Berita
Takfirisme dan Penyempitan Makna Jihad Picu Radikalisme
Aksi terorisme di luar negeri, di tengah konflik yang terjadi di Timur Tengah secara tidak langsung memberikan efek pada kondisi di dalam negeri dan menjadi magnet tersendiri bagi kelompok teror di Indonesia yang mengklaim diri mereka sebagai “Jihadis”.
Panggilan Jihad
Seperti halnya konflik yang terjadi di Suriah dan Irak yang oleh para Jihadis digunakan sebagai alasan panggilan jihad dan berperang di negeri tersebut. Dalam konteks nasional kelompok ini memanfaatkan konflik-konflik lokal yang terjadi di Indonesia sebagai ladang jihad seperti halnya yang terjadi di Poso, Ambon.
“Konflik menjadi aspek penting bagaimana perkembangan radikalisme di Indonesia. Menjadi alasan penting sebagai panggilan jihad,” kata Badrus Sholeh dalam seminar Nasional bertema “Radikalisme Agama dalam Perspektif Global dan Nasional” di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (11/6).
Hasil wawancara Badrus dengan pengikut ISIS di Indonesia mengatakan bahwa istirahatnya atau duduknya mujahidin di Suriah dan Irak saat perang seperti ini memiliki nilai agamis lebih tinggi dibandingkan ibadah di Indonesia. Padahal menurut Badrus, dalam literatur pesantren kata jihad memiliki makna luas tidak hanya perang, sedangkan mujahidin di Indonesia memaknai Jihad yang didapat dari sekolah jaringan dan pengajian rutin mereka hanya sebagai perang.
“Jihad itu tidak hanya berperang tapi seminar yang dilakukan hari ini pun merupakan juga jihad,” ujar Badrus.
Takfirisme: Pemicu Radikalisme
Sementara itu pembicara lainnya, Ketua Prodi Kajian Timur Tengah dan Islam, Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Dr. Muhammad Luthfi menjelaskan bahwa takfir atau pengkafiran merupakan sumbu pemicu radikalisme di dalam Islam. Takfirisme ini pun muncul dalam Islam sudah ada sejak lama baik di dalam Syiah maupun di dalam Sunni.
“Takfir ini adalah sumbu yang memicu gerakan radikalisme dalam Islam,” jelas Luthfi.
Ideologi takfir ini pun dalam tiap masa selalu muncul akibat pemahaman yang didapat dari sejumlah kitab yang dipelajari.
“Munculnya kelompok takfir ini juga dari pemahaman Ma’alim fi ath-Thariq”, tegas Luthfi.
Ma’alim fi ath-Thariq adalah kitab yang di salah satu babnya menyebutkan bahwa Alquran merupakan sumber utama kelompok ini dan menyatakan kelompok yang selain mereka sebagai kufur.
Ciri-ciri Teroris
Perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof. Dr. Irfan Idris, MA yang menjabat sebagai juru bicara dan sekaligus direktur deradikalisasi BNPT menjelaskan tentang ciri-ciri para teroris saat ini yang tidak lagi tampak secara fisik seperti halnya para pelaku Bom Bali, tapi dengan ciri pemikiran ideologinya.
Irfan kemudian membagi ciri pemikiran ideologi teroris dalam dua kategori. Pertama adalah mereka yang memiliki pemikiran ideologi takfiri, suka mengkafirkan orang lain dan menganggap bahwa dirinyalah satu-satunya yang paling benar dan semua orang yang berbeda dengannya adalah salah.
“Suka mengkafirkan orang yang berbeda dengan dia, kalau sudah dikafirkan masuk neraka”, terang Irfan.
Kemudian ciri yang kedua adalah memiliki pemahaman jihad secara dangkal, akibatnya jihad yang dikenal dan diketahuinya hanyalah jihad perang, padahal menurutnya menuntut ilmu pun juga dapat dikategorikan sebagai jihad.
Seminar-seminar tentang radikalisme yang dilakukan seperti di UIN ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi baik bagi pemerintah maupun bagi UIN sendiri agar dapat menentukan kurikulum seperti apa yang dibutuhkan oleh para pengajar dan akademisi di UIN untuk menangkal semakin menjamurnya tindakan radikalisme yang membawa nama agama. (Lutfi/Yudhi)