Berita
Menjawab Polemik Akurasi Sejarah Islam
Soekarno lahir di Surabaya atau Blitar?
Pidato Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu yang menyebut Soekarno lahir di Blitar menjadi polemik dan perbincangan yang sangat dasyat di sejumlah media cetak dan juga medsos.
Soekarno yang lahir pada abad ke 20 saja cerita sejarahnya bisa berbeda lalu bagaimana dengan Rasulullah yang lahir pada abad ke tujuh?
“Ini membuktikan bahwa ada permasalahan yang serius dalam penulisan sejarah,” terang Dr. Mun’in Sirry, penulis buku “Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisional dan Revisionis” dalam bedah buku Jumat (12/6) di kantor Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).
Ada kaidah dalam penulisan sejarah yang harus dipenuhi menurut Mun’in, di antaranya adalah tentang sumber-sumber sezaman pada saat peristiwa tersebut terjadi. Dengan kaidah dasar ini saja, penulisan sejarah Islam sudah tidak lulus, sebab terang Mun’in, sejarah Islam ditulis jauh setelah peristiwa tersebut terjadi.
Sedangkan para peneliti non-Muslim menggunakan metode dari sumber-sumber yang sezaman dengan peristiwa yang ingin dicatat dalam sejarah Islam. Sayangnya hal tersebut bagi Mun’im juga tidak cukup sebagai sebuah landasan kebenaran sejarah sebab hanya sedikit yang ditemukan.
Apalagi, sumber-sumber non-Muslim umumnya memiliki tujuan dengan kecenderungan semangat polemik, sehingga keduanya baik sumber dari sejarawan Muslim maupun non-Muslim sama-sama bermasalah. Untuk itu harus dicari jalan tengah di antara keduanya.
“Bagaimana kita menemukan cara sintesis antara dua sumber yang kadang-kadang berseberangan,” terang Mun’in.
Sementara itu, Ketua Umum ICRP, Ulil Abshar Abdalla, yang pada hari itu menjadi penanggap mengungkapkan bahwa tidak bisa hanya bertumpu pada fakta historis saja, namun harus mendamaikannya dengan keimanan yang dimiliki, sebab bila hanya bergantung pada fakta sejarah kita akan menjadi Atheis dan bila hanya bergantung pada iman akan menjadi klenik.
“Saya mencoba untuk menjadi seorang yang di tengah-tengah,” tegas Ulil.
Bagi Ulil sendiri, hampir mustahil untuk menemukan historical Muhammad dalam Islam sama dengan nyaris mustahilnya menemukan historical tentang Yesus. Sandaran historical ini akan terus menjadi polemik dari masa ke masa baik bagi peneliti Muslim maupun peneliti dari kalangan di luar Islam.
“Yang terpenting sekarag adalah bagaimana menafsirkan Muhammad sesuai dengan kondisi zaman ini,” tambah Ulil.
Diskusi yang berlangsung kurang leih tiga jam tersebut diakhiri dengan pernyataan penutup oleh penulis buku, Mun’in yang berpesan agar selalu menyikapi dengan lebih berhati-hati terhadap setiap sumber-sumber rujukan yang dipakai dan selalu membuka peluang kemungkinan kebenaran pada rujukan lain.
“Saya kira itu pesan buku ini,“ pungkasnya. (Lutfi/Yudhi)
Continue Reading