Berita
Haidar Bagir: Jangan Gampang Anggap Budaya Lokal Bertentangan dengan Syariat
Beberapa kalangan Islam mengkritik wacana Islam Nusantara karena mereka berangkat dari asumsi bahwa Islam dibudayakan. Hal itu terjadi karena mereka beranggapan agama dan budaya merupakan dua hal yang bertentangan.
Pernyataan ini disampaikan Dr. Haidar Bagir pada seminar yang diselenggarakan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengambil tema “Melacak Jejak Islam dan Islam Nusantara: Mencari Hubungan Organik Antara Islam dan Kebudayaan” pada Kamis (13/8).
“Ada yang beranggapan bahwa agama itu netral atau dalam arti kata budaya bukan domain agama. Jika baik diambil, jika buruk ditolak,” tutur Haidar Bagir.
Lebih lanjut Haidar mengatakan, ada yang beranggapan bahwa budaya itu sakral. Oleh karena itu budaya merupakan bagian dari agama. Kelompok ini memandang bahwa mengapropriasikan agama dengan budaya itu wajib.
“Ada yang hendak saya tawarkan di sini, yaitu budaya itu sakral,” kata Haidar Bagir.
Haidar mengatakan jika dilihat dari perspektif irfan aliran wahdatul wujud, maka budaya merupakan tajalli Allah Swt. Allah yang Dzat berbeda dengan makhluk-Nya.
“Semua wujud itu berpartisipasi dalam wujud Tuhan. Tuhan yang suci di dalam tanazzulnya bermanifestasi, memiliki kemiripan sifat dengan makhluk. Tapi dalam dzat, Dia seratus persen munazzah. Makanya dikatakan laisa kamitslihi syaik,” ujarnya.
Maksudnya, lebih lanjut kata Haidar, laisa kamitslihi syaik ada tasybih dan tanzil sekaligus. Makna ayat itu adalah tidak ada sesuatupun yang sama dengan sesuatu yang mirip dengan Tuhan.
“Dalam tasawuf mitsl ini adalah insan al-kamil atau Muhammad saw. Manusia yang diciptakan atas forma Tuhan,” terangnya.
Rasullah saw adalah manusia yang mengapropriasi sifat-sifat Allah Swt secara sempurna. “Mitsl itu maksudnya Allah itu tidak sama dengan manusia kamil yang paling dekat dengan Allah Swt,” ujarnya.
Karena cinta-Nya, Allah itu bertanazzul. Dalam hierarki wujud, Allah menghasilkan karya dari yang paling tinggi tingkatannya yaitu insan al-kamil sampai ke benda-benda berupa batu.
Dikatakan Haidar, dalam Islam, semua benda itu hidup. Oleh karena itu alam semesta itu punya unsur-unsur kekuatan. Hal ini sesuai dengan teori butterfly effect, yaitu benda yang satu (tertentu) pun bisa memiliki pengaruh terhadap alam semesta.
“Unsur alam semesta itu bisa memengaruhi unsur alam semesta yang lain,” ujarnya.
Haidar mengatakan, budaya itu sakral dan budaya harus disaring dengan syariat. “Tapi jangan gampang-gampang mengatakan unsur lokal itu bertentangan dengan syariat,” ujarnya.
Unsur wahdatul wujud, menurut Haidar, menjadi spirit dari budaya lokal yang bertebaran di bumi Nusantara. Allah bertajalli kemana-mana, kepada benda-benda dan termasuk bertajalli kepada budaya.
“Allah bertajalli kepada budaya Arab dengan cara tertentu, Allah bertajalli kepada budaya Cina. Bertajalli ke orang Cina membentuk budaya Cina, bertajalli ke orang Arab membentuk budaya Arab, bertajalli kepada orang India membentuk budaya India, bertajalli kepada orang Parsi membentuk budaya Parsi, bertajalli kepada orang Melayu membentuk budaya Melayu,” terang Haidar Bagir.
Dikatakannya, Allah bertajalli kepada makhluk sesuai kesiapannya. Orang Indonesia memiliki kesiapan tertentu yang akan menyaring tajalli Allah sehingga membentuk budaya Indonesia. Tajalli yang diterima orang Indonesia terkait Islam, adalah Islam yang sesuai dengan kesiapan orang Indonesia.
Islam Nusantara termasuk Islam yang sesuai dengan kearifan di beberapa tempat lainnya, bisa menyumbangkan sesuatu kepada Islam. Menurut Haidar, makin banyak seseorang belajar local wisdom maka makin lengkaplah pemahamannya tentang Allah Swt karena budaya sebagai salah satu lokus atau madzhar Allah dalam menampilkan diri.
“Belajarlah kepada budaya-budaya itu,” pungkasnya. (Lam Yaim/Yudhi)