Akhlak
Sumber Kerusakan Moral (5/7)
Telah disebutkan sebelumnya bahwa iman, sebagai kenikmatan dan keberuntungan jiwa, berbeda dengan pengetahuan, yang merupakan kesenangan dan kepuasan akal. Semua kerusakan moral dan perilaku terjadi akibat ketiadaan iman dalam hati, yakni apa saja yang dipahami nalar dan akal melalui bukti rasional atau riwayat para nabi, gagal memasuki relung hati, dan hati tak memahami kebenarannya.
Baca pembahasan sebelumnya Imam Khomeini: Telaah Hadis Hasad (4/7)
Salah satu doktrin yang diafirmasi para ‘arif, hakim (ahli hikmah atau filsuf), mutakallim (teolog) maupun kaum awam dan ahli hukum serta dianggap sebagai aksioma, bahwa apapun yang ada karena goresan pena Sang Pencipta yang Mahabijak, sudut pandang makhluk dan kesempurnaan pembagian rezeki di antara makhluk dan pengaturan pelbagai ketetapan segala sesuatu yang hidup, menunjukkan sepenuhnya keindahan rancangan dan kesempurnaan sistem yang paling selaras dengan sumum bonum seluruh makhluk serta sistem paling lengkap dan sempurna.
Masing-masing mereka mengungkapkan kemurahan Tuhan dan kebijakan mutlak-Nya dalam bahasa khas sendiri dan sesuai terminologi disiplinnya. Sang ‘arif berkata, “Inilah bayangan sang pemilik keindahan mutlak.” Sang filsuf berkata, “Sistem dari dunia nyata ini sesuai dengan skema intelektual yang bebas dari semua cacat dan keburukan; yang dianggap buruk dalam hal-hal tertentu tak lain dari cara makhluk mencapai derajat kesempurnaan yang layak baginya.”
Sementara teolog dan ahli hukum percaya bahwa perbuatan Tuhan berdasar kebijakan dan kebaikan umum yang akal manusia yang terbatas tak mampu memahami kebaikan yang lebih tinggi, yang tersembunyi di balik ketentuan Ilahi; semua pihak menganut gagasan ini dan mengajukan argumentasi untuk menyokongnya menurut kadar pengetahuan dan kecerdasan masing-masing. Namun, lantaran tak keluar dari kata-kata apalagi sampai masuk ke lubuk hati, suara-suara protes dan keberatan tetap terdengar, dan orang itu, lantaran tak punya keimanan, cenderung menentang kata-katanya sendiri dan menyangkal argumen-argumennya sendiri.
Kejahatan moral juga berasal dari kelemahan iman semacam ini. Orang yang merasa cemburu terhadap orang lain dan menginginkan hilangnya sesuatu yang dimiliki orang lain serta menyimpan kedengkian dalam hatinya terhadap orang yang memiliki sesuatu, seharusnya mengetahui bahwa dirinya tidak percaya bahwa ia ingin Allah Swt tidak menganugerahkan kepadanya karunia itu.
Pemahaman kita yang terbatas ternyata gagal untuk memahami kebijakan dari ketentuan-ketentuan-Nya. Ia mestinya sadar bahwa dirinya sebenarnya tak yakin ihwal keadilan Tuhan dan keadilan dalam pembagian-Nya; ia dapat menyatakan keyakinannya pada doktrin keadilan Tuhan namun pernyataannya hanya berupa kata-kata belaka akibat keyakinan pada keadilan Tuhan bertentangan dengan kedengkian.
Anggaplah ketetapannya juga adil, mengingat sejumlah hadis dengan jelas mengatakan bahwa orang yang dengki berarti murka terhadap pembagian rezeki Allah Swt. Namun faktanya, ia tidak menganggap pembagian itu adil. Sebaliknya malah, naudzubillah, ia menganggapnya tak adil dan kejam. Ini bukan karena ia menganggap pembagian Ilahi sebagai adil lalu ia membencinya. Bukan karena ia menganggap rencana Tuhan sebagai sistem paripurna dan mutlak baik sehingga dirinya tidak merasa puas.
Aduhai, betapa iman kita tidak sempurna dan bukti-bukti intelektual tidak melampaui batas batas nalar dan akal sehingga tidak dapat memasuki lubuk hati. Iman bukanlah semata-mata masalah ucapan. Iman bukan hanya membaca, berdiskusi, atau mengutip kata-kata orang lain. Iman membutuhkan keikhlasan niat. Orang yang mencari Tuhan akan berhasil menemukannya. Orang yang tertarik pada sifat Allah Swt niscaya mencarinya:
Barang siapa buta di dunia ini, ia akan buta di akhirat, dan akan jauh menyimpang dari jalan yang benar. (QS. al-Isra: 72)
… dan siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka tidak akan ada cahaya baginya. (QS. an-Nur: 40)
*Imam Khomeini, 40 Hadis, Telaah atas Hadis Mistik dan Akhlak