Berita
Sinergi Sipil dan Pemerintah, Modal Indonesia Toleran
Berbagai wakil agama dan keyakinan berkumpul dalam seminar dan temu komunitas iman yang digelar Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Jumat (23/1) di kantor Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Jakarta.
Dalam pertemuan yang dihadiri berbagai perwakilan antar iman ini, wakil dari tiap agama dan keyakinan menyampaikan keluh-kesahnya akan ketidakadilan yang mereka rasakan selama ini.
Mengubah Wajah Pemerintah yang Abai
Prof. Dr. Musdah Mulia, Ketua Harian ICRP yang kini sudah diganti oleh Ulil Abshar Abdalla sendiri tegas mengkritik pemerintah yang lalu karena mereka tak hanya abai, tapi justru menjadi bagian dari pelaku kekerasan terhadap kelompok minoritas.
“Negara bukan hanya tidak hadir melindungi, mereka justru dalam banyak kasus tersandera kelompok intoleran dan ikut menjadi pelaku kekerasan terhadap kelompok minoritas,” ujar Musdah.
Menanggapi kritikan keras ICRP ini, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin yang juga hadir di acara ini mengakui bahwa itu adalah PR bagi Kementerian Agama yang dipimpinnya.
“Kami mendengar keluhan ini. Bahwa Negara tidak hadir dalam konflik beragama, karena itulah kita sedang merancang UU Perlindungan Kebebasan Beragama yang ke depannya kita harapkan bisa memberikan landasan hukum yang kuat,” ujar Lukman. “Tentu kami berharap masukan dari semua pihak agar rancangan UU ini bisa lebih baik hasilnya.”
Mengomentari kedatangan Menteri Agama RI ini, Musdah mewakili ICRP merasa sangat senang. Ia merasa baru kali ini mereka merasa punya Menteri Agama. “Nah, baru kali ini kita merasa punya Menteri Agama, tidak seperti yang kemarin,” candanya, disambut tawa dan tepuk tangan hadirin.
Pesan Untuk Jokowi dan Mayoritas yang Diam
Melalui Menteri Agama, Musdah berharap pesannya kepada Presiden RI Joko Widodo agar Presiden tak hanya fokus pada kemajuan ekonomi saja, tapi juga harus menciptakan Indonesia yang toleran.
“Jokowi jangan hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi tapi juga harus mewaspadai adanya pertumbuhan intoleransi. Karena kemajuan ekonomi tak akan dinikmati bangsa ini jika bangsa dibelenggu intoleransi,” ujar Musdah.
“Tegakkan hukum bagi setiap pelaku kekerasan dan pulihkan hak-hak mereka sebagai korban. Kalau gak ada ketegasan, hukum itu tidak jalan,” tambah Musdah.
Musdah juga menekankan pentingnya mayoritas masyarakat yang diam itu bersuara. “Sebenarnya bangsa Indonesia ini masyarakat yang toleran, tapi sayangnya yang mayoritas itu silent. Kebanyakan orang memikirkan itu bukan masalah dia. Yang vokal juga gak banyak. Takut dikafirkan, dianggap salah,” keluh Musdah.
“Demi kebaikan bangsa ini. Jangan diam. Karena kalau diam itu dianggap sebagai gak ada masalah. Jadi kalau misalnya kita ketemu kelompok intoleran, mereka mengatakan, ‘Buktinya gak ada yang protes. Saya bakar masjid gak ada yang protes!’ Sehingga mereka menganggap diamnya masyarakat sebagai pembenaran dari perilaku kekerasan itu sendiri,” tekan Musdah. (Muhammad/Yudhi)