Berita
Bongkar Mitos HAM, Kuatkan Bingkai Kewarganegaraan
Diskriminasi dan intoleransi masih menghantui Indonesia. Banyaknya kasus kekerasan, diskriminasi dan intoleransi terhadap sesama warga negara ini membuat miris banyak pihak. Belum dengan peran aparat yang mestinya diharapkan melindungi warganya, malah justru ikut serta dalam pembiaran kekerasan atas nama agama.
Mengapa ini bisa terjadi? Dalam Seminar Nasioal HAM, “Perlindungan Kebebasan Beragama di Bawah Lindungan Konstitusi” Sabtu (4/4) di Gedung Nusantara DPR RI, Jakarta oleh Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa ini karena paradigma kewarganegaraan (citizenship) lemah dan falasi hukum negara bertentangan dengan hukum agama.
“Pengkotak-kotakan oleh sekte, etnis, dan agama yang mengakibatkan diskriminasi dan intoleransi ini akibat lemahnya paradigma citizenship ini,” ujar Todung. “Padahal setiap warga negara punya hak yang sama. Apapun agama, sekte, etnisnya. Itu yang harus ditegakkan.”
“Celakanya, tak hanya rakyat sipil, aparat yang mestinya melindungi masyarakat tanpa melihat agama, sekte, atau etnis ini pun malah membiarkan, bahkan ikut menjadi aktor kekerasan atas nama agama ini,” kritik Todung. “Dari laporan Komnas HAM, The Wahid Institute, dan lainnya justru yang terbanyak jadi aktor kekerasan itu malah aparat.”
AKBP Bambang Kaun, Slk. MH dari Mabes Polri yang juga hadir sebagai pembicara dalam seminar itu mengakui apa yang dikritik oleh Todung itu benar. “Saya akui benar, ini akan menjadi koreksi bagi Polri,” ujar Bambang.
“Kedepannya untuk melawan radikalisme ini kami mengajak agar masyarakat bersama kita bermitra. Semua punya tanggungjawab, baik polisi maupun seluruh elemen masyarakat bersama-sama,” ujar Bambang.
HAM Bertentangan dengan Islam?
Salah satu kekhawatiran Todung sebagai praktisi hukum melihat akar kekerasan atas nama agama ini adalah adanya pandangan bahwa hukum positif dan HAM itu tidak sejalan dengan agama.
“Ada ketegangan hukum. Seolah-olah hukum positif pemerintah bertentangan dengan hukum agama,” ujar Todung. “Ini salah satu akar masalahnya.”
Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura IJABI yang juga salah satu pembicara utama membenarkan pendapat Todung ini. Menurut pria yang akrab dipanggil Kang Jalal ini, ada mitos bahwa HAM dan hak beragama itu adalah konsep Barat, dan bukan konsep Islam. Padahal itu salah besar.
“Dalam khutbah terakhir Nabi di Ghadhir Khum usai Haji Wada’, Nabi dengan amat jelas menekankan bahwa seorang muslim itu adalah orang yang tidak mengganggu orang lain dengan tangan dan lidahnya,” terang Kang Jalal. “Bahwa Mukmin itu mendatangkan kedamaian dan keamanan. Mukmin adalah yang melindungi darah dan harta orang lain. Karena itu Allah disebut al-Mukmin.”
“Dalam Pasal 50 Kitab Rasail al-Hukum, yang merupakan kitab tentang HAM tertua, Imam Ali Zainal Abidin, satu-satunya lelaki keturunan Nabi yang survive dalam tragedi Karbala itu menuliskan bahwa hak hidup itu hak asasi manusia,” terang Kang Jalal. “Jadi Islam itu justru sangat memperhatikan HAM.”
Menanggapi paparan Kang Jalal, Todung amat mengapresiasinya dan menekankan pentingya umat Islam menggali khasanahnya. “Sayangnya studi Islamic-Prophetic ini kurang di kalangan akademisi kita. Kalau ini bisa menjelaskan konsep HAM dalam perspektif Islam akan bagus sekali. Jadi HAM tidak dipandang sebagai produk Barat saja.” (Muhammad/Yudhi)