Berita
Ali bin Abi Thalib Sahabat Utama?
Buku Panduan MUI halaman 22 menyatakan: “Sebab kelompok setia Syiah Ali yang terdiri dari beberapa sahabat Rasulullah dan sebagain besar tabi’in pada saat itu tidak ada yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dan lebih banyak atas kekhalifahan setelah Rasul dari pada Abu Bakar dan Umar bin Al-Khatthab. “
Tanggapan
Benarkah sangkaan yang mengatakan bahwa sahabat dan tabi’in tidak ada yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dan lebih banyak atas kekhalifahan setelah Rasul kembali Abu Bakar dan Umar? Jawabannya akan segera diperoleh pada beberapa hadis berikut ini;
- Imam Bukhari (w. 256 H / 870 M) meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada Ali, “Engkau datang dariku dan aku Asal darimu.” (1)
- Al-Suyuthi (w. 911 H / 1505 M) dalam Târîkh Al-Khulafâ, menyatakan,Pasal pertama, “Hadis-hadis yang menyebutkan tentang keutamaan Ali bin Abu Thalib, Imam Ahmad bin Hanbal berkata,” Tidak ada yang diriwayatkan tentang keutamaan untuk seorang sahabat Rasulullah Saw cetak yang telah diriwayatkan untuk Ali ra. “Pasal kedua, “Tentang keutamaannya (Ali) kw. Keutamaan itu banyak sekali, agung dan masyhur Berlin Imam Ahmad berkata, “Tidak pernah ada riwayat tentang keutamaan tentang riwayat tentang (keutamaan) Ali.”
- Ismail Al-Qadhi, Al-Nasa’i dan Abu Ali Al-Naisaburi berkata, “Tidak ada yang meriwayatkan tentang hak seseorang dari sahabat dengan sanad-sanad yang baik, yang lebih banyak dari riwayat yang datang tentang Ali.” (2)
- Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H / 1448 M) dalam Kitab Fath Al-Bârî, menyebutkan beberapa hadis yang berhubungan dengan Ali menuju masjid Nabi. Diungkap adalah;
Hadis Sa’ad bin Abi Waqqash (Rasulullah Saw memerintahkan kami menutup pintu-pintu menuju masjid dan membuka pintu Ali). Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Nasa’i dengan sanad-sanad yang kuat. Sedangkan Al-Thabarani meriwayatkan dalam (Mu’jam-pen) Al-Awsath dengan para perawi yang tsiqah (Maka mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami menutup pintu-pintu kami. Rasulullah bersabda,” Bukanlah aku yang menutupnya, selain Allah. ” ). (3) - Dari Zaid bin Arqam (Di antara sahabat ada yang memiliki pintu menuju masjid, kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Tutup-lah pintu-pintu ini kecuali pintu Ali.” Maka mereka mengeluhkannya, Rasulullah pun bersabda, “Demi Allah, aku membaliknya atau membukanya,” sesuatu, aku diperintah atas sesuatu, maka aku mengikutinya. ”). Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Nasa’i dan Al-Hakim dengan para perawi yang seluruhnya tsiqah. (4)
- Dari Ibnu Abbas (Rasulullah Saw memerintahkan (menutup-pen) pintu-pintu masjid, maka aku menutupnya kecuali pintu Ali) dalam situasi lain (Dan pintu lain yang disebut pintu Ali. Masih dalam waktu yang lama melalui pintu tersebut). Kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Nasa’i dengan para perawi yang tsiqah.
- Dari Jabir bin Samurah (Rasulullah Saw memerintah setiap pintu kecuali pintu Ali. Seuatu kali beliau melaluinya dalam keadaan junub). Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Thabarani.
- Dari Ibnu Umar (Kami di zaman Rasulullah Saw berkata, sebaik-baik manusia adalah Rasulullah, kemudian Abu Bakar dan Umar. Namun Ali dianugerahi tiga kelebihan yang seandainya aku memperoleh salah satu dari ketiganya, maka lebih aku cintai dari segala kenikmatan. Yaitu, Rasulullah Saw menikahkannya dengan puteri-nya dan memiliki anak darinya. Semua pintu masjid ditutup ke-cuali pintunya. Dan ia diberikan panji pada perang Khaibar). Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad denan sanad hasan.Sedangkan Al-Nasa’i meriwayatkannya melalui jalur Al-’Ala’ bin Arrar(Maka aku berkata kepada Ibnu Umar, “Ceritakan padaku tentang Ali dan Utsman?” Maka Ibnu Umar berkata, ‘Adapun Ali tidak perlu lagi seseorang menanyakan tentang dirinya, cukup anda perhatikan kedudukannya di sisi Rasulullah Saw, karena beliau Saw telah menutup semua pintu rumah kami yang tembus ke Masjid Nabi dan membiarkan pintu Ali.’). Seluruh perawinya adalah perawi peringkat sahih selain Al-’Ala’ yang ditsiqahkan oleh Yahya bin Ma’in dan selainnya.”
Semua hadis tersebut saling menguatkan satu sama lain dan setiap jalur periwayatan baik sebagai hujjah mengingat banyaknya hadis-hadis tersebut. (5)
Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya, kitab Keutamaan Sahabat, Bab Keutamaan Ali bin Abi Thalib dan Al-Tirmidzi (w. 279 H/892 M) dalam Jâmi’ Al-Tirmidzî meriwayatkan hadis yang sama: Dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqas dari ayahnya, ia berkata, “Muawiyah bin Abu Sufyan memerintahkan Sa’ad (untuk mencaci Ali bin Abi Thalib). Apa yang mencegah anda dari mencaci Abu Turab (Ali bin Abi Thalib-pen)?” Sa’ad menjawab, ‘Ada tiga hal yang aku pernah dengar dari Rasulullah Saw yang membuatku tidak mungkin mencacinya. Andaikan salah satu dari tiga hal itu aku miliki, maka itu lebih aku sukai daripada seekor unta merah;
- Pertama, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada Ali untuk menggantikannya memimpin dalam sebagian perang. Maka Ali bertanya kepada Rasulullah Saw, ‘Ya Rasulullah, engkau menjadikanku pemimpin para wanita dan anak-anak kecil?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidakkah engkau rela kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada kenabian setelahku.’
- Kedua, ‘Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda pada perang Khaibar, ‘Niscaya aku berikan panji ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.Selanjutnya Rasulullah bersabda, ‘Panggilkan Ali.’ Lalu Ali datang menemui beliau dalam keadaan sedang sakit mata, kemudian Nabi memberi ludah pada matanya dan menyerahkan panji kepadanya, maka Allah memberikan kemenangan di tangannya.’
- Ketiga, ‘Pada saat turun ayat Maka katakanlah (kepada me-reka): “Mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian.” (6) kemudian Rasul Saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Lalu beliau berdoa, ‘Ya Allah merekalah keluargaku.’” (7)
Ibnu Hajar dalam Kitab Fath Al-Bârî berkata, “Sesungguhnya Ali mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya adalah wujud hakikat mahabbah (kecintaan). Karena jika tidak, maka setiap muslim bersekutu dengan Ali pada sifat ini. Dalam hadis ini disinyalir firman Allah Swt dalam QS. Âli ‘Imrân [3]: 31, (Katakanlah; jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian).
Seakan-akan beliau Saw mengisyaratkan bahwa Ali sangat sempurna dalam mengikuti Rasulullah Saw, sehingga layak mendapatkan kecintaan dari Allah Swt. Oleh karena itu, kecintaan terhadap Ali adalah tanda keimanan, dan kebencian kepadanya adalah tanda kemunafikan.” (8)
Satu hal yang penting yang tidak dapat dipungkiri oleh ulama mana pun, bahkan termasuk Ibnu Taimiyah harus mengakui bahwa Ali adalah jiwa Nabi Saw. Sebagaimana tertera dalam QS. Âli Imrân [3]: 61 (ayat Mubahalah). Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Jawâbu Shahîh liman Baddala Dîn Al-Masîh menyatakan, “Telah ditetapkan dalam kitab-kitab sahih tentang hadis datangnya utusan Najran yang terdapat dalam Bukhari, Muslim dari Hudzaifah dan telah dikeluarkan oleh Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqas yang berkata, ‘Ketika turun ayat ini Maka katakanlah, marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kalian dan diri-diri kami …Rasulullah Saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, seraya bersabda, ‘Ya Allah, merekalah keluargaku.’”
Setelah itu Ibnu Taimiyah mengutip dalam catatan kaki halaman tersebut bahwa Ibnu Jarir Al-Thabari telah meriwayatkan hadis tersebut dalam tafsirnya (Tafsir Al-Thabari yang dipuji kesahihannya oleh Ibnu Taimiyah) dari jalur periwayatan yang banyak ketika menafsirkan QS. Âli ‘Imrân [3]: 61. (9)
Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H/850 M) dalam Kitab Al-Mushannaf meriwayatkan dari Abdurahman bin Auf, “Ketika Rasulullah Saw menaklukkan kota Mekkah, beliau pergi ke Thaif ….kemudian beliau Saw bersabda, ‘Wahai manusia sesungguhnya aku akan meninggalkan kalian, maka aku berwasiat kepada kalian tentang Itrah-ku sebagai kebaikan, dan sesungguhnya telah dijanjikan untuk kalian haud, demi yang jiwaku di tangannya supaya mendirikan salat, menunaikan zakat, atau aku utus kepada mereka seorang dariku atau yang seperti diriku, …….maka manusia mengira bahwa orang itu adalah Abu Bakar atau Umar, kemudian beliau Saw memegang tangan Ali seraya berkata, ‘Ini.’” (10)
Riwayat tentang kedudukan Ali di sisi Rasul Saw seperti, ‘Kedudukan Harun di sisi Musa,’ juga disampaikan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Al-Jâmi’ Al-Shahîh,yang ditahkik oleh Syuaib Arnauth, Rasulullah menjawab, “Tidakkah engkau rela kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada Nabi setelahku.”(11)
Hadis ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa dari segi kenabianlah yang membedakan antara kedudukan Rasulullah Saw dengan Ali bin Abi Thalib, sebab itu di penghujung khutbahnya, Nabi Saw menegaskan, ”hanya saja tidak ada Nabi setelahku.”
Lebih jelasnya kita dapat melihat ayat Alquran bagaimana posisi Harun di sisi Musa yang nantinya kita dapat menilai bagaimana posisi Ali bin Abi Thalib di sisi Rasulullah Saw.
Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku. (yaitu) Harun, saudaraku.Teguhkanlah dengan Dia ke-kuatanku, dan sertakanlah ia dalam urusanku. (QS. Thâhâ [20]: 29-32).bAyat ini menyatakan dengan jelas bahwa Harun merupakan wazir dan saudara Musa as. Sementara di dalam hadis disebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai wazir dan saudara Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, jika Allah Swt meneguhkan kekuatan Musa as dengan Harun as dan menyertakan beliau dalam urusannya, maka Allah Swt juga meneguhkan kekuatan Rasulullah Saw dengan Ali bin Abi Thalib dan menyertakan beliau dalam urusannya.
Sebagai tambahan, sesungguhnya Harun as merupakan orang yang paling alim dari kaum Musa as, maka begitu pula Ali bin Abi Thalib adalah yang paling alim dari umat Rasulullah Saw. Berdasarkan semua kesaksian di atas sangatlah sulit untuk diasumsikan bahwa para sahabat dan tabi’in tidak memahami dan meyakini akan keutamaan Ali bin Abi Thalib atas para sahabat lainnya.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)
Catatan kaki
- Imam Bukhari, Shahîh Al-Bukhârî, tahkik Shidqi Jamil Al-’Atthar, h. 1038, hadis 4251, Kitab Al-Maghâzi, Bab Umrah Al-Qadhâ’, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 2000.
- Jalal Al-Din Abdul Rahman Al-Suyuthi, Târîkh Al-Khulafâ’, h. 157, cet. 1, Dar Ibn Hazm, Beirut, Lebanon, 2003 M, 1424 H.
- Lihat Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 3, h. 98-9, hadis 1511, cet. 1, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Lebanon, 1995 M (1416 H). Al-Nasa’i, Khashâis Amîr Al-Mu’minîn Ali bin Abî Thâlib ra, h. 71, hadis 41 dan sebelumnya, tahkik Muhammad Al-Kazhim, cet. 1, Majma’ Ihya’ Al-Tsaqafah Al-Islamiyyah, Qom, Iran, 1419 HQ. Al-Thabarani, Mu’jam Al-Awsath, juz 4, h. 186, hadis 3930, Dar Al-Haramain, Kairo, Mesir, 1995 M (1415 H).
- Lihat Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 32, h. 41, hadis 19287, cet. 1, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Lebanon, 1995 M (1416 H).
- Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Imam Ahmad bin Ali, Fath Al-Bârî bi Syarh Shahîh Al-Bukhârî, juz 7, h. 18, tahkik Abd Al-Qadir Syaibah Al-Hamd, Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah, Riyadh, Saudi, 2001 M, 1421 H.
- Q.S Âli ‘Imrân [3]: 61. Ayat ini disebut sebagai ayat Mubahalah. Para ulama sepakat bahwa ayat ini berkaitan dengan peristiwa Mubahalah.Yaitu ketika para pendeta Nasrani dari Bani Najrân tidak mau menerima kebenaran agama Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah setelah diberikan banyak hujjah terhadap mereka. Lalu Allah memerintahkan Rasulullah bermubahalah (minta laknat bagi yang berdusta) di antara Rasulullah dan para pendeta tersebut. Dalam peristiwa tersebut, Rasulullah mengajak Hasan dan Husein sebagai ‘Abnâ’anâ ’ (anak-anak kita), Fatimah sebagai ‘Nisâ’anâ’’ (wanita-wanita kita) dan Rasulullah sendiri bersama Ali sebagai ‘Anfusanâ’ (jiwa-jiwa kita).
- Imam Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Nisaburi, Shahîh Muslim, Kitab keutamaan Sahabat, Bab Keutamaan Ali bin Abi Thalib, juz 2, h. 1198, hadis 6113, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 2003 M, 1424 H. Al-Tirmidzi, Jâmi’ Al-Tirmidzî, h. 582, bab Fadhl Ali bin Abi Thalib, hadis 3724, Bait Al-Afkar Al-Dawliyyah, Riyadh, Saudi Arabia, 1999 M. Bandingkan dengan riwayat yang terputus oleh Imam Al-Bukhari, Shahîh Al-Bukhârî, h. 907-8, hadis 3701, 3702, dan 3706, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 2000 M.
- Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fath Al-Bârî bi Syarh Shahîh Al-Bukhârî, juz 7, h. 88.
- Ibnu Taimiyah, Syaikh Al-Islam Abu Al-Abbas Taqiy Al-Din Ahmad bin Abd Al-Halim Al-Harani, Al-Jawâb Al-Shahîh liman Baddala Dîn Al-Masîh, juz 1, h. 197, cet. 2, Dar Al-’Ashimah, Riyadh, Saudi, 1999 M, 1419 H.
- Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim, Al-Mushannaf, juz 11, h. 142, cet. 1, Maktabah Al-Rusyd, Riyadh, Saudi, 2004 M (1425 H).
- Al-Jâmi Al-Shahîh Al-Bukhârî, juz 3, h. 172 dan 433, cet. 1, Al-Risalah Al-A’lamiyah, Beirut, Lebanon, 2011. Hadis ini juga diriwayatkan oleh beberapa ahli hadis, di antaranya, Muslim bin al-Hajjaj dalam Shahîh -nya, juz 2, h. 1198-1199, entri hadis 6111-6115 dalam kitab Fadhâil Al-Shahâbah, bab Fadhâil ‘Ali bin Abu Thâlib. Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Al-Musnad, juz 1, h. 97, 118 dan 119 dalam pembahasan Tasmiyah Al-Husain, Nasir bin Muhammad Al-Samarqandi dalam kitab Al-Majâlis, Muhammad bin Abdurahman Al-Dzahabi dalam kitabnya Al-Riyâdh Al-Nadhrah, Ali Al-Muttaqi Al-Hindi dalam Kanz Al-’Ummâl. ‘Allamah Ibnu Shabbagh Al-Maliki dalam Al-Fushûl Al-Muhimmah fî Ma’rifah Al-Aimmah. Muhibbuddin Al-Thabari dalam kitab Dzakhâ’ir Al-Uqbâ. Syaikh Sulaiman Al-Qunduzi Al-Hanafi dalam kitab Yanâbî’ Al-Mawaddah. Muwaffiq bin Ahmad Al-Khawarizmi dalam kitab Al-Manâqib.