Berita
Warung Budoyo, Lestarikan Budaya
Minggu (08/03/2015) pukul 09.30 WIB, halaman utama Gedung Balai Pemuda yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya terlihat ramai oleh pengunjung yang kebanyakan datang bersama keluarga sekadar untuk berakhir pekan. Rupanya, sedang ada pertunjukan tradisional Kuda Lumping yang dalam masyarakat Jawa lazim disebut Jaran Kepang. Seperti pada umumnya, atraksi dimeriahkan oleh 4 anak muda berperan sebagai penunggang kuda lengkap membawa pecut. Pemain alat musik tradisional menambah lengkap keseruan pertunjukan ini dengan memainkan tempo yang makin lama makin rancak. Tidak cukup sampai di situ, sekitar 70 pengunjung yang hadir kian dibuat tercengang di adegan masuknya tokoh mitologi Macan Lodaya yang sepintas bentuknya mirip barongsai. Pawang mulai melakukan ritual memasukkan arwah ke setiap pemain. Tidak ada atraksi ekstrem seperti makan beling, para pemain hanya terlihat seperti meniru gerakan monyet dan terpelanting ke sana kemari sembari memakan bunga tujuh rupa yang diasapi dupa. Setelah berhasil dinetralkan oleh pawang, pertunjukan diakhiri pukul 11.00 WIB.
Kontributor ABI Press berhasil mewawancarai Pak Samiran, Ketua Sanggar Warung Budoyo yang mengadakan acara ini sekaligus bertindak sebagai pawang. “Kita sudah hampir 3-4 tahun Mas mengadakan acara seperti ini di Balai Pemuda setiap Minggu pagi,” terang pria asli Kediri itu.
Ia bercerita, saat ini atraksi tradisional seperti Jaran Kepang sudah mulai kehilangan animo peminat akibat budaya baru yang banyak bermunculan dewasa ini seperti car free day atau colour run sebagai alternatif berakhir pekan. “Awalnya kita muncul di sini ini (Balai Pemuda – ed.), ndak banyak yang lihat, Mas. Istilahnya magak, setengah-setengah. Ya wajar ya orang sekarang lebih suka lihat pertunjukan modern. Budaya pop ya istilahnya,” ucapnya. Meski sadar akan tantangan tersebut, Pak Samiran yang kini telah berusia 63 tahun bersama kedua puluh lima rekannya tetap memilih bertahan mengenalkan kesenian khas Jawa Timur bagi masyarakat umum secara sukarela di Balai Pemuda. Apa alasannya?
“Sebagai orang seni, saya dan teman-teman melihat bahwa sanggar ini adalah satu-satunya sarana merekatkan rasa guyub antaranggota. Lewat acara seperti ini kita bisa berkumpul sekaligus mengenalkan seni budaya Jawa Timuran,” tegasnya. Sebagai upaya menarik minat, keanggotan sanggar budaya berlokasi di Surabaya Selatan ini dibuat sangat terbuka. Misalkan saja para pemain yang bergabung berasal dari macam-macam latar belakang profesi mulai dari kuli bangunan, petani, pengusaha, hingga anggota militer. Demikian pula tua-muda boleh turut bergabung.
Selain Jaran Kepang, Sanggar Warung Budoyo juga mampu menampilkan kesenian khas lainnya seperti tembang Campursari dan Reog. Setiap minggu Pak Samiran berupaya menyuguhkan pertunjukkan yang bervariasi agar pengunjung tidak bosan datang. Katakanlah pada hari ini Jaran Kepang, maka minggu depan akan ditampilkan Reog. Sebagai penutup, Pak Samiran berharap agar pentas kesenian asli Jawa Timur sebagai alternatif akhir pekan keluarga dapat tetap bertahan di ruang publik Kota Pahlawan. (Fikri/Yudhi)