Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Alquran, Kitab yang Tak Mungkin dapat Dipalsukan

Syiah dengan berbagai tuduhan dan tudingan tetap berkeyakinan bahwa Alquran yang ada di tangan kita dan yang ada di tangan semua orang muslim adalah Alquran yang sama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak bertambah dan berkurang walau satu kalimatpun.

Masalah ini begitu jelas dipahami dari kitab-kitab tafsir, ushul fiqih dan lainnya dengan berbagai dalil aqli dan naqli.

Kita meyakini sesuai dengan ijma’ para ulama Islam baik Syiah atau Ahlusunnah bahwa Alquran tidak bertambah dan juga menurut kesepakatan mayoritas muhaqqiq bahwa tidak ada yang terkurangi dari Alquran sedikitpun.

Baca juga Pernyataan Para Ulama Mazhab Ahlulbait yang Muktabar tentang Tahrif (perubahan) Alquran

Memang ada sedikit dari dua kelompok tersebut meyakini bahwa Alquran ada yang berkurang akan tetapi keyakinan mereka tidak didukung oleh cendikiawan-cendikiawan terkenal Islam.

Tahrif Alquran Menurut Ahlusunnah dan Syiah

Diantara mereka adalah Ibnul-Khatib Misry dari golongan Ahlusunnah yang menulis kitab Al-Furqan fi Tahrifil Quran di mana kitab tersebut telah tersebar pada tahun 1948 M ( 1367 H). Universitas Al-Azhar pada waktu yang tepat menyadari keberadaannya memahami hal tersebut dan akhirnya mengumpulkan berkas-berkas itu dan melenyapkannya. Akan tetapi beberapa berkas darinya masih di tangan beberapa orang.

Begitu juga dengan kitab Faslul Khitab fi Tahrifi Kitab Rabbil Arbab yang ditulis oleh salah satu muhaddis yang bernama Haji Nuri dan telah dicetak pada tahun 1291 H. Para pemuka hauzah ilmiah Najaf mengingkarinya dan mengeluarkan perintah untuk mengumpulkannya dan ditulislah beberapa kitab yang banyak yang menentang kitab tersebut, diantara para ulama yang mengkritik dan menentang kitab tersebut adalah:

  • Seorang faqih yang terpilih yang bernama marhum Syekh Mahmud bin Abi Qasim yang terkenal dengan Muarrab Tehrani (wafat pada tahun 1313) yang mana beliau menulis kitab Kasyful Irtiyab fi Adami Tahrifil Kitab.
  • Allamah Sayyid Muhammad Husain Syahristani (wafat pada tahun 1315) beliau menulis kitab lain dalam rangka menolak kitab Faslul Khitab karya Haji Nuri yang bernama Hifdzul Kitabisy Syarif ‘an Syubhatil Qaul bit Tahrif.
  • Allamah Balaghi (wafat pada Tahun 1352) salah seorang muhaqqiq hauzah ilmiyah Najaf yang terkenal dengan karangannya kitab Tafsiru Alau Rahman, merupakan salah satu ulama yang menulis kitab untuk menjawab isi kitab Faslul Khitab.[1]
  • Kami juga mendapatkan dalam kitab Anwarul-Usul pembahasan yang cukup luas tentang tidak adanya tahrif Quran Majid dan kami juga memberikan jawaban yang memuaskan pada syubhah-Syubhah kitab Faslul-Khitab.

Haji Nuri walaupun seorang alim akan tetapi dia sebagaimana perkataan Allamah Balaghi selalu bersandar pada hadis-hadis dzaif dan lemah, dan dia sendiri merasa menyesal setelah tersebarnya kitab tersebut, semua pembesar hauzah ilmiyah Najaf menyimpulkan bahwa penyesalannya dikarenakan kesalahan-kesalahannya yang jelas tersebut.[2]

Yang menarik perhatian adalah Haji Nuri setelah bukunya tersebar dan dikarenakan serangan yang ditujukan kepadanya, untuk membela diri terpaksa dia menulis risalah yang isinya adalah maksud saya dari kitab tersebut adalah tidak adanya tahrif dalam Alquran akan tetapi dari ungkapan-ungkapan yang saya pakai telah disalah difahami.[3]

Allamah Sayyid Hibbatuddin Syahristani mengatakan: ketika aku berada di Samara, berkata Mirza Syirazi Buzurg, Samara berubah menjadi markas ilmu-ilmu Syiah, setiap aku memasuki suatu acara aku mendengarkan jeritan-jeritan dalam rangka menentang Haji Nuri dan kitab yang ia tulis dan sebagian dari mereka menyebutkannya dengan kalimat-kalimat yang buruk. [4]

Dengan ini semua apakah masih bisa perkataan Syekh Nuri dinisbatkan dengan akidah Syiah?

Sebagian dari mutaassib Wahabi kitab Faslul-Khitab ini dibuat sebagai alasan dan memaksa menisbatkan masalah tahrif Alquran pada Syiah, sedangkan kalau hanya dengan satu kitab bisa dijadikan dalil bahwa Syiah meyakini hal ini maka masalah tahrif Alquran ini juga harus dinisbatkan pada Ahlusunnah, karena Ibnu Khatib Misri juga menulis kitab Alfurqan fi Tahrifil Quran. Jika protes para ulama al-Azhar terhadap kitab tersebut merupakan dalil akan ketiadakbenaran isi kitab tersebut, maka penolakan dan protes para ulama Najaf terhadap kitab Faslul-Kihitab juga merupakan dalil yang sama akan ketidakbenaran isi kitab.

Dalam tafsir Qurtubi dan Durul-Mantsur yang mana kedua kitab tersebut termasuk kitab tafsir yang makruf di kalangan Ahlusunnsh, dinukil dari Aisyah (istri Nabi Saw) di mana dikatakan: ”sesungguhnya surah Al-Ahzab memiliki 200 ayat, maka yang tersisa hanya 73 ayat saja.[5]

Lebih dari itu, dalam kitab Bukhari dan Muslim riwayat semacam itu juga yang mengesankan tahrif Alquran dapat dijumpai dalam kedua kitab standar tersebut.[6] Akan tetapi, tidak bisa kita mengatakan akan tahrif Alquran dengan berlandaskan kepada seorang penulis atau beberapa riwayat lemah.

Mayoritas riwayat yang dinukil oleh Haji Nuri dinukil dari tiga perawi yang mazhabnya tidak jelas atau seorang pembohong atau kondisi tidak diketahui. Pada dasarnya tuduhan tahrif Alquran yang dinisbahkan kepada sebuah sekte dalam Islam imbas dan citra buruknya mengarah kepada agama Islam sendiri. Karena hal inilah yang diinginkan oleh para musuh Islam.

Para qari’ dan hafiz Quran dari Iran (yang secara notebene pengikut Syiah) yang kerap kali mendapat peringkat terbaik dalam musabaqah qurani, terlebih para hafiz kecil, serta ribuan hafiz setiap tahunnya yang muncul dari negeri ini, semuanya membaca dan menghafal Alquran yang sama dengan Alquran yang ada di tangan muslimin.

Dalil Aqli Dan Naqli

Di dalam Alquran terdapat banyak ayat yang menegaskan bahwa kitab agung ini tidak akan dapat ditahrif. Allah berfirman:” sesungguhnya Kami telah menurunkan dzikr dan Kamilah yang akan menjaganya.[7]

Dalam ayat lain disebutkan: ”Dan sesungguhnya dia adalah kitab yang tidak ada tandingannya, tidak akan sesuatu (yang batil) yang akan menghampirinya; baik dari depan, belakang, karena dia diturunkan dari Zat yang bijak dan terpuji.[8]

Selain itu, para pencatat wahyu yang jumlahnya sekitar 14 orang hingga 400 orang senantiasa sigap dan dengan cepat mencatat ayat-ayat yang baru turun kepada Rasulullah Saw. Terdapat ratusan para hafiz di zaman itu saat ayat turun mereka langsung menghafalnya. Bacaan kitab ini saat itu merupakan ibadah penting yang dibaca siang dan malam. Di samping itu, Alquran merupakan kitab pedoman kehidupan kaum muslimin yang selalu hadir di tengah-tengah kehidupan. Dengan memperhatikan bukti-bukti di atas, akal sehat tidak mungkin membenarkan bahwa dia dapat diubah, ditambah atau dikurangi.

Dalam riwayat yang dinukil dari para maksum juga telah ditekankan keterjagaan Alquran dari tahrif. Amirul mukminin Ali as dalam Nahjul balaghah berkata: ”Allah telah menurunkan kepada kalian sebuah kitab yang menjadi penjelas segala sesuatu, dan Dia menganugrahkan usia Rasulullah Saw sampai agama yang diridhai itu sempurna melalui Alquran.[9] (al-shia.org)

 

Catatan Kaki
[1] Alaur-Rahman, jilid 1, hal 25.
[2] Alaur-Rahman, jilid 2, hal 311.
[3] Adz-Dzariah, jilid 16, halaman 231.
[4] Burhane Rusyan, halaman 143.
[5] Yafsir Qurthubi, jilid 14, halaman 113 dan Durul-Mantsur, jilid 5, halaman 180
[6] Shahih Bukhari, jilid 8, halaman 208-211 dan shahih Muslim, jilid 4, halaman 167 dan jilid 5, halaman 116.
[7] Surah Hijr, ayat 9.
[8] Surah Fushilat, ayat 41 dan 42.
[9] Nahjul Balaghah, khutbah 86.
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *