Berita
Lebaran Tahun Ketiga Warga Syiah Sampang Di Pengungsian
Lebaran tahun ini adalah Lebaran ketiga bagi 310 warga Muslim Syiah Sampang di pengungsian. Di saat saudara-saudaranya kaum Muslimin di Indonesia berbahagia bisa berkumpul dengan sanak keluarga, memakai pakaian baru, menikmati kue dan opor ayam, para pengungsi yang terlunta-lunta tiga tahun ini tak merayakan apa-apa.
“Ya, merayakan bagaimana? Kami tidak Lebaran. Ya sudah biasa aja. Ya cuma kalau puasa gak makan, Hari Raya makan aja. Ya biasa…,” ujar Ali, salah seorang warga di pengungsian dengan suara datar, pasrah.
“Lagian Lebaran juga ke mana? Kita kan dilarang pulang ke kampung halaman,” tambahnya.
“Yang saya kasian ya yang lansia, yang umurnya udah 70-an. Sebetulnya ya mereka yang mestinya bisa berkumpul ama keluarganya. Masak orang sudah tua terpisah dari sanak keluarganya. Tapi ya mau gimana, tak ada jalan lain… beginilah…”
“Kita ya sedih tak bisa silaturahmi ama saudara, tak bisa berziarah kepada keluarga di sana yang sudah meninggal orangtuanya.”
Kerinduan Ali untuk bisa pulang ke kampung halaman tentu tak hanya dirasakan oleh Ali sendiri. Masih ada 310 pengungsi lainnya yang merasakan hal yang sama. Tiga tahun jauh dari kampung halaman bukannya menyurutkan keinginan mereka, justru makin membuat kerinduan mereka pada kampung halaman tak tertahankan.
Seperti halnya Makmun, anak kelas 2 SD yang masih berumur 8 tahun ini, yang terpaksa hidup di pengungsian tiga tahun bersama orangtuanya, pun mengatakan ingin sekali pulang ke kampung halaman.
“Pingin Lebaran di kampung. Pingin ketemu teman-teman,” ujar Makmun.
Menurut Ustaz Iklil, Koordinator pengungsi Muslim Syiah Sampang yang sering mendengar celotehan anak-anak di pengungsian, anak-anak ini sebenarnya sangat ingin bisa pulang ke kampung halaman.
“Anak-anak juga pinginnya senang di kampung walau sederhana. Bagi anak-anak itu Lebaran di kampung dan di sini kan sangat beda. Biasanya punya baju baru, sementara di sini Lebaran gimana diusahakan punya baju baru?” terang Iklil.
“Biasanya Hari Raya itu bisa pake baju baru sama dengan temen-temennya. Di sini ya sama siapa? Sangat beda sekali.”
Halimah, salah seorang ibu yang melahirkan anaknya (Ahmad Hamdi yang kini sudah berumur 16 bulan) di pengungsian, juga mengatakan tetap ingin pulang ke kampung halaman.
“Ya gak enak di sini, enakan di Madura. Enak kumpul-kumpul sama saudara di sana kalau di Madura. Tapi di sini gak bisa pulang. Pingin banget balik. Pingin pulang…” ujar Halimah.
Selain Halimah, ada 5 orang ibu lainnya yang melahirkan anaknya di pengungsian, Roqiah, Raimah, dan Juwairiyah di GOR Sampang, dan Sofiah, Halimah, Mafruzah, dan Roqih di Rusun Puspa Agro. Sekarang ada 2 ibu yang sedang hamil, yaitu Hasanah dan Uswatun.
Selain masalah penanganan kelahiran yang kurang maksimal, menurut Iklil masalah lainnya adalah kepengurusan Akta Kelahiran bayi yang sulit dan rumit pengurusannya.
Sulit Air dan Anak-Anak Putus Sekolah
Bukan hanya tak bisa merayakan Hari Raya Idulfitri yang mestinya penuh kegembiraan, pengungsi di hari Lebaran justru kesulitan mendapatkan air karena pompa penyedot air mati.
“Dari kemarin pompa air mati. Ya terpaksa kita harus ambil air dari lantai dasar,” ujar Ali. “Kasian yang sudah lansia, bawa air pake ember ke lantai empat, lantai lima.”
Selain kesulitan air, masalah utama yang membebani hati Iklil adalah pendidikan anak-anak di pengungsian.
“Ada 155 anak di sini dari total 310 pengungsi. Yang 100 anak sekolah di Pekalongan, di Malang, di Bangil, di luar sini. Tapi ada 55 anak yang tinggal di sini yang butuh pendidikan,” ujar Iklil.
“Mereka ini selama ini hanya dua jam saja dididik ala kadarnya. Itu pun dicampur kelasnya, jadi ya tidak maksimal.”
“Kita pinginnya nanti mau nambah jam belajar anak-anak sehabis Lebaran agar mereka dapat pendidikan yang layak. Tapi ya itu masih rencana. Kita kan juga masih butuh pengajarnya.”
Dilarang Pulang Kampung
Meski oleh aparat dilarang pulang ke kampung, karena kerinduan kepada keluarganya, beberapa warga sebenarnya beberapa kali sempat pulang ke kampung halamannya.
“Ada yang sempat pulang ke kampung di Madura. Yang pulang itu Syahrul sama istrinya, Jelis dan istrinya, Mahrus dan istrinya, dan Ubet,” ujar Iklil.
“Ketika mereka pulang, tetangganya yang tahu kedatangan mereka ternyata gak masalah kok. Mereka keluar rumah juga biasa gitu, gak apa-apa. Ketika banyak ketemu orang-orang yang dulu juga terlibat mengusir, sekarang juga gak mempermasalahkan, karena kan sudah islah. Mereka obrol-obrolan biasa aja,” ujar Iklil.
Ubet, pemuda berumur 25 tahun yang sejak peristiwa pengusiran 3 tahun lalu untuk membiayai orangtuanya yang tak bekerja di pengungsian merantau ke Malaysia saat pulang ke kampungnya tak kuasa menahan kesedihan.
“Habis bakar-bakar dulu itu, saya merantau. Kalau saya di sini kan orang tua makan apa? Makanya saya ke Malaysia. Saya kerja jadi kuli bangunan.”
“Saat saya pulang Kamis kemarin, saya melihat kampung sudah seperti hutan,” tutur Ubet, sedih. “Saya ke rumah nenek saya yang di sana, trus ke pengungsian menemui orangtua.”
Di Mana Negara?
Selaku orang yang bertanggungjawab mengayomi 310 pengungsi yang kian hari kian rindu akan kampung halamannya ini, Iklil berharap pemerintah memulangkan mereka.
“Harapan kami tak berubah, mohon pulangkan kami. Bukan sekadar kami ingin pulang yang memang itu hak kami sebagai warganegara Indonesia sesuai UU. Tapi juga demi Indonesia.”
“Sudah terbukti dengan kejadian Sampang, karena dibiarkan, akhirnya terjadi lagi kejadian lain seperti di Papua. Kalau ini tidak diselesaikan pemerintah, saya khawatir ini akan terulang lagi tragedi di tempat lain. Akan ada kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab merusak dan ini makin meluas kalau pemerintah tidak tegas tegakkan hukum.”
“Ini bisa jadi ancaman besar bagi Negara. Jadi harapan kami segeralah pemerintah selesaikan permasalahan kami supaya kelompok-kelompok radikal ini tak lagi mengeksploitasi masalah agama, kelompok, dan suku yang pada gilirannya akan menghancurkan bangsa ini,” pinta Iklil. (Muhammad/Yudhi)