Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Kisah Ramadhan Kaum Perantauan

Cerita  horor  tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sering menghiasi pemberitaan televisi. Kali ini kami sajikan cerita lain hasil wawancara dengan salah seorang TKW di luar negeri.
 
Namanya Dewi. Umurnya 38 tahun. Ia bekerja di Hongkong sejak tahun 2005. Kini tepat 10 tahun lamanya ia telah bekerja di sana. “Lapangan kerja di Indonesia sulit. Gaji pas-pasan,” ucapnya.
 
Jauh dari keluarga merupakan tekanan batin tersendiri baginya. Terlebih Dewi harus meninggalkan anak semata wayangnya di Jakarta.
 
Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar tentunya. Namun apa bisa dikata, bekerja di sana terbilang lebih menjanjikan daripada di negeri sendiri. Tuntutan ekonomi dan kebutuhan sehari-hari yang kian sulit juga melatarbelakanginya tetap bertahan bekerja di negeri orang.
 
Suka-duka selalu menyelimuti hatinya. “Kadang kita merasa bangga, sebagai orang kampung tapi bisa menginjakkan kaki di negeri orang, di negara yang sudah dikenal di dunia internasional, tapi kadang juga bingung dengan segala aktivitas yang jauh berbeda dengan di negeri sendiri,” tuturnya.
 
Setiap dua tahun sekali, Dewi yang bekerja sebagai asisten rumah rangga ini kembali mudik ke negeri sendiri. Jarak yang terbilang jauh itu membuatnya tak bisa sering-sering pulang ke Indonesia. Selain itu, ada aturan yang membuatnya memang tak diizinkan asal pulang kapan saja sesuka hatinya.
 
Tak seperti cerita-cerita di TV yang kerap menayangkan berita  horor  seputar TKI di luar negeri, Dewi mungkin dapat menjadi salah satu contoh TKW yang terbilang bernasib mujur di negeri orang sehingga ia bertahan hingga 10 tahun lamanya. Namun bagaimanapun juga, jauh dari keluarga, lingkungan, dan tanah kelahirannya selalu menjadi tekanan batin yang tak tergambarkan dan sukar dilukiskan dengan kata-kata. Sebab itu, demi keinginan merawat dan mendidik anaknya yang masih berusia 4 tahun, Dewi pun berencana menghakhiri pekerjaannya di sana dan kembali tinggal di Indonesia. “Rencananya sampai tahun depan saja,” tegas Dewi.
 
Puasa di Rantau
 
Sebagai Muslimah, Dewi pun berpuasa di bulan Ramadhan sebagaimana Muslim lainnya. Menurutnya, Muslim di Hongkong terbilang minoritas jumlahnya. Sehingga dalam merayakan ritual ibadahnya tentu memiliki tantangan tersendiri. “Untuk ibadah seperti di Indonesia yang mayoritas Muslim, di sini cukup sulit,” katanya. 

Bahkan kata dewi, banyak atasannya yang tidak mengizinkan pekerjanya berpuasa. “Kebanyakan tidak boleh karena takut kalau pembantunya mati karena puasa,” tambahnya. 

Namun demikian, kondisi hukum secara umum di sana terbilang cukup baik.
 
Penilaian miring majikan terhadap pekerja Muslim yang bekerja di sana bukan semata-mata kesalahan mereka. Lebih dari itu, ketidaktahuan menjadi salah satu faktornya. Bagi non-Muslim, mungkin puasa dianggap membuat diri menderita karena menahan lapar dan dahaga. Padahal bagi seorang Muslim tentu sebaliknya, justru menyehatkan jiwa dan raga. Seorang majikan melarang pembantunya puasa, bisa jadi niat majikannya memang baik supaya pembantunya sehat menurut yang ia pahami. Bukan dasar sentimen keagamaan semata tentunya.
 
Hal tersebut tentu dapat menjadi pelajaran dan tugas bersama kita, bagaimana supaya Islam lebih dikenal bukan hanya sebatas segi ritual lahiriahnya saja melainkan juga sisi makna batiniahnya. Sehingga orang tidak menilai ritual Islam itu hanya menyiksa tanpa makna.
 
Di Hongkong, Dewi tak sendirian. Ada beberapa teman sesama Muslimah dari Indonesia yang juga bekerja di sana. “Kita juga sering kumpul dengan teman-teman, tadarus bersama membaca Alquran,” kisah Dewi.
 
Setahun menjelang pulang, Dewi berharap, Pemerintah Indonesia bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganegaranya agar mereka tidak terpaksa pergi merantau ke negara-negara tetangga. (Malik/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *