Berita
Suka Duka Relawan Sanggar Pelangi
Minggu pagi, Tri Wahyuni (21) dengan bersemangat menuju sepetak penampungan setumpuk barang rongsokan. Ia bersama beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI) Depok mengawali Minggu pagi mereka di tengan kerumunan anak-anak Sanggar Pelangi.
Anak-anak penuh senyum, antusias menyambutnya di pemukiman pemulung 600 meter ke Utara kantor Kelurahan Rangkapan Jaya. Delapan bulan Sanggar Pelangi berdiri, Wahyuni dan kawan-kawan mengisinya di hari Minggu dengan belajar bersama anak-anak dari pemukiman pemulung.
Saat pertama kali sempat mengalami kebingungan tentang materi dan metode pembelajaran untuk guru-guru dan anak-anak Sanggar Pelangi, Wahyuni dan kawan-kawan berusaha mencari solusi dengan observasi ke Baitul Hikmah (rumah belajar untuk anak) mengikuti rekomendasi Pak Sulistyo (Alumni STAIMI). Serta dibantu oleh Kak Evi (Alumni STAIMI) yang mengajar di TK.
“Dari Baitul Hikmah, kita dapat metode. Lalu dari Kak Evi, kita dapat lagu dan bahan hiburan untuk anak,” ujar mahasiswi boarding semester 8 STAIMI yang sering disapa Yuni.
Sketsa Sanggar Pelangi
Setiap Minggu sejak Mei 2014, Sanggar Pelangi diramaikan dengan semangat belajar anak-anak dengan menyanyi, menari, ataupun bersorak. Padahal, ketika awal diisi, suasananya masih sepi. Dan ruang kelasnya dibagi-bagi untuk anak usia PAUD di ruangan 3×3 meter dan yang seumuran SD belajar di bawah pohon beralaskan tikar. Kini ruang belajar Sanggar Pelangi semakin luas dengan dibangunnya teras tambahan berkat bantuan Al-Hidayah School Kebayoran, Jakarta.
Pelbagai kegiatan dan karya telah meramaikan Sanggar Pelangi setiap hari Minggu dari pukul 09.00-12.00 WIB, 5 bidang pelajaran disampaikan; meliputi Kesehatan, Bahasa, Sains, Kesenian, dan prakarya potong kertas bertuliskan harapan yang diikat menghiasi atap sanggar.
Pada Minggu (5/1), Sanggar Pelangi mengadakan hajatan sosialisasi dan drama teaterikal mengangkat tema “Bersinar Sanggar Pelangi.” Dihadiri 80 orang terdiri dari orang tua para ‘siswa’, dan warga di sekitar kampung juga perwakilan dari staf STAIMI.
Dari yang Ogah-ogahan Hingga yang Ngompol
Yuni menceritakan, saat dua minggu awal pembelajaran di Sanggar Pelangi, ada satu anak yang tidak mau belajar di sanggar, maunya hanya bermain. Dia tidak ikut kegiatan belajar, hanya ikut menari dan tertawa. Suatu saat, si anak tak lagi berisik, dan hanya diam berdiri di pojokan Sanggar.
Ketika didekati, terlihat celana si anak sudah basah. Ternyata si anak sudah mengompol, basah hingga ke lantai. Saat ketahuan mengompol, teman-teman di Sanggar masih diam.
“Ngga ada bayangan, tapi tetap kondisinya harus berperan selayaknya orang tua,” tutur Yuni saat menceritakan pengalaman yang paling berkesan, ketika harus menghadapi persoalan di luar rencana pembelajaran semacam itu.
Yuni pun mengambil inisiatif mengantarkan pulang si anak. Karena si anak malu pulang sendirian,
“Aku gendong, lalu ke rumahnya mengambil celana. Besok jangan mengompol lagi ya, sebab kotor tralala gitu,”, ujar Yuni yang hobi menyanyi.
“Minggu berikutnya, si anak sudah mulai aktif ikut belajar meski masih tetap senang menyanyi tapi sudah tidak ngompol lagi.”
Seleksi Alam dan Masa Depan
“Awal-awal, memang jarang orang-orang memperhatikan ide kecil yang sederhana,” terang Yuni saat menceritakan respon awal dari lingkungan kampus STAIMI. Menurut Yuni, sebagian cuek dan sebagian lagi memberikan respon positif dengan berpartisipasi.
Menurut pandangan Yuni, hal itu wajar karena bisa jadi di awal orang lain perlu melihat kinerja dan kesungguhan para pencetus ide Sanggar Pelangi dalam melaksanakan kegiatan mereka.
Meski sempat mengalami penurunan partisipasi mahasiswa dari yang sebelumnya banyak menjadi sedikit, tapi menurut Yuni ini memang pilihan.
“Seperti seleksi alam gitu, ada yang bertahan ada yang berubah.”
Sanggar Pelangi kini memiliki 50 relawan pengajar hasil kolaborasi mahasiswa STAIMI dan Al-Hidayah School Kebayoran. Mereka dibagi ke dalam 4 tim, dengan saling bergiliran 1 tim mengajar di Sanggar setiap minggunya.
Yuni perpandangan bahwa apapun kondisinya, setiap anak punya kesempatan belajar. Tinggal kepedulian dari yang mampu untuk membantu.
“Semoga anak-anak dan guru-guru di Sanggar Pelangi tetap terus belajar dan bisa kompak baik di dalam maupun di luar,” harap Yuni yang lebih terinspirasi dari kisah nyata orang-orang yang bersemangat belajar dan berjuang dibanding menonton film dan novel yang fiktif.
Transformasi Perkuliahan ke Pengabdian Masyarakat
Menurut Fahmi Nuari (21) yang konsisten berpartisipasi, Sanggar Pelangi ada sebagai upaya mempraktikkan ilmu pendidikan dari bangku perkuliahan. Menurut Fahmi, seusai seseorang belajar pasti dituntut mengimplementasikan.
“Sanggar Pelangi itu upaya transformasi ilmu dari perkuliahan menuju keseharian,” ujar Ketua BEM STAIMI itu.
Bagi Fahmi antara guru dan anak didik di Sanggar Pelangi dapat saling belajar serta menginspirasi. Termasuk dalam penyampaian aspirasi selama proses Sanggar Pelangi beroperasi. Pembelajaran di Sanggar dapat dijadikan wahana demonstrasi, dari kampus belajar ilmu teori sedangkan di masyarakat menjadi praktisi.
Fahmi menganggap, semangat anak-anak itu akan semakin lengkap dengan dibantu guru-guru yang menginspirasi dan unik dalam menyampaikan materi seperti Yuni.
“Guru itu pasti berusaha menyesuaikan dengan anak-anak didiknya, dan Yuni adalah salah satu yang berhasil dan sering menginspirasi dalam mengemas materi agar bisa dimengerti.”
Fahmi berharap antusiasme anak-anak belajar bersama yang mewarnai Sanggar takkan pupus oleh keadaan.
“Saat anak-anak berebut menjawab pertanyaan, saling bercanda saat menunggu giliran, semoga itu bisa memancing semangat mereka untuk terus belajar.” (Sulton/Yudhi)