Berita
Mahasiswa UIN Jakarta Gelar Budaya Emperan
“Jakarta Melawan Semen”
Menunjukkan solidaritasnya atas nasib para petani Rembang yang terancam kehidupannya dengan didirikannya pabrik Semen Indonesia, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah gelar aksi Emperan Budaya “Jakarta Melawan Semen.”
Bertempat di basemen Fakultas Ushuludin UIN Jakarta, mahasiswa berkumpul suarakan keprihatinan dan pembelaan mereka terhadap rakyat Rembang. Slamet Widodo, Koordinator Emperan Budaya UIN Jakarta menyebutkan acara ini diadakan untuk mendukung perjuangan ibu-ibu Rembang yang melindungi tanahnya dari ancaman penambangan pabrik semen.
“Kita melihat ibu-ibu di Rembang hampir 1 tahun, dari 16 juni. Sampai sekarang masih melawan. Mereka masih mendapat intimidasi dari preman, aparat desa sampai kabupaten. Karena itu sebagai mahasiswa, minimal kita berikan solidaritas dan semangat kepada ibu-ibu rembang,” ujar Slamet.
Dalam acara yang diisi orasi budaya dan juga pagelaran musik ini, hadir juga band punk Marjinal, yang dengan musiknya menyuarakan suara rakyat kecil dalam berbagai kesempatan dengan inisiatif pribadi tanpa memungut bayaran sedikit pun.
“Kita merasakan apa yang dirasakan ibu-ibu, yang masyarakat Rembang khawatirkan. Karena itulah dengan musik kita ikut mendorong gerakan kepedulian ini,” terang Mike. “’Kita amat sangat mendukung apa pun kegiatan-kegiatan yang bicara atas nama ke-kita-an, untuk rakyat, untuk negeri ini, bangsa ini.”
Melawan Korporasi Tambang
Menurut Yulia Nadya Mustika, Koordinator Relawan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), solidaritas atas perjuangan ibu-ibu Rembang melawan penambangan yang akan merusak alam dan kehidupan ini harus didukung dan terus digemakan.
“Masyarakat yang tiap hari melawan tambang di sana perlu didukung sebanyak mungkin oleh masyarakat, terutama anak muda,” ujar Nana. “Apalagi isu Rembang ini bukan hanya tentang Rembang, tapi tentang menyelamatkan pulau Jawa. Karena kalau ngomongin kawasan kars, ya gak cuma Rembang, tapi juga di banyak wilayah Jawa lain sama terancam pabrik semen.”
Nana menjelaskan, dalam banyak kasus modus pabrik semen yang berkongsi dengan aparat dan preman itu sama.
“Modusnya itu sama di banyak tempat pertambangan. Warga gak dilibatkan, gak diajak bicara dan didenger suaranya. Karena kalau dibicarakan pasti akan menolak. Contohnya di Bangka, kan wilayahnya sekitar 3000 hektar, ini ada tambang bijih besi 2000 hektar yang mau didirikan, lha mau dimana warga pergi?”
“Makanya kita mesti nunjukin bahwa yang menolak itu bukan hanya warga lokal tapi seluruh warga Indonesia. Karena okelah sekarang di Rembang, di pulau Bangka dan lainnya. Tapi siapa tahu nanti terjadi di kampung halaman kita sendiri. Makanya kita harus gotong-royong, bersatu melawan tambang seperti ini,” pungkas Nana. (Muhammad/Yudhi)