yang datang juga ke Maluku dan mereka itu yang memperkenalkan Islam.
Islam baru melembaga di Maluku baru pada abad ke-13, tapi di abad ke-7, 8 dan 9 itu saat perdagangan yang ramai. Islam sudah ada dengan kehadiran orang-orang Arab, Persia dan Cina tersebut.
Pedagang Cina tidak diketahui agama mereka apa, tapi orang Persia dan Arab adalah Islam dan itu Syiah.
Mengapa Syiah diterima di Maluku, karena tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran Syiah itu cocok dengan budaya orang Maluku dan sebenarnya ritual-ritual Syiah memiliki kesamaan dengan ritual-ritual yang ada di Maluku.
Karena itu lalu saya berkesimpulan bahwa sebenarnya Islam yang tertua di Maluku adalah Islam Syiah.
Jadi, sebenarnya untuk menyebutkan bahwa Islam Maluku adalah Syiah terutama di Maluku Tengah. Ritual-ritual keagamaan dan ritual adat yang sudah disatukan dan itu adalah ritual-ritual Syiah.
Baca juga : Syiah Hakiki dalam Pandangan Sayyidah Fathimah
Di Maluku Tengah, terutama di pulau Haruku ada komunitas Muslim Hatuhaha yang mempunyai ritual tiga tahunan, namanya Maatenu.
Pemimpin ritual itu disebutkan sebagai garis lurus keturunan dari Ali. Di dalam “maatenu” tersebut sebenarnya seruan-seruan yang dinaikkan adalah seruan-seruan untuk memuji Ali.
Pedang yang digunakan, pakaian yang digunakan semuanya mengindikasikan simbol-simbol Syiah.
Saya punya penelitian menunjukkan hal itu. Seluruh ritual-ritual yang lain termasuk tradisi maulid yang di kalangan Islam di Nusantara cukup hidup.
Di sana mereka tidak hanya merayakan kelahiran Nabi saja, tapi kelahiran-kematian dan penghormatan kepada sahabat-sahabat Nabi dan terutama sebenarnya mereka merujuk kepada Ali.
Dalam tradisi Perkawinan, selain ijab kabul mereka itu selalu mengatakan “Ali suka Fatimah, Fatimah suka Ali dan itu sah.” (Dr. Yance Rumahuru)
Ternyata, seperti karakteristik umumnya di berbagai daerah Nusantara, paham Syiah mengalami proses pribumisasi sedemikian rupa sehingga Syiah di Pulau Haruku disebut dengan istilah Islam Adat.
Baca juga : Toleransi Muslim Syiah
“Dalam konteks komunitas Muslim di Pulau Hatuhaha Maluku Tengah itu, masyarakat sendiri sejak tahun 1939 mereka membagi diri menjadi Kelompok Syariah dan Kelompok Adat. Mengapa demikian?
Itu terjadi setelah di akhir abad ke-18 dan 19 ada banyak orang dari Maluku Tengah yang belajar Islam ke Arab dan kemudian mereka kembali.
Generasi itulah yang kemudian mensponsori untuk memurnikan Islam dan menjalankan syariat secara baik dan itu menjadi alasan utama untuk memisahkan diri dari kelompok mayoritas Syiah yang sebetulnya menyatu dengan kultur lokal masyarakat setempat sehingga mereka menyebutkan diri sebagai Kelompok Syariah dan kelompok Syiah yang mayoritas di posisikan sebagai Kelompok Adat.
Dalam tradisi keagamaan setiap saat sebenarnya tidak ada pertentangan antara Kelompok Syariat dan Kelompok Adat. itu tampak dalam pelaksanaan setiap ritual. Setiap ritual yang dilaksanakan di Kelompok Adat, Kelompok Syariah juga berpartisipasi dan sebaliknya.” (Dr. Yance Rumahuru)
Syiah juga telah hadir di Thailand, terutama di kota Ayutthaya (Ayodya), ibukota Kerajaan Siam abad 14-18 M.
”Lebih dari seribu tahun yang lalu muslim dari Timur Tengah, Persia, India datang ke Thailand. Kami menemukan bukti-bukti adanya komunitas muslim di berbagai daerah Thailand seperti Ayutthaya.
Ayutthaya merupakan ibu kota Thailand pada abad 14 hingga 18. Kami mengenal banyak tentang komunitas Muslim di kerajaan Ayutthaya, khususnya di kota Ayutthaya ibu kota Thailand.
Saat ini ada beberapa reruntuhan dari desa Syiah di Ayutthaya dan reruntuhan masjid muslim Syiah. Tapi sekitar abad 18 dihancurkan oleh musuh. Karena Ayutthaya merupakan pusat muslim Syiah dari Iran dan daerah selatan India.
Kami menemukan bukti-bukti kebudayaan muslim Syiah di Thailand khususnya bangunan, kultur dan kami menemukan lukisan dinding di Tatum yang menggambarkan tentang penyelanggaraan acara Asyura.
Di Thailand kami menyebut acara ini Muharam yang merupakan acara atau perayaan yang sangat terkenal di Thailand.” (Dr. Julisprong Chularatana)
Baca juga : Sunni CIA dan Syiah MI6 Bekerja Memecah-belah Umat Islam
Di Malaysia, Syiah tentu saja juga sudah hadir sejak sejarah awal Islam melalui berbagai literatur hikayat yang mengisahkan perjuangan Ahlulbait Nabi Muhammad SAW menegakkan kebenaran dan keadilan.
“Pedagang-pedagang Persia telah datang untuk berdagang di alam Melayu seperti di Malaka, Aceh dan pusat-pusat perdagangan yang masyhur ketika itu.
Sehingga dapat dilihat bahwa unsur-unsur Persia telah menular dalam aspek-aspek tertentu masyarakat Melayu di Asia Tenggara. Sebagai contohnya dari sudut bahasa.
Banyak sekali bahasa-bahasa yang dipengaruhi oleh persia, contohnya terdapat hikayat Hasan dan Husein, hikayat Nur Muhammad, hikayat Hanafiyah.” (Dr. Rabithah Mohammad Ghazali)
Seorang pengkaji literatur dan hikayat Melayu, Dr. Mohammad Faisal bin Musa, berkesimpulan bahwa sejumlah hikayat Melayu Yang muncul sejak awal mula kedatangan Islam ke Semenanjung Malaka adalah karya klasik Melayu yang mengandung ajaran Syiah dan bukan hikayat Sunni dengan pengaruh Syiah.
Sarjana Universitas Kebangsaan Malaysia ini melakukan analisis teks terhadap sejumlah hikayat seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Hikayat Hasan Husen Tatkana Kanak-kanak, Hikayat Hasan Husen Tatkala Akan Mati, dan Hikayat Tabut.
Baca juga : Syiah-Sunni di Bawah Panji Imam Husain
Mohammad Faisal menyebutkan pula bahwa sejak kedatangan Wahabi abad ke-19, hikayat-hikayat Melayu yang memuat ajaran Syiah itu mengalami apa yang disebutnya sebagai de-Syiahisasi.
Sejumlah ajaran khas Syiah dinetralisasi dengan mengubah isi kisah, “Ada kecenderungan ahli-ahli yang datang dari tanah Arab yang kurang apresiatif terhadap Ahlulbait sehingga misalnya hikayat Muhammad Ali Hanafiyah diganti menjadi hikayat Hasan Husain, tapi hikayat Hasan Husain ini juga akhirnya diganti lagi, supaya tidak dimekarkan.” (Prof. Dr. Abdul Hadi)
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah
- Apakah semua tradisi, budaya dan literatur yang begitu kental memuat ajaran dan spiritualitas Syiah yang hadir di berbagai wilayah Nusantara sejak awal kedatangan Islam muncul begitu saja hadir semuanya serba kebetulan?
- Jika memang tradisi sanjungan dan pembelaan kepada keluarga Nabi dianggap sebagai ajaran Islam pada umumnya, mengapa banyak umat Islam di Nusantara saat ini tidak mengenal siapakah Sayyidah Fatimah, siapakah Al-Hasan, siapakah Al-Husain? Mengapa tragedi Karbala yang membantai keluarga Nabi hampir pupus dalam kurikulum pengajaran Islam?
Akal sehat dan nurani yang bening diundang untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut.
Dikutip dari buku Menguak Akar Spiritual Islam Indonesia, Peran Ahlulbait dalam Penyebaran Islam di Nusantara.
Penulis TIM ICRO dan Tim ACRoSS
Baca juga : “SYIAH” ABI