Artikel
Bijak dan Cerdas Hadapi Tantangan Perubahan Iklim di Indonesia (2)
Data statistik dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang merujuk pada Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Bencana(UNISDR) menyebutkan bahwa untuk bencana tanah longsor, Indonesia menduduki peringkat pertama dari 165 negara, dengan jumlah korban manusia sebesar 197.327. Untuk banjir, Indonesia peringkat ke 6 dari 162 negara dengan jumlah 1.101.507 orang terkena dampaknya.
Rendahnya kualitas pengelolaan lingkungan dan pelanggaran tata-ruang wilayah/kota disertai ancaman perubahan iklim saat ini menjadikan wilayah/kota dalam tingkat yang rentan.
Suhu global yang meningkat setiap setengah derajat per tahun akibat perubahan iklim merupakan bencana dahsyat di dunia. Hal ini terus terjadi dengan cepat tanpa diimbangi upaya perbaikan alam yang konkret dan serius dari negara-negara maju sebagai negara penyumbang kerusakan iklim terbesar.
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi kecepatan dan kekuatan laju perubahan iklim global yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, berarti tidak pernah luput dari penanganan polusi karbon. Polusi yang dihasilkan industri juga menjadi salah satu penyebab perubahan iklim.
Saat ini, negara maju mengklaim tengah mengembangkan teknologi proses pembuangan dari industri yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Namun teknologi tinggi yang diupayakan dalam menangani perubahan iklim membutuhkan sumber daya yang tidak murah dan tidak mudah, itupun belum berpengaruh signifikan terhadap kerusakan alam yang terus terjadi akibat dampak perubahan iklim.
Ditambah lagi, faktor geopolitis dan kepentingan masing-masing negara, terutama negara maju seperti Amerika dan Eropa, belum memiliki satu kata mufakat yang tepat dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim meski Protokol Kyoto tentang penanganan dampak perubahan iklim sudah disahkan pada 2004.
Seperti diketahui sebelumnya, Protokol Kyoto dibuat sebagai wujud dari komitmen bersama dalam menjaga kestabilan konsentrasi Gas Rumah Kaca(GRK) di atmosfer. Hal ini untuk mencegah terjadinya dampak perubahan iklim.
Gas Rumah Kaca (seperti: CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS, dan SF6) dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil, mulai dari memasak sampai Pembangkit Listrik. Karena kegiatan tersebut sangat umum dilakukan manusia, maka seiring dengan meningkatnya populasi manusia, konsentrasi GRK meningkat. Akibatnya, semakin banyak sinar yang terperangkap di dalam bumi.
Perubahan iklim berubah secara perlahan tapi pasti. Suhu permukaan bumi pun memanas. Panas ini kita kenal sebagai pemanasan global.
Ide tentang penanganan kerusakan alam yang sudah digagas sejak tahun 1979, saat itu digelontorkan program yang dikukuhkan dan disepakati dalam bentuk perjanjian Internasional, yaitu United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut dan telah pula mengesahkannya melalui UU No.6 Tahun 1994. Mengingat lemahnya komitmen dan agar pelaksanaan konvensi lebih efektif, maka para Pihak (anggota) konvensi memandang perlu adanya komitmen lanjutan yang menekankan kewajiban negara industri menurunkan GRK yang diwujudkan dalam Protokol Kyoto.
Hasil dari Protokol Kyoto periode kedua yang diterapkan pada 2013-2020, diyakini banyak pihak juga tidak dapat membawa perubahan apa-apa. Kerusakan kerap terjadi, bahkan lebih parah. Data statistik yang disusun UNISDR menjelaskan hal itu.
Baru-baru ini pemerintah Indonesia mengirimkan wakilnya untuk mengikuti Konferensi Internasional tentang dampak perubahan iklim di Peru pada bulan Desember 2014. Pada bulan yang sama di Indonesia terjadi bencana tanah longsor di Banjarnegara yang menghilangkan banyak nyawa, tanah longsor di Bogor yang memakan korban jiwa dan bencana serupa di kota-kota lain di Nusantara.
Pertanyaannya, apakah kerusakan berakibat bencana sporadis dan beruntun itu terjadi secara alamiah atau karena faktor kelalaian manusia? (Ben/Yudhi)