Akidah
Ayatullah Taqi Misbah Yazdi: Makna Qadha dan Qadar yang Benar (1/3)
Campuraduk makna qadha dan qadar ini telah menimbulkan banyak hasil yang tak dikehendaki, sehingga bukan saja tidak mengandung peran yang positif dan konstruktif pada sebagian orang melainkan juga memunculkan efek-efek negatif. Faktor-faktor kecenderungan itu merajalela di masa kekuasaan para penyerobot, ketika ruh Islam dan tujuan-tujuan Islam sedang merosot hingga ke derajat terendah, beberapa gagasan menyeleweng, termasuk fatalisme, diproyeksikan demi kepentingan politik pribadi.
Para penguasa Bani Umayyah, supaya rakyat menaati dan mengikuti mereka, mendorong beberapa orang untuk menyiarkan pikiran di kalangan rakyat bahwa semua harus menerima segala sesuatu yang terjadi dan tak boleh melawannya, karena Allah menghendakinya. Ada banyak contoh sehubungan dengan ini.
Abdullah bin Abbas berkata, “Dalam suatu perjalanan perang bersama salah seorang khalifah, ia memanggil saya seraya berkata, ‘Tahukah kamu mengapa sepupumu (maksudnya Ima Ali as) tidak ikut serta dalam peperangan ini?’ Aku menjawab, ‘aku tak tahu.’ khalifah berkata, ‘Ia tinggal di Madinah untuk mempersiapkan lahan bagi kekhalifahannya setelah aku, supaya ia menjadi khalifah sesudahku.’ Aku katakan, ‘Sepupuku percaya bahwa ia tidak perlu mempersiapkan lahan semacam itu, karena Rasulullah telah menunjuknya sebagai khalifah.’ khalifah kemudian berkata, ‘Ya, Nabi menghendaki hal itu, tetapi Allah tidak menghendakinya.’” (Ibn Abil Hadid Mutazili, Syarh Nahj al-Balaghah)
Ditafsirkan bagaimanapun, ucapan khalifah itu menunjukkan kesempitan pikiran mengenai ajaran Islam. Jelaslah bahwa yang terjadi di dunia tunduk pada kehendak penciptaan Ilahi. Tetapi, ini tidak berarti bahwa hal itu juga tunduk pada kehendak legislasi Ilahi. Allah Yang Mahakuasa, dengan kehendak penciptaan-Nya, telah memperhatikan semua peristiwa, sehingga tak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak penciptaan-Nya.
Bangkitnya Imam Husain as dan gugurnya ia sebagai syahid adalah sesuai dengan kehendak penciptaan Ilahi, tetapi itu tak berarti adanya izin untuk membunuh dan penyangkalan tanggung jawab dari orang yang ikut serta dalam pembunuhannya. Demikian pula, orang-orang yang setelah wafatnya Nabi saw duduk di kursi kekhalifahan dan kemudian mengubah kekhalifahan Islam menjadi semacam kerajaan Bani Umayyah dan Abbasiyah, bertindak atas dasar kehendak penciptaan Ilahi. Tetapi, dari sisi pandang kehendak legislasi-Nya, yakni secara hukum, mereka sama sekali tidak diizinkan bertindak demikian dan tak berhak menyerobot hak-hak Islam dan kaum Muslim.
Oleh karena itu, harus diperhatikan bahwa manusia bertanggung jawab atas apa yang terjadi mengenai kehendak penciptaan Ilahi sebagaimana adanya, baik sehubungan dengan masalah individual maupun sehubungan dengan urusan sosial. Ini adalah suatu rujukan yang harus dipahami secara ilmiah. Namun, untuk melihat bagaimana manusia, sementara ia memiliki kehendak bebas dan melakukan pekerjaannya dengan kehendak bebas dan kehendak memilih, berada di bawah perencanaan Ilahi, kami akan memberikan contoh sederhana.
Bayangkan dua orang yang keluat dari rumahnya masing-masing di pagi hari, yang seorang bermaksud ke toko roti untuk membeli roti, sedang yang seorang lagi hendak naik bus menuju tempat kerjanya. Di simpang jalan mereka bertemu, membicarakan suatu masalah, dan memutuskan untuk melakukan suatu tindakan. Misalnya, mereka memutuskan untuk pergi ke medan pertempuran melawan agresor, atau untuk pergi menolong orang-orang tunawisma yang kehabisan makanan, atau untuk melakukan perbuatan dosa. Jelaslah bahwa kedua orang ini keluar dari rumahnya dengan kehendak bebas mereka dan memutuskan untuk melakukan tindakan dengan kehendak sendiri.
Tetapi ini bukan tidak konsisten dengan kepercayaan bahwa Allah mengatur urusan sedemikian rupa sehingga tersedialah dasar bagi kedua orang itu untuk berpikir hendak ke medan pertempuran atas kehendak bebasnya. Apabila kedua peristiwa itu tidak terjadi secara serentak, misalkan salah satu dari kedua orang itu keluar dari rumah ketika yang lainnya telah naik bus dan telah berangkat, kedua orang itu tak akan bertemu dan tidak akan memutuskan untuk sama-sama pergi ke medan pertempuran. Ini contoh takdir.
Anda lihat, Allah telah mengatur peristiwa-peristiwa itu secara demikian rupa sehingga akibat-akibat yang baik dan bijaksana muncul darinya, yang menimbulkan kesempurnaan bagi hamba-hamba Allah dan membuka jalan bagi keselamatannya.
Selanjutnya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi: Makna Qadha dan Qadar yang Benar (2/3)
*Dikutip dari buku karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Monoteisme sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam