Berita
Manisnya Proses Islah Sunni dan Syiah Sampang
Jakarta – Setelah empat kali bertemu, warga Sunni dan Syiah di Sampang akhirnya duduk bersama mengikrarkan kesepakatan mereka untuk hidup damai hari Senin (23/09) kemarin.
Lima puluh orang Sunni dari desa Bluuran dan Karang Gayam, Sampang, mendatangi Rusunawa Puspa Agro, di Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka bertemu dengan sekitar 40 orang perwakilan kelompok Syiah yang tinggal sebagai pengungsi di gedung tersebut.
Di antara mereka adalah Zainul, seorang petani berusia 30 tahun, yang ikut bergabung dalam kelompok Sunni ketika menyerang kelompok Syiah di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, bulan Agustus 2012. Dua orang meninggal dalam serangan tersebut, termasuk bapak angkat Zainul, bernama Hamamah, yang merupakan seorang pengikut Syiah.
Ketika acara islah yang direncanakan belum dimulai, Zainul mendekati kelompok Syiah.
“Saya ingin bertemu ibu angkat saya,” dia berbisik pada mereka.
Ibu angkat Zainul, yang kerap dipanggil dengan nama suaminya, Ibu Hamama, mendekati Zainul.
“Di depan semua orang, Zainul sujud, berangkulan dengan ibu angkatnya dan sama-sama menangis,” kata Hertasning Ichlas, pengacara pengungsi Syiah di Sampang, pada Beritasatu.com, Selasa (24/09).
“Banyak orang yang menyaksikan ikut menangis karena terharu.”
Ibu Hamama secara terbuka memaafkan Zainul yang terlibat dalam penyerangan yang menewaskan suaminya.
Setelah sempat mundur beberapa saat karena ada rencana penggagalan deklarasi damai, acara tersebut dibuka oleh Habib Hamzah, seorang tokoh di Madura yang dipercaya sebagai keturunan Nabi.
“Kita sesungguhnya sama-sama Islam, harus saling mencintai,” kata Hamid sebagaimana dituturkan oleh Aan Anshori, koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) yang menyaksikan islah tersebut.
Saningwar, seorang Sunni yang ikut dalam penyerangan namun belakangan jadi penggerak rekonsiliasi, ikut memberikan sambutan. Saningwar menyatakan bahwa dia dulu terprovokasi untuk menyerang dan sekarang ingin memulai lembaran baru. Saningwar lalu menangis dan tak bisa meneruskan sambutannya.
Ketika dihubungi Beritasatu.com, Saningwar mengatakan dia tidak bisa menahan tangis setelah melihat kondisi kerabatnya yang hidup di pengungsian.
“Kasihan saya melihat anak-anak, saudara-saudara saya dalam kondisi seperti itu,” kata Saningwar. “Kami sungguh menyesal.”
Liku-Liku Rekonsiliasi
Konflik Syiah Sunni dimulai dengan pertentangan antara saudara sekandung, pemimpin Syiah Tajul Muluk dan tokoh Sunni Roisul Hukama. Konflik yang makin membesar pecah bulan Agustus 2012, memaksa puluhan keluarga Syiah hidup di pengungsian di Gelanggang Olahraga Sampang. Tahun ini, dengan desakan dari kelompok Sunni, mereka dipindahkan oleh polisi keluar Sampang dan tinggal di Rusunawa Puspo Argo, Sidoarjo.
Sepanjang proses tersebut, upaya-upaya rekonsiliasi terus dilakukan oleh kedua pihak. Banyak pengikut Sunni mengunjungi kerabat mereka di pengungsian.
Setelah banyaknya kritik ke pemerintah terkait konflik ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan pihak terkait untuk mengupayakan rekonsiliasi.
Dalam rapat koordinasi tanggal 1 Agustus 2013, Yudhoyono meminta pejabat terkait mengupayakan pemulangan mereka pada Idul Fitri atau selambat-lambatnya Desember tahun ini.
Upaya ini belum menunjukkan hasil, ketika dua minggu setelah rapat tersebut dua orang Syiah, Nurkholis dan Islami, dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka karena menolak menandatangani persetujuan pindah ke Sunni.
“Mereka mau saya dan yang lainnya menandatangani pernyataan bahwa kami kembali ke Islam yang benar atas keinginan sendiri, dan mengancam bahwa orang-orang akan membakar rumah saya atau membunuh saya kalau menolak,” kata Nurkholis.
Hal ini tidak menyurutkan upaya perdamaian yang dimulai masyarakat biasa yang diintensifkan dalam dua bulan terakhir ini.
“Mereka mengaku lelah diprovokasi setiap minggu,” kata Hertasning. “Mereka akhirnya paham bahwa ini mainan politik, bukan masalah agama. Akhirnya mereka sadar bahwa islah adalah jalan yang dikehendaki agama.”
Jalan Menuju Kampung Halaman
Saningwar mengharapkan setelah deklarasi, pemerintah akan membantu para pengungsi Syiah kembali ke kampung halaman mereka.
“Proses islah sudah lama dimulai,” Saningwar mengatakan. “Kami dulu memang perlu waktu untuk menjaga hati kami agar siap bersama kembali. Kami menyesali perbuatan kami. Kalau mereka mau kembali, tidak ada syarat apapun, apalagi memaksa mereka pindah menjadi Sunni.”
Dalam deklarasi yang dibacakan oleh pihak Sunni tertulis “kami sebagai warga masyarakat sudah merasa jenuh dengan permusuhan dan kami siap untuk hidup berdampingan saling hormat-menghormati berkasih sayang sesuai dengan yang diajarkan oleh junjungan kita yang mulia Nabi Muhammad SAW.”
Pihak Sunni juga menyatakan bahwa masalah antara dua kelompok tersebut ke depan akan diselesaikan dengan cara kekeluargaan, tidak ada lagi kekerasan.
Deklarasi tersebut ditandatangani oleh 73 orang.
Sementara itu, pihak Syiah juga membacakan deklarasi menyatakan kesiapan mereka hidup berdampingan sebagai keluarga dan tetangga dengan harmonis dan rukun.
“Bahwa dengan ini kami menyatakan diri untuk menghapus dendam dan mengubur kebencian yang pernah ada kepada siapapun di kampung halaman kami di kecamatan Omben dan Karang Penang,” Iklil, tokoh dari Syiah, membacakan isi deklarasi pada pertemuan Senin dengan tangan dan suara gemetar.
“Bahwa kami pula tidak akan melakukan tuntutan hukum terkait dengan kekerasan yang pernah terjadi dan lebih mengedepankan penyelesaian perdamaian secara kekeluargaan.”
Herstaning mengatakan para pengungsi sudah rindu pulang ke kampung halaman bersepakat menghapuskan dendam meski rumah mereka dibakar dan kehidupan mereka berantakan.
“Pihak dari kampung (Sunni) akan mencari jalan bersama-sama untuk memulangkan pengungsi,” kata Hertasning. “Mereka optimis ini tidak akan lama karena mereka sendiri akan meminta pengungsi kembali, entah dengan bantuan pemerintah atau tidak.”
Pengikut Sunni dan Syiah saling berangkulan sebelum para pengikut Sunni kembali ke desa mereka.
Penulis: Camelia Pasandaran/HA
Sumber : Berita Satu