Artikel
Surat Terbuka Untuk Presiden Jokowi
Derita Pengungsi Muslim Syiah Sampang: Tragedi Kemanusiaan, Pencoreng Wajah dan Harga Diri Bangsa
(Surat Terbuka Untuk Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko Widodo)
Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko Widodo yang kami muliakan..
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Semoga Allah, Tuhan Yang Mahaesa senantiasa membimbing dan melindungi tiap langkah Bapak dalam memimpin negeri ini.
Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko Widodo yang kami kagumi..
Indonesia merdeka yang kita cintai bersama kini, adalah Indonesia yang pada awalnya dibangun oleh founding fathers kita dengan ditopang peran serta, jerih-payah, tetesan keringat, cucuran air mata bahkan pengorbanan besar berupa taruhan nyawa anak-anak bangsa dari beragam latar belakang suku, agama, dan budaya.
Bermodal keyakinan kuat, seraya menjunjung tinggi prinsip persamaan derajat di antara sesama manusia dan penghargaan pada asas pluralitas itulah bangsa kita berdiri kokoh, direkatkan oleh perasaan senasib sepenanggungan, hingga para penjajah pun mampu kita usir mundur dari gelanggang, membebas-lepaskan bangsa kita dari belenggu penjajahan hingga kemerdekaan pun pada akhirnya mampu kita raih dengan gemilang.
Itulah Indonesia yang dalam sejarah tercatat sebagai salah satu di antara negara besar yang disegani dunia. Indonesia yang seluruh warganya bangga meneguhi prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Itulah Indonesia yang ber-Pancasila. Indonesia yang toleran dan menghormati keniscayaan adanya perbedaan di tengah bangsa-bangsa lain yang bermartabat dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Itulah Indonesia yang sejak lama kita idam-idamkan, sebagai negeri aman tempat kita bernaung. Negeri gemah ripah loh jinawi yang demi mempertahankan kelestarian dan kedamaiannya, bahkan jiwa-raga pun akan kita korbankan tanpa banyak bertanya lagi.
Namun melalui surat terbuka ini, ijinkanlah kami bertanya kepada Yang Mulia Bapak Presiden Joko Widodo, mengapa dalam beberapa tahun terakhir ini, negeri cinta-damai dan bangsa toleran yang mengagumkan itu sontak berubah wajah, penuh cacat dan bopeng oleh aksi-aksi intoleransi dan aneka pelanggaran hak asasi?
Mengapa ada sekelompok orang yang merasa diri mereka bebas berbuat sesuka hati, gemar membenci, semangat mencaci-maki lalu menindas kelompok lain yang dianggap berbeda? Lupakah mereka, kelompok intoleran dan beringas itu, bahwa sejak mula bangsa kita telah disatukan oleh prinsip adiluhung Bhinneka Tunggal Ika?
Jika mereka lupa, kemanakah mereka pergi selama ini? Jika mereka tak paham tolok ukur etika dan budi pekerti bangsa yang kita hargakan tinggi, maka dari negeri manakah sesungguhnya mereka berasal? Mengapa kemunculan mereka secara tiba-tiba, ibarat duri dalam daging yang mengancam NKRI?
Hingga pada akhirnya, negeri berpenduduk Muslim terbesar inipun dipermalukan di hadapan dunia oleh sebagian warganegaranya yang tak berbudi. Karena mereka yang mengklaim diri sebagai pengikut setia Rasul, ternyata tak mampu bersikap ksatria dan lapang dada menerima realita perbedaan yang niscaya. Alih-alih menebar rahmat dan kasih sayang bagi semesta, sebagian dari mereka justru merasa bangga dalam aksi menebar caci-maki berdasar benci hingga berujung baku pukul hingga kini.
Akibatnya, tak hanya di kota-kota besar, konflik horizontal bernuansa SARA pun secara sporadis bermunculan dimana-mana, hingga ke pelosok-pelosok desa. Selebihnya, aksi premanisme dan tindak kekerasan atas nama agama seolah menjadi hal biasa yang layak dipandang sebelah mata.
Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko Widodo yang kami muliakan..
Dalam surat ini pula ijinkanlah kiranya kami sampaikan, tentang masih adanya warisan kelam pelanggaran konstitusi dan borok pelanggaran HAM masa lalu yang ditinggalkan oleh pendahulu Bapak. Tragedi buruk yang hingga kini tak segera diakhiri dan dituntaskan.
Sudah pernahkah Bapak mendengar, bahwa di tengah Indonesia tercinta yang kita banggakan ini, masih saja ada warga bangsa yang dua tahun lebih lamanya dipaksa berstatus pengungsi di negeri mereka sendiri?
Sebagai pelanjut estafet kepemimpinan bangsa, kami tentu berharap dan sekaligus berkeyakinan, sudah seharusnya Bapak memahami betul duduk masalahnya. Maka mengapa atau apakah pantas bahwa di tengah pergaulan bangsa-bangsa maju dan merdeka ini, di sebuah negeri bernama Indonesia, masih ada sekelompok orang yang dipaksa mengungsi di negerinya sendiri?
Meletusnya konflik horizontal di Omben dan Karanggayam, Sampang, Madura (26/8/2012), memaksa ratusan warganya terusir dari kampung halaman dan hingga kini terpaksa tetap berstatus pengungsi di Rusun Puspo Agro Jemundo, Sidoarjo.
Terhitung sudah dua tahun tujuh bulan para pengungsi yang kini berjumlah 74 KK tersebut harus hidup dari belas kasihan pemerintah, terutama pemerintah daerah Jawa Timur, yang membawahi wilayah Sampang, tempat konflik tersebut terjadi.
Para pengungsi yang hak-hak dasarnya sebagai warganegara terampas akibat konflik tersebut, kini harus menjadi korban lagi atas diamputasinya hak-hak mereka sebagai pengungsi. Tercatat pada akhir tahun 2013, Pemprov Jatim menghentikan jatah makan para pengungsi dan menggantikannya dengan uang sejumlah 750 ribu per orang bagi pengungsi.
Namun pada kenyataannya hingga dua bulan ini (Januari-Februari 2015) para pengungsi sudah tidak lagi mendapatkan hak-hak mereka, terutama terkait jatah makan dari pemerintah tanpa ada kejelasan lebih lanjut.
Sebagai warga negara Indonesia yang sah, tentu para pengungsi ini berhak mendapatkan hak-hak mereka sebagai warganegara dan sudah menjadi tugas dari pemerintah untuk memenuhi hak-hak warganya terutama hak warga untuk terhindar dari berbagai ancaman dan diskriminasi yang berasal dari warga atau kelompok lainnya.
Jika pemerintah sebagai pemegang kekuasaan saja tidak mampu memberikan hak perlindungan kepada warganya sendiri, lalu kepada siapa lagi para pengungsi ini menuntut hak-hak dasar mereka sebagai warganegara?
Bukankah negara mengakui bahwa setiap warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama? Bukankah negara ini berdiri berdasarkan konstitusi yang sudah jelas dan seharusnya siap memberikan perlindungan yang sama bagi setiap warganegara?
Lalu mengapa hingga saat ini para pengungsi Muslim Syiah Sampang belum juga dapat pulang ke kampung halamannya di bawah jaminan keamanan dari negara?
Jika Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko Widodo tidak gentar terhadap ancaman pihak luar negeri terkait tetap dijalankannya eksekusi mati terhadap terpidana narkoba warga asing yang ada di Indonesia demi menjaga martabat negara, hukum serta konstitusi yang berlaku di Indonesia, mengapa Bapak Presiden seperti tidak punya nyali untuk memulangkan para pengunsgi Syiah Sampang ke kampung halaman mereka?
Mengapa Bapak Presiden yang dengan tegasnya menentang permintaan sejumlah negara sahabat untuk membatalkan hukuman mati pada warganegara mereka seakan terkunci dan membisu bibirnya atas penderitaan warga pengungsi Muslim Syiah Sampang Madura? Mengapa Presiden seakan tersandera oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan pengungsi Muslim Syiah Sampang pulang kembali ke kampung halaman mereka? Yang tampak, kini Bapak Presiden begitu keras kepada pihak luar untuk menegakkan konstitusi, tapi lemah dalam memberikan hak-hak konstitusional bagi warga Muslim Syiah Sampang yang juga dijamin konstitusi, di dalam negeri mereka sendiri.
Mengapa hingga detik ini tidak ada satu pun solusi dari pemerintahan baru yang Bapak pimpin, terkait pemulangan pengungsi Muslim Syiah Sampang?
Dengan sangat menyesal, harus kami katakan bahwa warisan permasalahan pemerintahan sebelumnya inipun menjadi tak ubahnya De Javu bagi pemerintahan yang baru ini.
Persoalan yang berlarut-larut tanpa penyelesaian, dan telah menjadi catatan dan preseden buruk bagi pemerintahan sebelumnya, kini belum mampu diperbaiki oleh pemerintahan yang baru di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi.
Padahal sejumlah pertemuan dan upaya islah antar warga yang dulu berkonflik telah terjadi. Padahal persoalan kesalah pahaman yang terjadi beberapa tahun lalu di akar rumput sudah tuntas. Padahal mereka yang dulu berhadap-hadapan laksana musuh dalam konflik akibat termakan provokasi, kini telah mampu duduk bersama dan berbagi tawa sebagai kawan dan saudara bagai semula.
Rekonsiliasi damai antara pengungsi Muslim Syiah Sampang dengan warga kampung halaman mereka sudah terbangun. Tak ada lagi dendam, tak ada lagi permusuhan. Pendekatan dengan bersandar pada nilai-nilai kearifan lokal telah mencairkan kebekuan yang selama ini dirasakan. Persaudaraan warga Madura sebagai modal sosial telah mempersatukan mereka kembali.
Apakah belum cukup itu semua untuk memberikan kepada Bapak Presiden, kekuatan memulangkan para pengungsi Muslim Syiah Sampang ke kampung halamannya?
Pembiaran ini tentu akan mencoreng kehidupan kebhinekaan dan toleransi di Indonesia. Tak hanya itu, semua kesuksesan dan kebesaran Bapak Presiden Joko Widodo seolah tak mampu menjadi modal untuk menuntaskan kasus kecil di sebuah pelosok desa di pedalaman Madura.
Rapor merah atas terjaminnya kebebasan beragama berkeyakinan yang diberikan oleh PBB pada sidang Dewan HAM PBB pada Bulan Juni 2014 tahun lalu, masih belum mampu dihapuskan oleh pemerintah, dan tak ayal telah mencoreng hitam wajah kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri kita.
Padahal Indonesia telah dikenal sebagai negara yang masyarakatnya ramah, sopan, santun, dan menjunjung tinggi toleransi. Namun kini itu semua seolah hanya dongeng belaka. Kini negeri yang menjunjung tinggi toleransi dan hak asasi manusia, tercoreng dengan rapor merah dari PBB dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang tentu saja mempermalukan wajah Indonesia di dunia Internasional.
Betapa tidak tercoreng wajah negeri ini? Indonesia yang telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional tentang HAM, ternyata masih tidak bisa menjalankan konvensi internasional tersebut. Dengan menelantarkan hak asasi warga Muslim Syiah Sampang, apalah arti sebuah ratifikasi konvensi Internasional selain sebuah isapan jempol belaka?
Andai saja pemerintah sigap dan memiliki kemauan serta tekad yang kuat seperti halnya saat menghadapi negara-negara lain yang melawan hukuman mati atas warganya di Indonesia, tentu masalah pengungsi Muslim Syiah Sampang bukanlah masalah yang terlampau rumit dan berat untuk sesegera mungkin dituntaskan hingga ke akar-akarnya.
Andai saja pemerintah sigap layaknya ketika mengatasi bencana-bencana yang terjadi di Indonesia selama ini, tentu pengungsi Muslim Syiah Sampang sudah akan berada di kampung halamannya, saat ini.
Andai saja pemerintah sigap layaknya sewaktu mengatasi pencarian korban pesawat AirAsia yang mendapat pujian di seluruh dunia, tentu Pak Natu, Pak Iklil, Holis dan sejumlah pengungsi Muslim Syiah Sampang lainnya sudah akan tenang dan bahagia, berkumpul kembali dengan warga dan sanak saudara mereka di kampung halamannya.
Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko Widodo yang kami muliakan..
Kami, rakyat Indonesia telah menjadi saksi bahwa Bapak mampu mengambil langkah-langkah penting dan strategis yang didukung sepenuhnya oelh rakyat terkait sejumlah kasus sulit di negeri ini, mulai dari penetapan menteri, kesigapan penanganan terhadap korban bencana, konsistensi sikap membela kedaulatan negara dengan menolak permintaan bahkan tekanan. pemerintah asing atas eksekusi atau hukuman mati terpidana narkoba. Begitupun halnya dengan kasus kisruh antara KPK dengan Polri.
Dengan semua prestasi gemilang yang memerlukan kecermatan dan terlebih keberanian itu. Lalu masihkah Bapak Presiden bakal ciut nyali hanya untuk sekadar memulangkan Pengungsi Muslim Syiah Sampang ke tannah kelahiran mereka secepatnya?
Demikianlah surat terbuka dengan bahasa sederhana yang mampu kami kirimkan kepada Bapak Presiden yang mulia.
Akhir kata, ijinkanlah kami dan rakyat Indonesia menyaksikan pembuktian kalimat sakti yang pada Pilpres lalu sering kali Bapak gaungkan dan telah membuat kami terkagum-kagum tiada tara. Bahwa makna utama dari seorang pemimpin dan kepemimpinan sejati tak lain adalah KETEGASAN TANPA RAGU!
Wassalam,
Koordinator Krisis Center Sampang
DPP Ahlulbait Indonesia.
Ahmad Hidayat