Ikuti Kami Di Medsos

Akhlak

Imam Khomeini: Telaah Hadis Kibr [Bag. 4]

Sikap angkuh juga terlihat di kalangan ilmuwan pada umumnya seperti dokter, matematikawan, insinyur dan lain-lain. Mereka meremehkan ilmu-ilmu yang lain, betapa pentingnya ilmu -ilmu itu dan memandang rendah adalah hal yang menguasai ilmu-ilmu tersebut dalam hati mereka, menghina orang dan mengejawantahkannya dalam perilaku mereka, padahal ilmu mereka tidak menuntut sikap seperti itu.

Baca pembahasan sebelumnya Imam Khomeini: Telaah Hadis Kibr [Bag. 3]

Sebagian lain orang yang bukan ahli ilmu apapun, seperti orang-orang yang rajin melakukan ibadah mahdhah juga cenderung bersikap angkuh terhadap orang lain. Mereka bersikap angkuh terhadap orang dan memandang rendah mereka dan bahkan memandang alim-alim besar tidak selamat [dari siksa neraka]. Apabila ada pembicaraan tentang ilmu serta merta mereka mengatakan bahwa ilmu tanpa amal tidaklah bermanfaat. Mereka begitu peduli pada sedikitnya ilmu yang mereka miliki, dan memandang orang lain dengan sikap meremehkan. Mereka lupa bahwa jika mereka itu benar-benar ahli ibadah yang ikhlas, ibadah mereka itu akan memperbaiki akhlak mereka.

Salat mencegah dari perbuatan tidak senonoh (fahsya) dan dosa, serta dianggap sebagai orang beriman. Namun orang seperti itu setelah 50 tahun menaikkan ibadah-ibadah wajib dan mustahabb (dianjurkan) justru terkena kehinaan takabur yang merupakan sejenis kemurtadan dan dikuasai oleh ujub yang lebih besar daripada tindakan tidak senonoh yang lain serta menyerupai iblis dan sifat-sifatnya. Salat yang tidak mencegah dari perbuatan tidak senonoh, salat yang tidak melindungi hati bahkan dunia yang berlebih-lebihan merusak hati tidaklah patut dinamakan salat. Salat yang dengan tekun engkau lakukan bila ia makin mendekatkanmu kepada iblis dan ciri khasnya berupa keangkuhan bukanlah salat, lantaran salat yang sebenarnya tidak berakibat demikian.

Semua itu terjadi akibat ilmu dan amal [yang sebenarnya merupakan kesempurnaan], namun keangkuhan juga dapat disebabkan oleh sebab-sebab lain yang kesemuanya berkaitan dengan persepsi dan ilusi seseorang akan suatu kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Misalnya seseorang yang berasal dari keturunan orang mulia memandang rendah orang yang bukan seperti dirinya. Sebab-sebab lain berhubungan dengan kecantikan, suku, jumlah pendukung, pengikut atau murid yang menimbulkan keangkuhan dan kesombongan terhadap orang lain yang tidak seperti dirinya. Dalam semua contoh yang disebut belakangan, keangkuhan disebabkan oleh ilusi bahwa diri sendiri memiliki kesempurnaan, bangga dan ujub dengannya, dengan melihat orang lain tidak memiliki kesempurnaan seperti yang dibayangkannya itu.

Orang-orang yang berakhlak buruk juga kadang-kadang merendahkan orang lain dengan sikap angkuh, sebab mereka beranggapan bahwa akhlak buruk itu sebagai sejenis kesempurnaan. Meskipun orang yang mengidap keburukan-keburukan itu berupaya menyembunyikannya karena alasan tertentu dan mencoba untuk tidak memperlihatkan tanda-tandanya. Akan tetapi lantaran keburukan keangkuhan itu telah berurat akar di hatinya, pengaruh-pengaruhnya tentap saja akan tampak nyata. Begitu terjadi perubahan pada kondisi orang yang memiliki akhlak buruk itu seperti ketika ia tidak dapat lagi mengendalikan diri karena amarahnya ia mulai membangga-banggakan kelebihannya dan menghitung-hitung jasanya, entah itu berupa ilmu maupun amal atau lainnya. Kadang-kadang orang yang angkuh itu mempertunjukkan keangkuhannya dan tidak memperhatikan bentuk lahiriyah keangkuhannya itu lagi. Begitu keangkuhannya semakin menjadi-jadi, iaa pun kehilangan kendali diri.

Ada kalanya juga takabur ini merupakan dalam gerak dan diam seseorang. Dalam majelis-majelis ia memperlihatkan bahwa dirinya itu penting. Ini terlihat dari tindakan yang senantiasa harus selalu diutamakan sesuai keinginannya. Ia tidak mau kalau ada orang miskin berada bersamanya, juga tidak mau menghadiri majelis mereka. ia bersikap seolah-olah dirinya itu sebagai orang suci. Padahal setiap perbuatannya, gaya berjalannya, cara memandang orang lain, cara ia berbicara dengan mereka, semuanya menunjukkan bahwa ia itu angkuh.

Salah seorang muhaqqiq yang pokok-pokok wacananya saya pinjam dan terjemahkan mengatakan bahwa jika seorang ahli membandingkan diri dari orang lain seakan-akan ia ingin menghindar dari mereka, itulah serendah-rendah keangkuhan seorang alim. Derajat terendah dari keangkuhan ahli ibadah terejawantahkan dalam sikapnya yang sewenang-wenang terhadap orang dan dalam wajahnya yang masam seakan-akan dia ingin menghindar dari dosa [wara].

Padahal wara bukanlah bermuka masam, memandang rendah, menghindar dari orang dan memalingkan muka dari orang, tetapi ketakwaan dan wara itu terletak di dalam hati. Rasulullah saw pernah bersabda seraya menunjuk ke dada beliau, “ketakwaan terletak di sini.”

Kadang-kadang orang yang ahli ibadah membangga-banggakan dirinya dalam nada bicaranya. Seraya mengungkapkan kesucian jiwanya ia memperlihatkan praktik-praktik ibadahnya, membual tentang dirinya dengan menyebut-nyebut amal salehnya dan mengecap kelemahan dan kekurangan orang lain yang dengan demikian mempertunjukkan keunggulan kesalehannya. Kadang-kadang ia tidak mengatakan sesuatu secara eksplisit tetapi membuat isyarat yang secara implisit mempertunjukkan kesalehannya. Seorang alim yang mengidap sifat takabur akan membuat tentang prestasi-prestasi intelektualnya sendiri dengan kata-kata ‘tahu apa kamu’ kemudian ia akan menyebutkan buku-buku yang pernah dibaca dan ditulisnya, universitas-universitas yang pernah dikunjunginya, profesor dan ahli yang pernah ditemuinya, serta capaian ilmiah yang lain. Oleh karena itu seseorang senantiasa perlu untuk berlindung kepada Allah dari keburukan-keburukan diri dan tipu dayanya.

(Bersambung)

Imam Khomeini, “40 Hadis: Hadis-hadis Mistik dan Akhlak”

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *