Kisah
Ketika Imam Mahdi Menemui Pemuda Saleh
Alm. Haji Nuri dalam kitabnya Najmu ats-Tsaqib menuturkan bahwa alm. Haji Mala Muhsin Ashfahani, seorang ulama saleh, cerdas, sangat bijak, dan tiada duanya, serta sosok manusia yang terkenal dengan kejujuran, ketaatan, dan jiwa sosialnya, bercerita,
“Di salah satu malam Jumat, aku pergi bersama salah seorang muridku ke Masjid Kufah. Orang yang sering pulang pergi ke masjid itu berarti telah mempertaruhkan nyawanya, karena banyaknya perompak dan penyamun di zaman itu yang berkeliaran, baik di dekat masjid maupun di sekitarnya.
Ketika memasuki masjid itu, kami hanya menemukan seorang siswa yang tengah melaksanakan ibadah dan shalat. Lalu, kami mulai melakukan amalan yang biasa dilakukan di Masjid Kufah, setelah terlebih dulu menutup pintu masjid dan meletakkan di belakangnya segala yang dapat diangkat tangan kami, baik batu maupun benda lain. Aku melakukannya agar tidak ada orang yang dapat membuka pintu dari luar masjid. Setelah itu, aku duduk menghadap kiblat bersama temanku di Dakkah al-Qadha, lalu mulai membaca beberapa doa dan shalawat.
Adapun orang itu, yang ketika aku masuk masjid sudah berada di situ sendirian, telah pindah tempat dan duduk di dekat pintu al-Qail. Sekarang, ia tengah membaca Doa Kumail. Saat itu, udara sangat dingin namun langit sangat cerah. Bulan purnama memancarkan sinarnya ke bumi dengan terang, hingga suasana terlihat begitu hening dan membuat kami semakin khusuk dalam bermunajat dan berdoa.
Tak lama, terciumlah oleh kami aroma sangat wangi dan semerbak, yang memenuhi seluruh sudut masjid. Lalu, aku melihat seberkas cahaya terang yang menyelimuti langit dan melebihi cahaya rembulan. Aku melihat siswa yang tadinya membaca doa kumail dengan suara yang sangat keras itu terdiam. Pada detik itu, muncullah seorang pemuda yang sangat berwibawa, mulia, dan agung. Ia masuk melalui pintu yang kami tutup dengan batu di belakangnya itu. Ia mengenakan pakaian penduduk Hijaz dengan sehelai kain penutup leher di atas bahunya. Ia terus berjalan dengan tenang dan berwibawa menuju makam Muslim bin Aqil. Sementara, kami tercengang atas ketampanan dan kegagahannya itu.
Ia lalu mengucapkan salam kepada kami. Aku pun berusaha menjawabnya, namun lidahku kelu lantaran terpana dengan ketampanannya itu. Adapun temanku, terus terpaku di tempatnya; tak dapat bergerak maupun mengucapkan salam. Tak lama, setelah ia pergi ke makam Muslim bin Aqil, kami pun kembali melakukan ibadah seperti sebelumnya. Namun, kami terus bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda yang sangat berwibawa itu? Bagaimana ia dapat memasuki pintu yang telah kami ganjal dengan batu? Akhirnya, karena penasaran, aku mengikutinya ke makam Muslim bin Aqil.
Ketika melihat siswa tadi duduk di tanah dan merobek-robek bajunya sambil menangis, kami langsung bertanya kepadanya, “Hai, apa yang terjadi denganmu?’ Ia menjawab, aku telah menghabiskan waktu selama 40 malam untuk itikaf di masjid ini, dengan harapan dapat bertemu Shahib Zaman Imam Mahdi as. Namun, ketika aku melihat beliau dengan keagungan dan wibawanya, kemudian mengucapkan salam kepadaku, aku diam saja dan tak menjawabnya. Beliau juga bertanya kepadaku, ‘Apa yang Anda inginkan, wahai hamba yang saleh?’ Namun aku juga tidak dapat menjawabnya, seakan-akan tersihir. Aku pun terus diam dan tak dapat bergerak sedikit pun. Lalu, beliau pun tersenyum dan pergi.’
Ketika kami hendak pulang dan keluar dari pintu masjid yang kami ganjal dengan batu itu, kami melihat pintu itu masih seperti semula tak berubah sedikit pun.
Hasan Abathahi, Bertemu Imam Mahdi