Akhlak
Pengetahuan Emosional
Oleh : Muhsin Labib
Mungkin kita sering mendapatkan penjelasan tentang agama, terutama akhlak secara deskriptif, berupa penguraian dan nasehat serta dorongan di majelis-majelis taklim dan pengajian rutin. Tapi ada kalanya kita juga memerlukan penjelasan agama secara analitis dan sistematis.
Manusia telah diperlengkapi oleh Allah dengan tida sarana atau alat untuk mengenal realitas objektif di luar dirinya, yaitu indera, akal dan hati. Kontak manusia (subjek) dengan objek (realitas) itulah yang disebut dengan pengetahuan. Itu berarti ada tiga macam pengetahuan, pengetahuan inderawi (al-ma’rifah al-hissiyah), pengetahuan akali (al-ma’rifah al-‘aqliyah) dan pengetahuan sukmawi (al-ma’rifah al-qalbiyah).
Objek pengetahuan inderawi adalah materi atau realitas terinderakan dengan sifat-sifatnya yang khas seperti berubah, terbatas, bermula, berakhir dan sebagainya. Metode atau cara perolehannya juga disebutkan adalah induksi dan pengalaman. Pengetahuan inderawi ini hanya bisa dinikmati dan diraih oleh sekelompok manusia tertentu, karena sebagian memerlukan sarana laboratorium dan sebagainya. Pengetahuan inderawi tidak mengandung nilai baik dan buruk, benar dan salah, sempurna dan kurang. Ia bebas nilai. Pengetahuan inderawi, karena objeknya sangat terbatas dan paling rendah, adalah pengetahuan manusia yang paling rendah.
Objek pengetahuan akali adalah konsep atau realitas tak terinderakan yang berhubungan dengan materi. Metode atau cara perolehannya adalah deduksi dan penalaran (inferensi). Pengetahuan akali ini hanya bisa dinikamati oleh segelintir orang yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Para filsuf dan pemikir adalah kelompok manusia yang sangat kecil di tengah jutaan manusia. Pengetahuan akali, meski mengandung nilai baik dan buruk, benar dan salah, namun ia hanya mempu mengantarkan manusia pada konsep yang merupakan signifikator realitas sejati. Ia tidak dapat mengenalkan manusia (subjek) pada realitas sejati, seperti konsep ketuhanan atau keesaan Tuhan yang tentu bebeda dengan realitas Tuhan itu sendiri. Pengetahuan akali, karena objeknya adalah konsep yang tidak sama dengan realitas yang diekspresikannya, adalah pengetahuan medium yang tentu lebih mulia dari pengetahuan inderawi namun lebih rendah dari pengetahuan sukmawi.
Objek pengetahuan sukmawi adalah realitas tak inderakan (al-waqi’ al-mujarrad) yang sama sekali tidak menyandang sifat-sifat material atau bergantung pada materi. Metodenya adalah at-takhalli atau at-tazakki dan at-tahalli. Pengetahuan sukmawi bisa diraih oleh siapapun, terpelajar maupun awam, miskin maupun kaya, tua maupun muda. Pengetahuan sukmawi, karena objeknya adalah entitas transenden, adalah pengetahuan termulia.
Manusia bisa dianggap berhasil melaksnakan tugas kehambaan apabila telah mencapai iman yang merupakan kesempurnaan esoterik dan amal yang merupakan kesempurnaan eksoterik. Itulah sebabnya mengapa kata ‘iman’ (amanu, aminu) hampir selalu bergandengan dengan amal (amalu, amilu) dalam al-Qur’an.
Iman, menurut para ahli kalam dan filsafat Islam, kombinasi pengetahuan rasional -yang meniscayakan penerimaan- dan pengetahuan emosional- yang membuahkan cinta (al-wila’).
Seseorang, yang telah membumihanguskan sentra-sentra keburukan spiritual atau berhasil pula membangun sentra-sentra kebaikan spiritual dalam ranah jiwanya, berpeluang untuk mendapatkan pengetahuan emosional. Realitas abstrak dan transendent (al-haqiqah al-mujarrdah al-muta’aliyah), yang merupakan realitas termulia dan hanya bisa ditangkap dan dimasuki oleh jiwa yang telah dibebaskan dari bebelnggu materialnya. Tuhan Allah SWT hanya dapat dirasakan kehadiran-Nya oleh orang yang memiliki pengetahuan emosional, sedangkan orang yang Cuma mengandalkan dan berbekal pengetahuan rasional hanya dapat menangkap tanda-tanda dan konsep-konsep tentang keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, dengan pengetahuan rasional, seseorang dapat mengenal dan memahami konsep ketuhanan dan agama, sedangkan dengan pengetahuan emosiona. Seseorang dapat merasakan hakikat Tuhan dan merasakan kehadiran dan penampakan-Nya.
I. AT-TAKHALLI
Setiap manusia yang hendak mendapatkan Al-ma’rifah Al-qalbiyah atau hendak mengenal realitas transenden, terutama Allah, harus membersihkan ruang jiwanya dari keburukan-keburukan. Keburukan-keburukan adalah hijab dhulmani atau penghalang yang gelap. “Beruntunglah sesiapa yang telah menyucikan jiwanyaقد افلح من زكّاها”. Menyucikan jiwa berbeda dengan berlagak sok suci, “فلا تزكّوا انفسكم هو اعلم بمن ضلّ عن سبيله و هو اعلم بمن اهتدى “ . Menyucikan jiwa, menurut pada ahli irfan nazhari, dapat dilakukan dengan dua cara; 1- melakukan sweeping terhadap setiap ‘preman’ keburukan yang bercokol di sudut gelap jiwa dengan cara istighfar dan ibadah yang tak pernah putus, 2- mengkonsentrasikan serangan pada sentra-sentra keburukan.
Menurut para ahli irfan nazhari, ada tiga induk keburukan dalam jiwa, yaitu Al-zhulm atau kezaliman, Al-kufr atau kekafiran, dan Al-fisq atau kefasikan. Bila tiga sentra ini dapat, dihancurkan maka rezim hawa nafsu dapat dipastikan tumbang.
1. Al-zhulm
Kezaliman didefinisikan sebagai ‘meletakkan sesuatu pada selain tempatnya’. Menurut para ahli irfan nazhari, semua keburukan dalam jiwa bermuara pada kezaliman. Mereka membagi kezaliman menjadi dua; kezaliman intelektual dan teoritis dan kezaliman aktual dan praktis.
Kezaliman intelektual (al-zhulm al-fikri, al-zhulm al-ilmi)
Kezaliman intelektual adalah meletakkan pengetahuan atau pemahaman atau keyakinan pada selain tempatnya. Kewzaliman intelkektual adalah meyakini atau menganggap sesuatu yang salah sebagai benar, atau meyakini sesuatu yang salah sebagai sesuatu yang benar atau meyakini sesuatu bukan karena kebenarannya namun karena keuntungan atau faktor-faktor sekunder, seperti karena banyak pendukung dan penganutnya atau karena terklanjur diajarkan dan tertanam, atau memberikan kesaksian palsu demi menghindari resiko, mengaburkan posisi kebanaran dalam sengketa antar dua orang demi menjaga hubungan persahabatan keduanya dan sebagainya.
Seseorang yang masih berlaku zalim secara intelektual dan teoritis akan dengan mudah berlaku zalim secara praktis. Kezaliman teoritis dapat dibagi dua, berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkannya;
1. Kezaliman teoritis berupa kesalahan dan kekeliruan (yang disengaja) berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak berpengaruh terhadap spiritualitas dan nasib kita di akhirat, seperti melontarkan pendapat salah tentang masalah yang sepele .
2. Kezaliman teoritis berkenaan dengan masalah-masalah yang sang;at berpengaruh terhadap karir kehambaan, seperti meyakini Tuhan sebagai entitas plural atau menyekutukannya, menolak Nabi dan sebagainya.
Kezaliman praktis (al-zhulm Al-amali)
Keazaliman aktual adalah meletakkan tindakan dan prilaku pada selain tempatnya, seperti meludah di sembarang tempat, membunuh binatang yang tidak menganggu dan merusak lingkungan hidup sebagainya. Menurut para ahli irfan nazhari, pelaku kezaliman adalah setiap pendosa, baik manjikan maupun buruh, anak maupun orang tua, penguasa maupun rakyat.
Kezaliman praktis dapat dibagi dua;
1). Kezaliman subjektif atau kezaliman terhadap diri sendiri (al-zhulm Al-dzati). Yaitu kezaliman berupa perbuatan dosa yang tidak melibatkan pihak lain. Merurut para ahli irfan nazhari, setiap perbuatan dosa adalah kezaliman terhadap diri sendiri. Setiap pelaku maksiat adalah penganiaya diri sendiri. Ia telah menzalimi dirinya sendiri karena semestinya ia meletakkan diri (jiwa)-nya dalam ketaatan dan kebaikan. Ia dianggap zalim terhadap diri sendiri karena memaksa dirinya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan karakteristik jiwanya. Ia menzalimi dirinya karena membawanya ke siksa Allah. Ia telah melakukan harakiri. Ia adalah seorang masochist. Itulah sebabnya kita selalu dianjurkan untuk mengaku telah berbuat zalim terhadap diri sendiri karena perbuatan buruk yang kita lakukan “ربنا انّا ظلمنا انفسنا وان لم تغفر لنا لنكوننّا من الخاسرين “ (Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menzalimi diri kami. Andaikan Engkau tiada mengampuni kami, maka niscaya kami menjadi orang-orang yang rugi) atau mengulang-ulang pengakuan “ظلمت نفسى”. Bahkan para urafa’ menganggap pengakuan zalim terhadap diri sendiri sebagai salah satu syarat bertaubat.
2). Kezaliman objektif (al-zhulm Al-khariji). Yaitu kezaliman berupa perbuatan yang tidak semestinya terhadap diri sendiri dan pihak di luar dirinya. Kezaliman objektif dapat dibagi tiga: 1) Kezaliman terhadap benda-benda mati, air, udara dan sebagainya melalui pencemaran, pemborosan dan penggunaan yang tidak legal, tidak efesien dan untuk hal-hal yang tidak produktif (perbuatan dosa); 2) Kezaliman terhadap tumbuh-tumbuhan, melalui penggudulan hutan dan penebangan kayu secara membabi buta, dan perusakan cagar alam sebagainya. 3) Kezaliman terhadap hewan, melalui perburuan liar, pemusnahan satwa langka, pembunuhan hewan secara sadis, dan pengkonsumsian hewan secara berlebihan, penggunakan pakaian dari kulit domba dan ular sehingga menimbulkan kesenjangan sosial sebagainya; 4) Kezaliman terhadap sesama manusia atau kezaliman sosial. Kezaliman sosial dilakukan oleh setiap manusia, penguasa terhadap rakyat dan sebaliknya, majikan terhadap buruh dan sebaliknya, anak terhadap orang tua dan sebaliknya, suami terhadap isteri dan sebaliknya. Kezaliman sosial tidak identik dengan kelompok, status maupun starta tertentu dalam masyarakat. Seseorang yang masih berlaku zalim baik berupa pemikiran maupun berupa perbuatan, baik subjektif maupun objektif, tidak akan pernah dapat meraih pengetahuan emosional yang sangat mulia itu, dan sudah tentu tidak akan pernah mengenal Allah SWT dan realitas transenden lainnya.
2. Al-kufr
Sentra kedua keburukan dalam jiwa adalah kekafiran. Al-kufr secara kebahasaan berarti ‘menutupi’ atau ‘menyembunyikan’, dan secara keagamaan diartikan sebagai ‘menolak’ dan ‘menentang’. Berdasarkan definisi yang longgar dan umum ini, kekafiran dapat dibagi dua; kekafiran positif atau terpuji dan kekafiran negatif atau tercela. Kekafiran terpuji adalah segala bentuk penolakan terhadap keburukan dan kebatilan. Allah dalam Al-qur’an memuji orang-orang kafir jenis kedua ini “ومن يؤمن بالله ويكفر بالطاغوت فقد استمسك بالعروة الوثقى” (Dan sesiapa yang beriman pada Allah dan berkufur pada tiran, maka telah berpegangan dengan Al-urwah Al-wutsqa”). Kekafiran negatif adalah penolanan terhadap kesempurnaan, kebaikan dan kebenaran. Yang dimaksud dengan al-kufr di sini adalah kekafiran negatif.
Kekafiran (negatif) dapat dibagi dua;
1). Kekafiran sempurna (al-kufr at-tam), yaitu penolakan terhadap kebaikan dan kebenaran dalam jiwa dan raga. Kekufuran sempurna dalam dibagi tiga; 1) Kekufuran ateistik (al-kufr al-ilhadi, kufr al-uluhiyah), yaitu penolakan terhadap (bukti-bukti) keberadaan Tuhan; 2) Kekufuran politeistik (al-kufr asy-syirki, Kufr At-tauhid), yaitu penolakan terhadap (bukti-bukti) ke-esaan Tuhan; 3) Kekufuran terhadap agama (al-kufr al-la-dini, kufr al-nubuwah), yaitu penolakan terhadap bukti-bukti kenabian dan universalitas agama tanpa alasan-alasan yang bisa dimaklumi; 4) Kekufuran terhadap Islam (kufr al-Islam), yaitu penolakan terhadap agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW atau penolakan terhadap salah satu prinispnya.
2). Kekafiran lahiriah (al-kufr azh-zhahiri), yaitu semata-mata penolakan secara lahiriah terhadap kebaikan dan kebenaran. Para ahli irfan nazhari memasukkan semua perbuatan dosa (dosa legal dan moral) dalam kekufuran lahiriah. Dalam riwayat disebutkan “Tidak mungkin seseorang yang sedang berzina adalah orang mukmin”. Seseorang yang beriman dan percaya akan adanya Tuhan yang akan mengadili setiap hambaNya tidak mungkin akan berani berbuat dosa. Karena keyakinanya akan hari akhirat masih setengah-setengah, maka seseorang dengan mudah melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah. Para ahli irfan nazhari menyebutkan sejumlah kekufuran lahiriah, antara lain kekafiran dalam anugrah (Kufr Al-ni’mah) لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم ان عذابى لشديد” (Bila kalian bersyukur, niscaya Kami tambahkan untuk kalian, namun bila kalian berskufur, maka sesungguhnya siksa amatlah keras), واشكروا لى ولاتكفرون” ” (Bersyukurlah padaku dan janganlah kalin berkufur), kekafiran dalam dalam perbuatan (kufr al-tha’ah), kekafiran dalam ibadah.
3). Kekafiran batiniah (al-kufr al-bathini), yaitu semata-mata penolakan secara batiniah terhadap kebaikan dan kebenaran. Seseorang yang meyembunyikan penolakannya terhadap kebenaran dan menampakkan sebaliknya adlah orang yang layak menyandang sifat nifaq. Dialah munafiq. Munafik adalah jenis manusia yang sulit untuk memperbaiki diri atau bertaubat, karena karena ketertutupannya, ia tidak mungkin ditegur atau diingatkan oleh orang lain. Umat Islam sejak zaman Nabi hingga kita selalu disibukkan oleh orang-orang munafik.
3. Al-fisq
Para ahli irfan nazhari mendefinisikannya sebagai ‘penyimpangan dari jalan yang luar’ atau mungkin lebih pas diartikan ‘ketidakwajaran’. Setiap perbuatan dosa, menurut para ahli irfan nazhari, adalah abnormalitas, karena norma dan hukum yang mestinya diikuti adalah syariah dan akhlaq Islam. افمن كان مؤمنا كمن كان فاسقا لايستوون (apakah orang mukmin seperti orang fasiq, tentu tidaklah sama). (bersambung)
II. AT-TAHALLI
Tahap kedua yang harus dilewati oleh pencari pengetahuan emosional adalah at-tahalli immaterial ntra-sentra kebaikan spiritual atau melakukan at-tahalli. Jika seseorang keburu melakukan tahhali tanpa lebih dulu melakukan takhalli, maka ia laksana seseorang yang mengisi gelas kotor dengan air bersih. Itulah, sebabnya mengapa seseorang yang hanya berbuat baik namu tidak meninggalkan lawannya, yaitu perbuatan buruk, tak ubahnya tambal sulam atau mirip dengan orang yang mendaur ulang barang bekas, tidak mendapatkan surplus, ia hanya mendapatkan impas.
Menurut para ahli irfan nazhari, ada tiga sentra kebaikan spiritual yang merupakan induk semua kebaikan, yaitu Al-adl, Al-syukr, dan At-ta’ah.
1. Al-‘adl
Keadilan adalah salah satu syarat ketaqwaan yang merupakan inti iman.
اعدلوا هو اقرب للتقوى (Berlakulah adil, karena ia paling dekat dengan takwa).
Secara kebahasaan al-adl dapat diartikan sebagai keseimbangan. Secara keagamaan ia diartikan sebagai ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’. Kata al-adl dalam fiqh diganti dengan al-‘adalah, yaitu daya psikologis yang menolak perbuatan buruk dan mendorong perbuatan baik. Secara umum, keadilan, sebagai pasangan afirmatif kezaliman, dapat pula dibagi dua; keadilan intelektual (konseptual, teoritis)l dan keadilan aktual.
Keadilan intelektual (al-‘adl al-fikri)
Keadilan intelektual adalah meletakkan keyakinan pada tempat yang benar salah atau meyakini sesuatu secara proporsional. Seseorang yang berani menyatakan sesuatu sebagai benar karena secara objektif memang benar atau salah secara, bukan karena pertimbangan subjektif dan tendensial lain adalah orang yang berlaku adil secara intelektual.
Keadilan intelektual dapat pula dibagi, berdasarkan nilai sesuatu yang diyakininya, sebagaimana kezaliman intelektual yang telah disebutkan sebelumnya.
Keadilan aktual (al-‘adl al-‘amali)
Keadilan aktual adalah meletakkan suatu perbuatan pada tempat yang layak. Apabila kita melakukan perbuatan baik atau yang layak dilakukan (fisikal maupun non fisikal), maka berarti kita telah berlaku adil secara faktual dan praktis dan perbuatan kita termasuk keadilan praktis. Keadilan aktual dapat pula dibagi dua, berdasarkan sasarannya;
1). Keadilan subjektif. Yaitu perbuatan sempurna terhadap diri sendiri. Menurut para irfan nazhari, seseorang yang melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh adalah orang yang berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Ia disebut adil karena memeperlakukan dirinya secara proporsional dan baik. Semua perbuatan baik, berdimensi legal dan berdimensi moral, adalah keadilan terhadap diri (pelaku sendiri). Seseorang yang berlaku dan bersikap adil terhadap diri akan berpeluang untuk berlaku adil terhadap selain dirinya.
2). Keadilan objektif. Yaitu perbuatan sempurna terhadap selain diri sendiri. Segala sesuatu di luar subjek atau diri kita masing-masing adalah alam yang dapat dibagi berdasarkan entitas-entitas (maujud-maujud) yang ada di dalamnya. Ia dapat dibagi sebagai berikut: 1) Berlaku adil terhadap benda-benda molekuler, berupa air, batu dan gas atau oksigen, dengan cara tidak mencemari udara, tidak merusak sarana umum, tidak memproduksi peralatan berbahaya, senjata nuklir, kimia, bakteri dan sebagainya; 2) Berlaku adil terhadap benda-benda berkembang, seperti rumput, pohon, buah dan rumput, dengan cara tidak melakukan penebangan liar, penggundulan hutan yang merupakan paku alam, merawat bunga dan sebagainya; 3) Berlaku adil terhadap benda-benda berperasaan, dengan cara tidak melakukan perburuan liar, melindungi satwa langka dari kepunahan, tidak menggunakan alat pembunuh massal seperti bom untuk menangkap ikan, dan tidak membunuh binatang hanya untuk kesenangan dan hobi dan sebagainya sebagainya; 4) Berlaku adil terhadap manusia, yang lazim disebut dengan keadilan sosial, dengan cara setiap anggota masyarakat melaksanakan kewajiban individual serta menjaga hak sesama dengan mematuhi syareat Allah SWT.
Sebenarnya keadilan objektif sosial dapat dibagi berdasarkan tingkatan himpunannya sebagai berikut : 1) Keadilan sosial dalam rumah tangga, seperti antara suami dan isteri, orang tua dan anak, antar orang tua dan antar anak sendiri; 2) Keadilan sosial dalam lingkungan kerja atau pabrik atau perusahaan, seperti antara majikan dan buruh, antara pimpinan dan pegawai, antar atasan dengan yang di bawahnya dan antar pegawai atau buruh sendiri; 3) Keadilan sosial dalam pemerintahan, seperti antara penguasa dan rakyat, antar pejabat tinggi dan yang di bawahnya, antar pejabat tinggi dan antar pegawai pemerintah sendiri, antar sesama individu rakyat sendiri.
Apabila kita telah berlaku adil dalam segala dimensinya, maka peluang kita untuk meraih pengetahuan emosional, yang merupakan puncak dari kesusksesan hakiki manusia, makin lebar. Apabila masing-masing dari individu masyarakat tidak berlaku adil, maka ‘keadilan sosial’ hanyalah sebuah jargon yang tidak akan pernah dapat dirasakan.
2.Al-syukr
Sentra kedua kebaikan spiritual yang merupakan salah satu elemen at-tahalli adalah Al-syukr.Syukr adalah ekspresi penghargaan yang tulus terhadap atas pemberian.
Al-syukr adalah lawan afirmatif dari al-kufr. Allah berfirman لئنن شكرتم لأزيد نّكم ولئن كفرتم انّ عذابى لشديد )Bila kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan buat kalian. Namun bila kalian berkufur, maka sesunguhnya siksa amatlah pedih).
Para ulama akhlaq membagi ekspresi syukur dalam beberapa tingkat sebagai berikut: 1) Syukur lisan. Yaitu penghargaan kepada pemberi melalui pengucapan terima kasih, alhamdulillah. Yang agak menggelikan ialah bahwa pada bulan Ramadhan kata-kata syukr itu telah dijadikan sebagai sarana kaum kapitalis sehingga sering diucapkan oleh para bintang iklan makanan dan lainnya di televisi. Syukr hanya dengan pengucapan tanpa ketulusan hati bukanlah syukur sejati; 2) Syukur tulisan. Yaitu penghargaan melalui tulisan. Yang juga menggelikan ialah bahwa tulisan berisikan kata syukur itu telah menjadi komoditas dagang berupa stiker yang ditempelkan di kaca mobil atau kaigrafi yang kerap dipajang dan dipamerkan di ruang tamu yang mewah seperti هذا من فضل ربّى (Ini adalah sebagian dari anugerah Tuhanku) atau وان تعدّوا نعمة الله لاتحصوها (Bila kau hitung kenikmatan dari Allah, maka kau tidak dapat menjumlahnya). Syukur dengan penulisan tanpa ketulusan hati bukanlah syukur sejati; 3) Syukur badan atau syukur praktis. Yaitu penghargaan melalui perbuatan fisik. Mengungkapkan syukur dengan perbuatan aktual lebih mengesankan bagi pemberi daripada syukur lisan dan tulisan. Syukr ketiga ini lebih mendekati definisi sebagian ulama akhlaq. Mereka mendefinsikan syukr sebagai penghargaan atas pemberian tertentu dengan cara tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak dan karakter pemberi hadiah tersebut sekaligus melakukan perbuatan yang sesuai dengannya. Syukur dengan ekspresi fisik tanpa ketulusan hati bukanlah syukur sejati.
Syukur praktis dapat dibagi dua, yaitu 1) Syukur praktis aktif. Yaitu melakukan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan dan dianjurkan oleh pemberi anugerah; 2) Syukur praktis pasif. Yaitu tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dibenci oleh pemberi anugerah.
Setiap pencari al-ma’rifah al-qalbiyah harus bersyukur dalam segala dimesinya, Namun yang terpenting ia harus bersyukur secara praktis baik aktif maupun pasif. Jika tidak bersyukur, maka kita tergolong dalam orang-orang yang berkufur. Seseorang yang kafir tidak akan pernah mendapatkan secuilpun pengetahuan emosional.
3. Al-tha’ah
Lawan afirmatif kefasikan adalah kepatuhan. Ia bisa menjadi positif apabila objeknya berhak ditaati, dan bisa menjadi negatif apabila objeknya tidak berhak ditaati. Allah SWT adalah satu-satunya yang memiliki hak untuk ditaati secara mutlak. Ketaatan kepada Rasul dan para imam suci adalah turunan dan cabang dari ketaatan kepadaNya. Sedangkan ketaatan kepada sesama manusia, kepada ayah, ibu, suami, majikan, atasan, penguasa, dan sebagainya menjadi positif dan terpuji apabila tidak bertentangan dengan hukum Allah. لاطاعة لمخلوق فى معصية الخالق (dilarang mematuhi manusia apabila perintahnya melanggar hukum Allah).
Kepatuhan positif dapat pula dibagi dua, berdasarkan bidang-bidangnya, menjadi dua;
1. Ketaatan legal. Yaitu ketataan terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Allah melalui wahyu dengan segala rincian tata caranya, seperti shalat, puasa dan sebagainya.
2. Ketaatan moral. Yaitu ketaatan terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan ditanamkan langsung dalam fitrah manusia, seperti larangan bersikap dengki, sombong dan perintah untuk bersikap berani, optimis, menolong yang lemah dan sebagainya.
Seseorang yang belum mematuhi hukum-hukum Allah tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan emosional. Itu berarti ia tidak akan pernah merasakan kehadiran Tuhannya. Bulan suci Ramadhan adalah kesempatan emas untuk merasakan kehadiranNya dalam diri kita.
III. AT-TAJALLI
Bila tahap At-tahalli telah dilewati, maka berarti tahap berikutnya, At-tajalli ada di hadapan anda. Itulah puncak pengembaraan spiritual yang paling indah dan nikmat. Itulah tahap misteri penampakan. Itulah tahap ekstasi spiritual yang tak terlukiskan, Itulah taman indah tempat bermain jiwa-jiwa rebah urafa’.
Pengertian At-tajalli
Secara kebahasaan At-tajalli adalah penampakan sesuatu bukan karena sebelumnya terhalang. Karena itulah ia berbeda dengan al-kasyf yang berarti ketersingkapan. و النهار اذا تجلّى (Demi siang kala tampak) Par ahli irfan nazhari menggambarkan secara umum tahap tajalli sebagai tahap ketika zat mutlak Allah Al-Haq dan semua kesempurnaanNya nampakdan menyeruak. Adapun ilustrasi detail proses penampakan itu, para ahli irfan nazhari, memberikan penguraian yang berbeda-beda. Sebagian menganggap al-hulul sebagai proses penampakan. Sebagian lain menganggap al-ittihad sebagai prosesnya. Sedangkan sebagian lain At-tajafi.
Pembagian At-tajalli
Sebagian ahli irfan membagi At-tajalli dalam beberapa tahap sebagai berikut:
1). At-tajalli al-ilmi al-I’tiqadi. Yaitu tahap penampakan konsep-konsep keyakinan yang terbatas -berupa hijab pikiran-. Ini penampakan tak sejati.
2). At-tajalli asy-syuhudi. Yaitu tahap penampakan Al-haq dalam entitas-entitas subjektif dan objektif –ketika busana selainNya telah lebih dulu dilucuti-. Sebagian menggambarkannya sebagai tahap penampakan Al-Haq berupa salinan muqayyad (terbatas, relatif) atau mutlak dalam forma (tampilan) segala maujud (entitas). Ini pempakan rendah.
3). At-tajalli al-wujudi asy-syahadi. Yaitu tahap penampakan Al-Haq yang terefleksikan dalam ketetapan-ketetapan dan pengaruh serta jejak entitas-entitas. Penampakan kedua ini merupakan konsekuensi dari penampakan pertama. Ini penampakan medium.
4). At-tajalli al-‘ilmi al-‘aini. Yaitu Yaitu tahap penampakan Al-Haq dalam forma pengetahuan tentang diriNya berupa forma entitas-entitas, potensi dan kapasitas-kapasitas. Kaum sufi menyebutnya dengan Al-faidh Al-Aqdas atau limpahan terkudus.
Identitas-identitas objek dalam At-tajalli
Sebagian ahli irfan menyebutkan empat tahjap (maqam) dalam tajalli sejati sebagai berikut:
1). Maqam al-wahidiyah. Yaitu penampakan zat Allah dengan segala sifat-sifatNya yang merupakan zatNya sendiri. Inilah maqam permulaan.
2). Maqam al-inniyah. Yaitu penampakan dan kemanunggalan Al-Haq dalam kesempurnaan-kesempurnaanNya. Inilah maqam kedua.
3). Maqam al-huwwiyah. Yaitu penampakan zat al-Haq dengan asma’ dan sifat-sifatNya. Zat Al-Haq dalam maqam ini lebih khusus daripada Allah.
4). Maqam al-ahadiyah. Yaitu penampakan zat Al-Haq semata tanpa sifat maupun asma’Nya. Inilah maqam puncak.
Dunia Tajalli adalah dunia misterius yang amat luas. Ia tak akan pernah diungkap dengan uraian kata atau goresan tinta. Ia harus dimasuki dan dirasakan setelah menghancuran rezim-rezim nafsu dalam diri kita. Karena itu, ‘berlarilah kepada Allah’. Wallalhu a’lam (ML)
Sumber-sumber:
1. Mabani Al-Ma’rifah, 34-53,
2. Al-Futuhah al-Makkiyah, juz 3, hal. 440, Al-futuhat Al-makkiyah, juz 1, 289,
3. Fushusuh Al-Hikam, Syarh Al-Qaishari, hal. 175, 276, Fushush Al-Hikam , syarh Al-Afifi, hal. 90,
4. Tajalli wa Zohour dar Erfan, 178-179,
5. Asyi’ah Al-lama’at, hal. 16, 17, 113,
6. Al-Insan Al-Kamil, Al-jili, juz 1, hal. 42, 43, 72, 89-93,
7. Tamhid Al-Qawa’id, hal. 144,
8. Manazil Al-Sa’irin, Al-tilmasani, hal. 510.
9. Akhlaq Ahlil-Bait, 52
Wassalam
Sumber : muhsinlabib.com