Berita
Bentengi Kaum Ibu dan Remaja Putri dari Wabah Takfiri
Kamis (12/2/2015) silam, fokus pemberitaan nasional yang masih mengarah pada gonjang-ganjing pelantikan calon Kapolri Budi Gunawan sontak dikejutkan dengan kabar penyerbuan perkampungan yang dihuni oleh jemaah Majelis Az-Zikra Bukit Sentul di bawah asuhan da’i kondang Arifin Ilham. Pemicu penyerbuan oleh sekelompok orang dipicu oleh adanya spanduk bernada hate speech dengan tulisan menolak kehadiran Syiah di lokasi tersebut.
Kasus tersebut kemudian dijadikan momentum oleh sekelompok organisasi masyarakat keagamaan berhaluan takfiri untuk menyesatkan Syiah dan menghembuskan potensi disharmoni antarumat beragama.Peristiwa menggemparkan tersebut seperti alarm darurat untuk kesekian kali bahwa potensi konflik horizontal yang bersumber dari wabah takfiri memang nyata adanya, semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, dan harus segera ditangkal.
Pengajian ibu-ibu di lingkungan masjid maupun komplek perumahan merupakan salah satu lahan basah bagi kaum takfir dalam menyebarkan ide-idenya untuk menanamkan bibit intoleransi kepada peserta majelis taklim yang umumnya terdiri dari perempuan berusia paruh baya dan sedang haus akan khazanah keIslaman.
Salah satu bukti adalah Selasa lalu (17/2/2015), nenek penulis yang aktif mengikuti pengajian di masjid dekat rumah pulang membawa buku saku plus majalah mini. Keduanya dibagikan secara gratis kepada semua jemaah. Di buku saku berjudul Mengapa Saya Beragama Islam tulisan Muhammad Nur Yasin pada halaman 42 terdapat tudingan klasik bahwa mazhab Syiah meyakini al-Quran telah diubah (tahrif) dan versi paripurnanya akan dibawa Imam Mahdi kelak.
Isu sama mengenai tahrif terdapat juga pada majalah mini Fithrah dalam seri bersambung Banyolan Syiah di rubrik Manhaj halaman 18 yang ditulis oleh Ustaz Firanda Andirdja. Lebih keras lagi dalam artikel Firanda, dituduhkan bahwa al-Quran Syiah bisa jadi berbahasa Iran atau Ibrani.Padahal, ulama muktabar Syiah seperti terdapat dalam Buku Putih Mazhab Syiah halaman 167 terang menyatakan bahwa al-Quran yang ada saat ini sudah sempurna.
Masih banyak lagi sebetulnya kasus da’i meresahkan di sekitar lingkungan rumah seperti hadirnya sosok ustaz muallaf yang mengaku mantan pendeta Hindu lantas memberikan ceramah di pengajian bahwa amaliah warga Nahdlatul Ulama seperti tradisi 40 harian bagi orang mati adalah tradisi jiplakan Hindu yang sarat akan kebid’ahan. Sayangnya, kenyataan bahwa kaum ibu kurang mendapat akses referensi pembanding ditambah pula rasa sungkan kepada ustaz jika hendak bersikap kritis, membuat modus seperti ini kian efektif bagi misi kaum takfiri memecah belah umat.
Quality Time, Keterbukaan Sebagai Kunci
Kasus serupa seperti kisah di atas tentu terjadi juga di daerah lain dan dilakukan dengan menggunakan beragam taktik.
Lantas, apa yang dapat kita lakukan sebagai upaya melindungi anggota keluarga, terutama kaum hawa dari bahaya penyusupan pemahaman takfiri di majelis pengajian? Tidak lain adalah adanya iklim keterbukaan di lingkungan rumah. Kepala keluarga sepatutnya membuka ruang dialog pada waktu berkumpul bersama di sore hari atau akhir pekan (quality time), bukan hanya membahas hal ringan namun juga apa saja ilmu yang didapatkan oleh ibu, putri, istri, atau saudara perempuan di pengajian.
Obrolan santai semacam ini bermanfaat sebagai monitoring secara halus untuk mengantisipasi jika ada materi yang sudah menjurus pada takfirisme. Bilamana ditemukan indikasi kejanggalan isi pengajian, maka tugas anggota keluarga untuk mengkonfirmasi langsung pada takmir atau pemuka setempat.
Selain sesi quality time, alangkah baik membudayakan sikap gemar membaca diiringi kemauan melakukan komparasi agar pikiran tidak sempit karena mengkonsumsi satu sumber saja di pengajian. Jadikan rumah sebagai taman baca dilengkapi aneka literatur tidak hanya karya satu ustaz atau satu penerbit. (Fikri/Yudhi)