Berita
Ada Apa Di Balik Charlie Hebdo?
Penembakan terhadap awak redaksi Charlie Hebdo 7 Januari lalu di Paris yang mengakibatkan 12 orang tewas masih hangat dibicarakan. Masyarakat dunia terbelah dalam dua kelompok antara yang mengecam dan yang mendukung penembakan sadis ini.
Merespon peristiwa tersebut, Jaringan Islam Liberal (JIL), dalam diskusi bulanannya, Rabu (21/1) sengaja mengangkat tema “Charlie Hebdo dan Islam di Eropa.” JIL menghadirkan dua pembicara utama, Direktur Indo Strategi, Andar Nubowo dan satiris Pangeran Siahaan.
Andar dalam diskusi menyebutkan bahwa tragedi penembakan Charlie Hebdo ini tidak melulu dipicu oleh penistaan terhadap Nabi Muhammad dan paham radikalisme belaka, tapi juga bagian situasi politik dan krisis ekonomi yang sedang melanda Eropa.
“Krisis ekonomi dan sosial di Eropa memunculkan ‘generasi galau.’ Mereka yang melihat kegagalan dan borok demokrasi melihat Islam sebagai sebuah alternatif dan bisa menawarkan ketenangan spiritual,” terang Andar.
“Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk memengaruhi mereka melakukan aksi radikal dengan slogan-slogan kembali ke Quran dan Sunnah, menegakkan syariat dan sebagainya,” lanjut Andar.
“Dan isu seperti ini juga yang selalu digunakan oleh kelompok ultra nasionalis untuk mendulang dukungan suara.”
Paham Wahhabisme di Balik Tragedi Charlie Hebdo
Menanggapi paparan Andar, salah seorang peserta diskusi, Novriantoni Kahar menyebutkan dua faktor utama penyebab munculnya gerakan radikal ini, faktor yang konstan dan yang berubah-ubah.
“Faktor politik dan ekonomi itu bisa berubah-ubah, tapi menurut saya ada juga faktor yang konstan, yaitu faktor ideologi dan peradaban,” ujar Novriantoni. “Yaitu Saudi yang selama ini terus melakukan ekspansi faham Wahhabisme-nya, sebagai corak peradaban padang pasirnya yang radikal ini ke umat Islam di seluruh penjuru dunia, termasuk di Perancis.”
Mengenai karikatur penistaan sendiri, Pangeran Siahaan sebagai seorang satiris menyebutkan bahwa satir itu bebas, namun si pembuat satir harus bijaksana. Harus sadar bahwa ia tidak bebas dari impact satir yang dibuatnya.
“Lihat Guardian dan New York Times, mereka menampung Snowden juga ungkap Murdoch, atau kartun satir South Park yang amat satir yang ada scene Jesus dan Bill Clinton minum teh bareng, mereka menyensor satir tentang Nabi Muhammad,” ujar Pangeran. “Kenapa? Karena mereka tak bisa memprediksi backslah-nya bagi mereka.”
Zacharia Medjahed, seorang warga negara Perancis yang juga hadir dalam diskusi menyebutkan meski ia mengutuk penembakan, ia juga tidak menyetujui adanya karikatur penistaan seperti itu.
“Kekerasan itu gak betul. Tapi freedom of speech yang seperti itu juga tidak betul menurut saya,” ujar Zacharia, dengan bahasa Indonesia patah-patah. (Muhammad/Yudhi)