Kisah
Kenikmatan Duniawi Tak Dilarang
Suatu hari, Imam Ali as menjenguk seorang sahabatnya, ‘Ala bin Ziyad Haritsi. Ketika memasuki rumahnya yang amat luas itu, beliau terheran-heran dan berkata kepadanya,
“Apa sebenarnya yang hendak kau lakukan dengan rumah seluas ini di dunia? Bukankah engkau lebih memerlukan seperti ini di akhirat nanti?”
“Namun,” lanjut Imam Ali as, “Engkau dapat mencapai kebahagiaan akhirat dengannya, bila di dalamnya Anda menjamu dan menghormati para tamu, berbuat kebaikan terhadap sanak kerabat, serta menampakkan kebenaran yang harus ditampakkan. Dengan begitu, engkau telah menjadikannya sarana yang baik guna mencapai akhirat.”
Kemudian, si pemilik rumah berkata kepada Imam Ali as,
“Wahai Amirul Mukminin, aku ingin mengadukan saudaraku, ‘Ashim bin Ziyad, kepadamu.”
“Apa gerangan yang dilakukannya?” tanya Imam Ali as.
“Ia kini mengenakan ab’ah (semacam mantel yang bagian depannya terbuka. Pada masa itu terbuat dari bahan amat kasar dan hanya dikenakan orang-orang miskin penghuni dusun) dan meninggalkan sama sekali kenikmatan hidup dunia.”
“Pangillah ia kemari!” pinta Imam Ali as.
Setelah ‘Ashim datang, Imam Ali as berkata kepadanya, “Hai ‘musuh kecil’ dirinya sendiri! Sesungguhnya engkau telah disesatkan ‘si jahat’. Tidakkah engkau mengasihani istri dan anak-anakmu? Apakah menurut perkiraanmu Allah Swt telah menghalalkan bagimu segala yang baik, lalu Dia tidak suka engkau menikmatinya? Sungguh, dirimu terlalu kecil untuk dituntut melakukan seperti itu oleh-Nya!”
“Tapi, wahai Amirul Mukminin, Anda sendiri memberi contoh dengan mengenakan pakaian amat kasar dan memakan makanan yang kering,” jawab ‘Ashim.
Imam Ali as menjawab, “Ketahuilah, diriku bukan seperti dirimu. Sebab Allah telah mewajibkan atas para pemimpin yang benar agar mengukur dirinya dengan keadaan rakyat yang lemah, sehingga orang miskin tidak sampai tersengat oleh kepedihan kemiskinannya.”
Ayatullah Baqir Sadr, Mutiara Nahjul Balaghah