Kisah
Bisikan dari Masjid Jamkaran
Tahun 1982 M adalah tahun pembunuhan para ulama dan kaum revolusioner Republik Islam Iran. Nyaris di seluruh penjuru negeri terjadi pergolakan. Rasa aman yang biasa dirasakan warga telah hilang. Semua itu terjadi akibat ulah sebagian munafik dan tidak adanya sarana ketahanan di wilayah tersebut.
Selama tiga hari, siang-malam, aku merasa gelisah dan takut. Aku pun selalu berusaha menghilangkan rasa takutku itu dengan bertawakal kepada Allah Swt. Pada hari ketiga, kebetulan saat itu malam Jumat, aku merasakan kegelisahan dan kerisauan luar biasa yang belum pernah kualami selama hidupku, sehingga sulit memejamkan mata untuk tidur. Namun, rasa risau dan gelisahku tidak kutunjukkan pada siapapun, bahkan kepada istriku.
Suatu saat, aku ingin menghubungi salah seorang temanku. Lalu kusambung kembali kabel telepon yang telah kucabut. Saat aku hendak mengangkat gagang telepon sambil mencari nomor telepon temanku itu, tiba-tiba pesawat teleponku berdering. Aku pun mengangkatnya. Lalu, aku bertanya, “Halo, siapa ini?” Ia menjawab, “Aku, fulan.” Lalu aku bertanya kembali, “Bagaimana teman? Baik? Dari mana kau meneleponku?” Ia menjawab, “Aku menghubungimu dari kota Qum, dari masjid Jamkaran.”
Mendengar jawaban orang itu, aku langsung bertanya, “Apakah di masjid Jamkaran ada telepon?” Ia menjawab, “Ya, ada, ini nomor teleponku.” Setelah memberikan nomor teleponnya kepadaku, ia berkata, “Malam ini salah seorang sahabatmu datang kemari, kemudian ia (berkata bahwa ia telah) berdiri di hadapan Shahib Zaman, Imam Mahdi as, dan beliau berkata kepadanya, ‘Sekarang ini, Sayyid Abtahi sedang dalam keadaan resah dan takut. Katakanlah padanya, ‘Janganlah engkau takut dan gelisah, karena mereka (Ahlul Bait) akan menjagamu dari bencana ini. Dan dengan izin Allah Swt, mereka akan menjagamu. Jika rasa resahnya tidak juga hilang dengan pembicaraan lewat telepon, katakan pada Mahdi.’
Aku pun berkata, “Wahai Shahib Zaman, wahai Aba Saleh, wahai Mahdi, tolonglah aku.”
Aku terus meratap dan mengulang-ulang kalimat tersebut hingga air mataku bercucuran deras dan membasahi kedua pipiku. Di saat aku bertawasul dengan khidmat dan khusuk, tiba-tiba aku mendengar suara langkah seseorang di belakangku. Aku pun menoleh ke belakang. Aku melihat seorang Arab, berjalan perlahan di tengah lautan padang pasir nan luas itu. Aku langsung berdiri dan memanggilnya, “Hai orang Arab, demi Allah, tolong selamatkan kami. Di manakah kami sekarang, kami kehilangan jejak.”
Orang itu menghentikan untanya lalu mendekat ke arahku dan memanggil namaku sambil berkata, “Janganlah panik dan takut, akan kutunjukkan kepadamu jalannya. Pergilah kalian melalui jalan ini, hingga sampai di antara dua gunung. Setelah itu, kalian terus saja berjalan di antara kedua gunung itu.”
Setelah tahu adanya pembicaraan lewat telepon, istriku berkata kepadaku, “Tadi pagi, setelah aku melakukan shalat Subuh, saat membaca doa ziarah kepada Shahib Zaman Imam Mahdi as, aku melihat beberapa orang pria berpostur besar dan kekar hendak memukulimu, namun tiba-tiba berdiri seorang Arab di hadapan mereka dan berkata, ‘Barangsiapa berani memukulnya, aku akan maju untuk menghabisi kalian. Aku melihat mereka melarikan diri, satu demi satu, hingga tubuh mereka semakin kecil lalu menghilang dari penglihatanku.”
Hasan Abathahi, Bertemu Imam Mahdi