Akhlak
Kedermawanan Ismail bin Ubbad
Ismail bin Ubbad Thaliqani, lebih dikenal dengan Shahib Ubbad, adalah menteri di kerajaan Dailami (w. 373 H). Atas perintahnya, Syaikh Shaduq menulis kitab Uyun al-Akhbar ar-Ridha dan Husain bin Muhammad Qumi menulis kitab Tarikh Qum.
Di masanya, setiap orang yang datang ke rumahnya pada bulan Ramadhan tak pernah diperkenankan pulang sebelum berbuka puasa. Terkadang, dalam sehari, seribu orang berbuka puasa di rumahnya. Ia rutin bersedekah dan berinfak di bulan Ramadhan dua kali lipat jumlahnya dibandingkan 11 bulan lainnya.
Sejak kecil, ia memang sudah dididik sang ibu untuk menjadi sosok yang dermawan.
Pada masa kanak-kanaknya, ia kerap pergi ke masjid untuk belajar agama. Setiap hari di waktu pagi, sang ibu memberinya satu dinar dan satu dirham, serta menyuruhnya bersedekah kepada orang fakir yang pertama kali dijumpainya pada hari itu. Perbuatan ini pun menjadi kebiasaan Shahib Ubbad hingga dewasa.
Sepanjang hayat, ia tak pernah meninggalakan pesan ibunya itu. Lantaran kuatir lupa bersedekah dalam satu hari, ia biasa menyuruh pelayannya yang bertugas merapikan kamarnya untuk meletakkan satu dinar dan satu dirham dalam kaleng. Ini agar esok paginya, ia dapat menyedekahkan uang itu pada fakir miskin yang pertama kali dijumpainya.
Suatu malam, pelayan itu lupa meletakkan uang ke dalam kaleng. Hingga keesokan harinya, usai shalat Subuh, Shahib Ubbah terkejut saat memasukkan tangannya ke dalam kaleng dan mendapatinya kosong. Ia berkata dalam hati, “Pasti ajalku sudah tiba, karena pelayanku lupa memasukkan uang sedekah.”
Ia lantas menyuruh pelayannya menyedekahkan semua yang ada dalam kamarnya. Mulai dari selimut, kasur, hingga bantal kepada fakir miskin yang pertama kali dijumpainya pagi itu. Ini dilakukannya sebagai tebusan atas kelalaian pelayannya.
Semua barang di kamarnya bernilai tinggi. Pelayan pun mengumpulkan semua itu dan membwanya keluar rumah. Kebetulan, pelayan itu berjumpa dengan lelaki buta yang sedang dituntun istrinya.
Pelayan mendekati lelaki buta itu dan bertanya, “Bersediakah Anda menerima semua pemberian ini?”
Lelaki itu bertanya,”Pemberian apa?”
Pelayan menjawab, “Selimut, kasur, dan beberapa bantal.”
Mendengar itu, lelaki buta tersebut langsung jatuh pingsan.
Mereka kemudian mengabarkan kejadian ini kepada Shahib Ubbad yang bergegas datang ke lokasi. Shahib bin Ubbad lalu menyuruh pelayannya untuk memercikkan air ke wajah lelaki itu agar siuman. Ketika siuman, Shahib bin Ubbad bertanya, “Apa yang membuatmu pingsan?”
Lelaki itu mengatakan, “Aku sebelumnya orang yang punya harga diri dan dalam beberapa waktu jatuh miskin. Dari wanita ini, aku punya anak gadis yang sudah tumbuh dewasa. Seorang lelaki melamarnya dan pernikahan keduanya pun dilangsungkan. Selama dua tahun ini, Kamilah yang menanggung segala kebutuhan hidup keduanya, mulai dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal.”
“Semalam,” lanjutnya, “iistriku mengatakan, ‘Kita harus memberikan selimut dan bantal yang layak untuk putri kita.’ Istriku tidak pernah memperhatikan keinginanku dan selalu memaksakan kemauannya. Akhirnya kami bertengkar terkait masalah ini.”
Lelaki itu terdiam sejenak, kemudian meneruskan kisahnya, “Aku pun berkata kepada, ‘Besok pagi kita sama-sama keluar rumah dan melihat apa yang akan terjadi.’ Sekarang, pelayan Anda menyampaikan berita ini kepadaku yang membuatku jatuh pingsan.”
Shahib bin Ubbad terharu mendengar cerita lelaki buta itu dan meneteskan air mata. Kemudian ia berkata, “Aku akan memberikan perabot yang layak untuk putrimu.”
Lalu Shahib bin Ubbad memanggil suami gadis itu dan memberinya modal untuk bekerja agar mandiri. Setelah itu, ia melengkapi perabotan kamar putri lelaki buta itu layaknya putri seorang Menteri.
*Ali Sadaqat, 50 Kisah Teladan