Berita
Fikih Kebhinekaan: Mendorong Keterbukaan Pemikiran dan Ruang Dialog
Muhammadiyah adalah salah satu ormas yang memiliki kepedulian terhadap kondisi Islam di Indonesia. Kini, ormas yang telah memberikan kontribusi besar kepada Muslim Indonesia ini, kembali memberikan kontribusinya untuk menjawab kebutuhan umat yang saat ini tengah diterpa gelombang sengketa yang berusaha diimpor oleh sebagian kalangan dari Timur Tengah. Karena itulah bersama Maarif Institute dan penerbit Mizan, Muhammadiyah pun meluncurkan buku Fikih Kebhinekaan, Kamis (20/8) di Aula kantor Muhammadiyah, Jakarta.
Ketua Umum Muhammadiyah yang baru saja terpilih, Dr. Haedar Nashir, M.Si. sebagai pembicara kunci dalam peluncuran buku tersebut menyebutkan sejumlah poin dalam Fikih Kebinekaan. Poin-poin yang menurutnya sejalan dengan rekomendasi muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar awal Agustus lalu, di antaranya tentang keumatan, takfrisme, dan ajakan agar umat memiliki pemahaman lebih subtantif tentang agama.
Selain itu, Muhammadiyah juga mengeluarkan sebuah rekomendasi terbilang cukup berani dan berkemajuan dalam mendorong dialog antara Sunni dan Syiah di ruang publik tanpa ada kecemasan, kecurigaan dan ketakutan. Sebab hanya dengan begitu menurut Muhammadiyah, umat Islam, baik Sunni maupun Syiah bisa terhindar dari konflik.
“Karena ketika dialog itu ditutup justru akan menimbulkan potensi-potensi laten untuk berkonflik,” jelas Haedar.
Haedar juga mengajak hadirin yang menghadiri diskusi dan peluncuran buku Fikih Kebinekaan membuka jendela seluruh wacana pemikiran untuk melihat keragaman pemikiran dan keragaman konstruksi sudut pandang dalam melihat realita yang ada. Sebab makin hari menurut Haedar, sebagaimana realita saat ini, kita dihadapkan pada perebutan akses kekuasaan, baik ekonomi atupun agama, sementara fikih bisa dijadikan alat untuk kekerasan dengan sikap-sikap kakunya dan juga bisa dijadikan alat untuk melonggarkan kekakuan itu, sebab fikih berada dalam area subjektif.
Ketika agama sudah masuk pada perlombaan kepentingan untuk meraih kekuasaan, baik kekuasaan politik, ekonomi, bahkan hegemoni agama, maka umat akan dihadapkan pada dampak perlombaan kepentingan tersebut yang bukan tak mungkin antara sesama mereka akan saling menghabisi.
“Maka jangankan dengan yang berbeda agama, dengan yang satu agama pun akan saling menghabisi,” pungkasnya.
Dalam keberagaman, benturan berbagai kepentingan dan realita kemunculan berbagai pemikiran baru sebagai sebuah realitas sosiologis dalam masyarakat, kehadiran Fikih Kebinekaan diharapkan menjadi salah satu jawaban untuk mendorong keterbukaan pemikiran dan ruang dialog. (Lutfi/Yudhi)