Kisah
Cahaya Makam Amirul Mukminin dan Terbukanya Pintu-pintu
Kisah ini bersumber dari Syaikh Muhammad Husain Qumsyah.
“Suatu malam, selepas maghrib, saya keluar dari rumah untuk membeli pembersih gigi. Tokonya berada dekat pagar kota (saat itu kota Najaf dibentengi pagar berpintu yang berhubungan dengan pasar besar dan memanjang hingga pintu makam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as; pintu ini berhadapan dengan pintu masuk makam. Sehingga, jika pintu-pintu itu dibuka, makam beliau akan terlihat oleh siapa saja yang memasuki pintu kota).
Ketika sampai di dekat pintu kota, saya mendengar suara gemuruh khalayak ramai yang berada di balik pintu, mengetuk pintu itu seraya berteriak, ‘Wahai Ali, bukakanlah pintu ini untuk kami…..’ Para tentara tidak menggubris mereka (karena mereka selalu menutup pintu di petang hari dan membukanya kembali di waktu pagi. Mereka melarang pintu dibuka di malam hari).
Setelah membeli pembersih gigi, saya kembali ke dekat pintu tersebut dan masih mendengar khalayak yang sedang memohon dengan suara keras sambil menghentak-hentakkan kaki mereka dengan keras ke tanah, seraya berteriak, ‘Wahai Ali, bukakanlah pintu ini untuk kami.’ Kala itu, saya sandarkan punggung ke tembok, sehingga posisi makam berada di sebelah kanan saya, sementara pintu kota di sebelah kiri.
Tiba-tiba, saya melihat cahaya berwarna biru sebesar lingkar buah jeruk, muncul dari pusara suci Amirul Mukminin as dengan dua gerakan; pertama, bergerak mengelilingi makam itu sendiri, dan kedua, bergerak menuju pintu makam dengan melewati halaman, lalu melintas di pasar besar dan kemudian lewat di hadapan saya dengan sangat perlahan. Saat itu, saya pun berputar sehingga menabrak pintu kota. Lalu, terbukalah pintu itu berserta pagar di sekeliingnya, sehingga para peziarah dapat masuk ke kota dengan senang dan gembira.”
Begitulah akhir penuturan beliau. Kisah di atas sangat populer di kalangan tokoh agama di Najaf. Sebagian mereka ada yang mendengar langsung dari beliau (Syaikh Muhammad Husain Qumsyah) dan hingga hari ini (saat kisah ini ditulis–red) mereka masih hidup.
Abdul Husain Dasteghib, Kisah-kisah Ajaib