Berita
Saat Bukti Visum Dokter Singapura Gagal Selamatkan Guru JIS
Setelah melewati persidangan panjang, putusan hakim akhirnya dijatuhkan. Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong terdakwa kasus sodomi terhadap siswa Jakarta Internasional School (JIS) dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Nur Aslam Bustaman. Kurungan penjara 10 tahun dan denda 100 juta telah menanti di depan mata. Sementara keluarga dan kolega dirundung kecewa karenanya.
Suasana sidang Kamis (2/4) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kala itu dipenuhi keluarga dan kolega terdakwa, serta pewarta dari berbagai media. Mereka bersedia menanti Majelis Hakim membacakan berkas-berkas persidangan sejak pagi hingga malam hari, sampai akhirnya palu hakim diketok dengan putusan Neil dan Ferdinant bersalah.
Dalam putusan tersebut, hakim menggunakan alat bukti visum dari beberapa rumah sakit dan dokter di Indonesia. Hakim juga menggunakan pernyataan saksi psikolog, sebagai landasan putusan persidangan.
Sejumlah hal yang juga dianggap oleh hakim sebagai hal yang memberatkan terdakwa adalah terdakwa dianggap tidak mau mengakui kesalahannya dan tidak mau minta maaf. Terdakwa membuat opini publik yang mempersulit persidangan baik melalui lisan maupun tulisan.
Sedangkan Hotman Paris Hutapea pengacara senior yang mendampingi terdakwa, berpendapat lain. Dia menyatakan visum dari Singapura lebih bisa dipertanggungjawabkan dan dalam penilaiannya, psikolog tidak bisa menjadi saksi bahwa si anak disodomi. Karena psikolog mendengarkan keterangan si anak. Tidak melihat langsung. Terkait keterangan dari si anak, hakim juga mengakui bahwasanya keterangan anak tidak bisa menjadi alat bukti. Dalam hal ini, Hotman menegaskan tidak ada satu saksi pun dalam kasus ini.
Initinya, hakim dalam memutuskan merujuk keterangan visum dokter dari Indonesia, psikolog, keterangan ibu dan anak. Yang menurut Hotman semua itu tdk bisa dipertangungjawabkan dengan data bantahan yang dibawanya.
Putusan Diwarnai Hujan Kritik
Putusan Majelis Hakim yang dianggap tidak adil itu pun menuai protes dan kritikan dari pengunjung persidangan. “Ini benar-benar tidak adil. Masak kesaksian teman-teman di JIS hanya dianggap sebagai opini dalam BAP,”tutur Faiz salah satu kolega terdakwa yang turut menghadiri persidangan.
Hotman sebagai pembela dalam persidangan lantang bicara. Sambil membawa setumpuk berkas ia berkata dengan tegas, “Ini bukti kebohongannya, mereka tidak pernah disodomi.” Hotman juga menilai Ketua Majelis Hakim Nur Aslam Bustaman tidak bersahabat dan bersikap diskriminatif, karena tidak mau mendengarkan bukti-bukti yang ada. Di antaranya adalah bukti visum dari rumah sakit di Singapura yang menyatakan bahwa tidak ada tanda-tanda sodomi pada anak tersebut. Hasil visum sudah mendapat persetujuan dari pengadilan tinggi Singapura untuk dijadikan bukti pengadilan negeri di Indonesia.
“Ini sudah menjadi barang bukti tapi dari tadi tidak dimasukkan menjadi barang bukti. Kita akan lawan habis,” tegas Hotman.
Di tengah kerumunan massa dan pewarta, Hotman ‘berapi-api’ membeberkan fakta tersembunyi.
Hotman menuturkan bahwasanya ibu pelapor telah mengakui bahwa ia pernah berobat (melakukan pemeriksaan) ke Singapura.“Orang tuanya mengaku kalau berobat ke Singapura. Karena hasilnya negatif, dia ‘shopping’ lagi ke Jakarta cari dokter yang mau mengeluarkan visum. Ternyata begitu gampang di RS Polisi. Jadi kalian kalau mau menuduh orang pergi saja ke RS Polisi Bhayangkara, minta divisum, nggak tau biayanya berapa,” papar Hotman.
Pernyataan Hotman bukan tanpa alasan. Hotman memaparkan sembari menunjukkan bukti-bukti kepada wartawan.“Kalau ini palsu, kita akan pidanakan,”ungkapnya.
Ia juga membandingkan hasil visum dari Singapura yang menurutnya telah melakukannya sesuai prosedur.“Ada dokter bius, dokter bedah semuanya lengkap. Hasilnya, tidak ada kerusakan dalam anus. Ada bukti pembayaran yang juga ditandatangani ibu pelapor,”tuturnya.
Berbeda dengan hasil visum yang dijadikan bukti persidangan. “Hanya dilakukan di UGD, oleh oknum-oknum dokter di Indonesia ini tidak bertanggungjawab. Mana hanya disensor dari luar, bisa ketahuan katanya bagian dalamnya luka,” Ungkap Hotman.
Soal Uang?
“Tiga bulan penuh si anak waktu diperiksa hanya mengaku disodomi oleh cleaning service, tidak pernah mengaku disodomi guru. Bahkan sampai hari ini di gugatan perdata pelakunya hanya cleaning service, kata Hotman.
Hotman juga menuturkan bahwa orang tua anak tersebut bolak-balik menyuruh orang minta ganti rugi. Karena ditolak, dan tahu gugatan perdatanya lemah karena cleaning service bukan pegawai JIS maka dibikinlah laporan baru agar bisa kena pegawai JIS langsung. Barulah Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong dilaporkan.
Tim pengacara Hotman juga membagikan data terkait hal itu. Dalam data tersebut tertera Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tertanggal 5 Mei 2014 yang dibuat di bawah sumpah yang kemudian diberikan cap jari anak dan ditandatangani oleh ibu anak, psikolog pendamping dan penyidik Polda Metro Jaya yang dengan jelas si anak“mengaku dan bersumpah tidak pernah disodomi.” Akan tetapi setelah JIS menolak permintaan uang damai sebesar 13,5 juta dollar dari salah seorang ibu anak, maka secara tiba-tiba anak dan ibunya yang semula “bersumpah” tidak pernah menjadi korban sodomi kemudian sekitar satu bulan kemudian mengubah pengakuan dengan tuduhan baru seolah-olah menjadi korban sodomi oleh dua guru JIS. Belakangan tuntutan ganti rugi 13,5 juta dollar berubah menjadi 125 juta dollar.
“Persidangan ini menerapkan hukum secara diputar-balik dari yang seharusnya. Sampai hari ini tidak ada satu saksi pun,” kata Hotman.
Atas putusan itu, pihak terpidana menyatakan banding. (Malik/Yudhi)