Ikuti Kami Di Medsos

Akhlak

Peterporn, Sexting dan Perlindungan Anak

Fenomena sexting dan video porno mewabah di dunia. Di situs-situs internet anak-anak Indonesia pernah mengaksesnya. Jessica Logan bukan siapa-siapa dan tak dikenal siapa-siapa. Hanya seorang remaja SMA biasa di Amerika.  Namun pada bulan Juli tahun 2008 gadis 18 tahun yang tinggal di Cincinnati, Ohio ini membuka mata dunia tentang bahaya sexting. Jessie yang ketika itu berada di tingkat akhir Sycamore High School tewas bunuh diri di kamar mandi.

Sebabnya, foto telanjang Jessie yang semula hanya untuk konsumsi sang pacar, belakangan disebarkan oleh sang pria ketika hubungan pacaran mereka putus. Tak sekedar beredar di antara teman-temannya, foto tersebut beredar ke tujuh sekolah di sekitar Cincinnati, bahkan meluas hingga ke tiga negara bagian di Amerika Serikat. Kenyataan ini membuat Jessie merasa amat malu, terhina, tertekan dan sekaligus menderita.  Apalagi teman-teman putrinya banyak yang melakukan bullying dengan menjulukinya sebagai ‘pelacur’ ataupun ‘wanita murahan.’

Sebelum tewas bunuh diri, pada medio Mei 2008 Jessie sempat melakukan wawancara dengan stasiun TV setempat. Ia mengatakan bahwa ia merasa sangat malu, terhina, dan digoda di mana pun ia berada. Tidak sekedar sekolah, namun juga di lingkungan rumah dan kemana pun ia pergi. Jessie berharap semoga tak ada lagi orang yang harus menjalani keadaan seperti ini. Sama halnya dengan orangtua Jessie, Cynthia Logan. Jessie adalah anak tunggal.  Maka kepergiannya begitu diratapi sang Ibu.  Cynthia  mengatakan bahwa ia amat kecewa dengan para orangtua yang membiarkan saja anak-anaknya untuk melakukan apapun dan mengatakan apa yang mereka inginkan.

Sayangnya, sepertinya Cynthia masih akan terus kecewa, karena fenomena sexting ternyata telah begitu mewabah di dunia.  Termasuk di negeri yang bernama Indonesia. Kasus peredaran video ‘mirip artis Ariel-Luna Maya-Cut Tari’ atau beken dengan istilah ‘Peterporn” adalah salah satunya.

Indonesia tidak bisa dibilang santun dan bersih dalam perilaku sexting. Sudah cukup banyak warga Indonesia yang melakukannya. Remaja, pemuda, hingga kaum dewasa. Fenomena ‘peterporn’ hanyalah salah satu yang menyeruak ke permukaan. Banyak lagi yang belum terungkap. Video dewasa yang melibatkan orang ‘mirip Ariel’, ‘mirip Luna Maya’, dan ‘mirip Cut Tari’ menjadi fenomena karena mereka adalah populer dan tokoh publik. Bagaimana dengan mereka yang bukan artis dan bukan tokoh publik?

Kendati video porno tersebut konon tidak disebarkan oleh orang yang ‘mirip dengan ketiga artis tersebut’ namun itu adalah sexting. Bisa dilacak, barangkali, tanpa harus melakukan razia, di handphone maupun email-email dan situs-situs internet yang pernah diakses anak-anak Indonesia.

Sebagai contoh, dengan penelaahan sederhana melalui www.google.com/trends, di mana semua orang dapat melakukannya, nampak jelas bahwa hit-hit untuk content ‘porno’ tertentu memang dipimpin oleh para netters Indonesia. Sebagai contoh, hit untuk content ber- keywords (kata kunci) ‘sex video’, ‘porn video’, ‘pornstar’, ‘miyabi’, dan ‘making love’, adalah didominasi oleh para netters Indonesia (data diperoleh melalui www.google.com/trends pada 3 Juni 2010).

Peri Umar Farouk (2009) mensinyalir bahwa  banyak kasus perederan pesan, gambar, dan video berkonotasi seksual yang belum terungkap di Indonesia.  Ia mengatakan, di tahun 2009 terdapat sekitar 700 mini video porno asli remaja Indonesia, dan ribuan gambar yang telah beredar di ruang maya, yang di antaranya adalah hasil sexting yang sengaja ataupun tidak sengaja bocor ke publik yang lebih luas melalui berbagai media elektronik.

Tentang Sexting

Sexting yang berasal dari kata sex dan texting mungkin bisa disebut terminologi baru dalam dunia komunikasi Indonesia.  Ia adalah suatu aktivitas mengirimkan pesan berupa teks kepada orang lain dengan harapan dapat melakukan aktivitas seksual di kemudian hari. Pengertian lain sexting adalah suatu terminologi yang dibuat oleh media untuk menjelaskan fenomena pengiriman atau penyebaran pesan-pesan seksual apakah berupa tulisan, gambar, dan video (www.urbandictionary .com).

Pengertian lain adalah gejala mengambil foto atau video bugil dengan menggunakan kamera ponsel, kemudian menyebarkannya. Beberapa kalangan lebih luas lagi mengartikan Sexting termasuk penyebarannya melalui teknologi internet, seperti melampirkan di dalam email atau membubuhkannya sebagai profil atau di galeri dalam situs jejaring sosial (social networking), misalnya situs-situs: Myspace, Facebook, Multiply, Friendster, Hi5, dan lain-lain (Peri Umar Farouk, 2009).

Menurut Wikipedia (2005), kemunculan fenomena sexting dilaporkan paling awal pada tahun 2005 oleh Sunday Telegraph Magazine, dan setelah itu mendapat perhatian luas di seluruh dunia, utamanya di UK, Australia, New Zealand, USA, dan Canada.

Pada survei yang dilakukan tahun 2008 pada 1280 remaja dan pemuda baik laki-laki maupun perempuan oleh Cosmogirl.com terungkap temuan sebagai berikut : 20% remaja (13 – 19 tahun) dan 33% pemuda (20 – 26) pernah mengirimkan foto-foto porno atau semi porno diri mereka secara elektronik. Kemudian, 39% remaja dan 59% pemuda pernah mengirimkan SMS-SMS bernada seks/porno.

Penelusuran penulis sendiri menemukan bahwa ada 7.720.000 links untuk kata kunci ‘sexting’ di mesin pencari google.com dan tersedia 3070 video berkata kunci ‘sexting’ di www.youtube.com (per Jum’at 18 Juni 2010).

Sebagai tambahan data berkenaan dengan fenomena sexting, Parry Aftab, seorang ahli pengamanan di internet dan aktivis yang memperjuangkan perlindungan remaja di ruang maya, mengklaim bahwa: 44% pelajar putra pernah mendapatkan materi porno teman pelajar putri satu sekolahnya. Dan 15% pelajar putra menyebarkan materi porno kekasihnya setelah hubungan pacaran mereka putus (Peri Umar Farouk, 2009).

Kehancuran Akibat Sexting

Sexting boleh jadi menyenangkan, menggairahkan, membuat penasaran, walaupun banyak pihak mengutuknya sebagai kejahatan bahkan perbuatan dosa juga.  Sisi yang lebih pasti adalah penyebaran teks, gambar, maupun video ke ruang publik, entah dilakukan pelakunya ataupun tidak telah menyebabkan ‘kehancuran’ bagi sang pelaku, bagi sang penyebar, bagi semua orang yang pernah mengakses, termasuk anak-anak Indonesia.

Di luar kasus Peterporn yang membuat Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari  kini berada dalam masa-masa yang sulit, banyak lagi kasus lain yang menimbulkan kehancuran yang sama. Kasus Edison Chen misalnya. Aktor muda Hong Kong ini gemar merekam adegan seksnya dengan para artis cantik Hong Kong seperti Gillian Chung, Bobo Chan dan Cecilia Cheung, dan banyak lagi. Sampai suatu waktu senjata makan tuan. Film-film yang direkam dalam laptopnya tersebut berpindah ke ruang publik ketika sang laptop direparasi. Peredaran video-video tersebut begitu massif. Sehingga di tahun 2008 tersebut ia menjadi trending topic di google.com China dan menjadi tokoh nomor dua terpopuler di Hong Kong setelah Barrack Obama.

Maka, Edison pun lari ke Amerika dan menyangkal habis-habisan keterlibatannya. Namun alat bukti terlalu kuat. Akhirnya iapun mengaku dan meminta maaf.

Edison Chen boleh menyesal, namun karir terlanjur hancur.  Ia pun meninggalkan dunia keartisannya di Hong Kong.  Dan internet bukanlah pihak yang mudah memaafkan. Pun untuk para gadis yang direkamnya. Masih ingat dalam benak penulis, Gillian Chung menangis dan menyesal luar biasa atas peristiwa tersebut. Dalam siaran di Channel News Asia tahun 2008, Gillian Chung sambil menangis mengatakan bahwa ia masih muda ketika itu,  tak terlalu banyak tahu,  menyesal sekali, dan tak akan mengulanginya lagi.

Kasus lain adalah skandal seorang anggota DPR bernama YM dengan seorang artis (ME). Akibat bocornya video skandal seks mereka pada tahun 2004 yang terungkap ke hadapan publik pada tahun 2006, hancurlah karier politiknya.  Tak sekedar mengundurkan diri dari DPR, kini YM nampak tiarap, entah berada di mana.  Yang jelas menjadi korban juga adalah keluarganya. Sukar dibayangkan bagaimana nasib keluarga YM menanggung ‘musibah’ seperti ini.

Pada tahun 2001 muncul satu video dengan nama Bandung Lautan Asmara alias “Itenas 2001′. Video ini adalah rekaman pribadi sepasang muda-mudi Bandung (A dan N) Bandung yang merekam adegan seksual mereka demi merayakan ulang tahun perpacarannya. Karena kelalaian sang pria yang ingin memindahkan film ke format VCD melalui jasa transfer VCD maka terungkaplah video pribadi tersebut ke ruang publik.

Mereka berdua kemudian diperiksa polisi, namun tak pernah ditahan. Pelaku penyebarannya yang kemudian ditahan. Kendati demikian mereka telah terhukum secara moral dan sosial. Sang pria dan wanita kini hilang tak tentu rimbanya. Keluarganya pun bisa dibayangkan amat berat menanggung musibah ini.

Perlindungan Anak

Yang kini patut jadi perhatian, terlepas apakah sexting termasuk dosa ataupun kejahatan, ataupun kedua-duanya, ataupun tidak kedua-duanya, merekam dan menyebarkan aktivitas seksual -entah dilakukan yang bersangkutan ataupun melalui tangan orang lain-  yang mestinya amat pribadi, kini menjadi konsumsi publik. Menjadi konsumsi mata-mata yang tidak berhak, termasuk mata-mata anak-anak Indonesia.

Satu institusi yang paling diuntungkan tentu media. Televisi ramai-ramai memberitakan kasus tersebut, penonton membuncah, acara infotainment menjadi laris manis. Rating meninggi. Dan tentu saja saat-saat demikian banyak dilirik pengiklan. Situs-situs internet juga begitu, tiba-tiba traffic pengunjung melonjak  tajam. Sepadan dengan industri pertelevisian, mereka juga diuntungkan dengan kasus tersebut. Oknum pengambil keuntungan lain ada juga. Seperti penjaja video bajakan di Glodok yang menjual video diduga “Ariel VS Luna Maya & Cut Tari” dengan harga murah. Laris manis.  Atau, pengelola blog gratisan yang menampung koleksi video-video porno tersebut  dengan harapan banyak pengunjung yang datang kemudian mengklik iklan google adsense sehingga mendapatkan dollar dari google (Yons Achmad, 2010).

Tapi untuk anak-anak Indonesia, Peterporn dan maraknya sexting ini jelas bukan berkah. Lebih layak disebut musibah.  Berbeda dengan Jessie Logan yang kemudian bunuh diri karena merasa malu, tak jelas apakah para pelaku dan penyebar sexting di Indonesia tersebut juga merasa malu dan tertekan.  Sexting mungkin fun, flirt, and sexy, namun berapa jiwa lagi yang harus dikorbankan? Berapa banyak lagi para Jessica Logan yang akan menyusul bunuh diri, menyusul terhina dan menderita lahir bathin, berapa banyak lagi jiwa yang karir dan karakternya harus hancur? Berapa banyak lagi anak-anak yang kini ‘mirip dewasa’ karena maraknya persebaran sexting tersebut?

Anak-anak di Indonesia bisa merupakan pelaku, penyebar, penikmat, ataupun sekedar penasaran ingin melihat sexting. Namun sejatinya mereka semua adalah korban.  Masa anak-anak yang mestinya dinikmati dengan bermain, berolahraga, belajar bersama, bergembira ria, bisa terpuruk menjadi lamunan panjang, kesedihan dan frustrasi mendalam, terkurung di bilik warnet, asyik masyuk dengan content di handphone, hingga terkurung di terali besi akibat pelecahan seksual yang mereka lakukan.  Dan ini nyata,  kejahatan kedua terbanyak yang dilakukan para Napi Anak di Lembaga Pemasyarakatan  Pria Tangerang (Data Mei 2010) adalah kejahatan yang terkait dengan seksual.

Maka, kini saatnya melakukan pendidikan media (media literacy) untuk anak-anak Indonesia. Supaya baik orangtua maupun anak dapat memilah-milah mana media yang sehat untuk anak dan mana yang tidak.  Kedua, mendorong media (baik pers maupun lembaga penyiaran) untuk turut berperan serta dalam perlindungan anak dari content dalam media maupun lembaga penyiaran yang berbahaya bagi anak-anak dan remaja (sebagaimana mandat dari UU Perlindungan Anak tahun 2002, UU Pers tahun 1999 dan UU Penyiaran tahun 2002).  Ketiga, meningkatkan budaya malu, yang sudah semakin hilang dari negeri ini.  Karena ketika semua orang sadar dan tinggi rasa malu-nya, maka tak perlu peran hukum negara dan kontrol sosial masyarakat untuk,  fenomena sexting bisa berkurang dengan drastis. Semoga.

Heru Susetyo, staf pengajar Hukum Perlindungan Anak Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI)