Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Junjung Jurnalisme Damai, Stop Jurnalisme Kebencian!

Jurnalisme Damai

Di masa keterbukaan dan kebebasan berpendapat berdemokrasi sepertai sekarang, media massa tak hanya berperan besar sebagai salah satu pilar demokrasi, tapi juga menjadi pembentuk opini masyarakat yang amat efektif.

Namun sangat disayangkan ekses demokrasi ini memiliki sisi-sisi gelapnya. Termasuk dalam media. Keterbukaan dan kebebasan berpendapat ini ikut menyuburkan media-media provokator dan jurnalisme kebencian.

Berikut wawancara ABI Press pada Ahmad Taufik Jufry, seorang wartawan senior yang pernah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mengenai hal ini:

Bagaimana jurnalisme itu semestinya?

“Pada dasarnya jurnalisme harus membawa pada kebaikan. Makanya kemudian ada namanya jurnalisme damai. Karena itu penting pemahaman yang bener sebelum melakukan suatu liputan. Sebelum mempublish suatu berita harus memahami persoalannya dulu. Kadang-kadang ada yang jurnalis yang tidak menggali apa yang harus dia pahami secara benar.”

“Kalau dia tidak mengerti masalah, riset dulu dan cari narasumber yang kompeten. Bukan narasumber yang kemudian malah jadi bertambah buruk. Karena itu di media cetak lebih mudah kalau mewawancarai narasumber yang provokatif, atau tidak sesuai dengan angle yang ingin diberikan jurnalisme damai, jurnalisme yang membawa pada kebaikan dan kedamaian. Dia bisa mengambil hal-hal yang penting saja dari wawancara itu. Tapi kalau langsung misalnya, televisi, saat live juga itu bisa memberikan salah paham.”

“Intinya, sebuah media itu harus menjadi clearing house, jadi penjelas dan penerang bagi sebuah persoalan. Bukan cuma meneruskan isu-isu saja. Istilahnya adu dengkul. Hanya meneruskan isu, tapi tidak menjadi penjelas bagi masyarakat. Jadi masyarakat membaca dan melihat berita bukannya jadi pinter, malah menjadi panas, sektarian, atau apa. Itu gak bener berarti. Itu gagal berarti menjadi karya jurnalistik. Menjadi jurnalistik juga gagal dia.”

Bagaimana pendapat Bapak mengenai dua pandangan bahwa jurnalisme harus obyektif dan tidak memihak, dengan keberpihakan dalam jurnalisme?

“Kalau saya termasuk orang yang berpendirian bahwa fakta tak boleh dikaburkan. Fakta harus sesuai kenyataan. Karena tidak kredibel suatu media ketika fakta dikaburkan. Fakta-fakta bohong dan sebagiannya itu membuat media kemudian menjadi kredibel.”

“Tapi sebuah berita jangan hanya tergantung angle yang kita inginkan. Tapi angle itu buat kepentingan publik. Apakah berita yang ia bawa itu merugikan kepentingan publik tidak? Kalau merugikan kepentingan publik jangan, harus tahan diri.”

“Titik poinnya di kepentingan publik. Karena nanti ketika misalnya media itu diseret ke sebuah pengadilan itu ada pilihan, apakah ini ada evil intent? Ketika dituduh sebagai fitnah, bohong, atau untuk kepentingan sendiri nggak? Ketika ini untuk kepentingan publik dia bisa selamat.”

“Misalnya saya menulis kasus kebakaran pasar Tanah Abang dulu. Apakah karena saya benci karena Tommy Winata itu adalah Cina? Karena dia distigmakan konglomerat hitam? Apakah karena itu? Kalau karena itu saya bisa disalahkan. Tapi karena saya untuk kepentingan publik, karena publik yang dirugikan karena kebakaran, saya diselamatkan karena itu ketika diadili. Jadi kepentingan publik menjadi utama. Angle bisa berbeda-beda, tiap media tentu berbeda-beda. Tapi ada kepentingan publik yang dilayani.”

Bagaimana Bapak melihat perkembangan jurnalisme kebencian dan media-media penyebar kebencian ini dari dulu hingga kini?

“Ya kan emang ada perbedaan tergantung zamannya. Ketika zaman diktatorial, itu biasanya berkembang media-media bawah tanah, tidak jelas, provokasi. Memang untuk melawan pemerintah atau satu rezim. Itu di mana-mana. Di seluruh dunia juga sama. Ar-Risalah misalnya yang diterbitkan oleh Irfan S.”

“Tapi karena yang dilawan pemerintah, ujaran kebencian itu lebih banyak ditujukan pada pemerintah. Tadi yang saya sebutkan ar-Risalah misalnya. Mereka menyerukan harus negara Islam, kemudian diikuti gerakan. Kemudian ketika sudah lawannya bukan pemerintah, mereka mencari lawan-lawan lain. Kelompok ini saling serang sendiri, mengejar kelompok lain. Antar madzhab, antar sekte, pada orang yang lebih kecil untuk ditekan.”

“Memang ini bagian dari sisi gelap demokrasi. Nah, ya kita sebagai masyarakat demokrasi harus harus bertanggungjawab untuk itu. Kita harus punya kesadaran menjaganya. Jangan sampai juga kita sembrono menggunakan demokrasi kemudian nanti muncul militerisme, otoriterisme, dan seterusnya.”

Bisa Bapak berikan contohnya cara menyikapinya?

“Begini, kenapa HTI misalnya, dia menyuarakan anti demokrasi. Tapi sebenarnya HTI berkembang di demokrasi. Dengan demokrasi ia bisa bersuara. Jadi ya itu tadi,  selama dia bersuara saya sepakat dengan Syamsu Rizal, asal tidak ditindaklanjuti dengan kekerasan, atau fitnah. Yang kita khawatirkan adalah masyarakat yang gak mengerti karena berita itu jadi terprovokasi. Nah itu yg mesti dicegah.”

“Media juga harus kita awasi. Apakah dia sudah menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme? Jadi masih ada batasan-batasan. Kebebasan pers itu ada batasannya. Nah, bagaimana kita bisa menata itu menjadi sebuah yang bermanfaat. Batasannya adalah kita tidak melanggar hak orang lain, yang merusak, yang melanggar kepentingan publik tadi. Itu pasaknya. “

“Karena pers itu kan sebetulnya melayani kepentingan publik. Kita punya berita buat kepentingan publik. Makanya publish, kalau gak kan buat diri kita sendiri saja. Kalau buat diari kita benci pada siapa saja terserah. Tapi bukan untuk publikasi. Kalau publikasi ada cover both side, syarat-syaratnya kan banyak. Misalnya kalau dituduh, yang dituduh itu kan bisa diwawancara juga.”

Bagaimana masyarakat sendiri mestinya menyikapi banyaknya media-media yang mengusung jurnalisme kebencian ini?

“Sebetulnya…, media yang seperti itu gak banyak juga pembacanya. Tapi juga harusnya jangan diberi kesempatan. Kalau media cetak gak perlu beli, akhirnya mati juga nanti kalau tidak dibeli. Kalau televisi dan radio, karena itu pake frekuensi radio, kita bisa menuntut ke pemerintah. Karena ada kepentingan publik di situ dia bisa masuk tanpa izin pemiliknya.”

Trans7 misalnya, ketika memuat berita-berita yang jelek, provokasi, hate speech dan sebagainya itu bisa kita tuntut ke pemerintah. Pemerintah bisa memperhatikan itu juga. Menteri yang baru kan juga sudah minta agar masyarakat melaporkan media-media yang isinya provokasi dan sebagainya. Kan ada juga RemoTV. Bagaimana yang menilai sebuah tayangan tv. Atau bisa kita laporkan ke KPI ke Komisi Penyiaran.”

“Jadi peran amasyarakat juga penting. Agar ada kesadaran media ini ada kepentingan publik di situ. Ini bisa merusak satu bangsa gak misalnya? Bisa merusak masyarakat misalnya?” (Muhammad)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *