Berita
Lika-Liku Rintis Konservasi Alam Humanis
Indonesia terkenal memiliki kekayaan flora dan fauna yang melimpah dan mampu membuat iri dunia. Dari kuantitas hingga ragam flora dan faunanya amat kaya untuk dimanfaatkan. Maka di pundak kitalah kewajiban untuk menjaga dan melindunginya.
Dalam hal ini, posisi Taman-Taman Nasional di berbagai pelosok Nusantara yang dibangun oleh pemerintah, merupakan bagian dari semangat melindungi alam yang layak diapresiasi. Tetapi harus diakui, terlalu fokus pada konservasi alam belaka tetapi melupakan bahwa di situ juga ada manusia yang sejak lama hidup dan mencari penghidupan di dalamnya, sangat rentan menimbulkan konflik kemanusiaan.
Kasus penangkapan tiga orang nelayan di perairan pulau Handeuleum Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan tuduhan perusakan daerah konservasi, 3 Oktober 2014 lalu adalah contohnya. Hingga hari ini mereka masih meringkuk di tahanan, sembari menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten.
Kais Rejeki di Laut, Digelandang Polhut
Saat ABI Press menemui ketiga tersangka di Pengadilan Negeri Pandeglang, Selasa , saat menjalani persidangan, Misdan, Damo dan Rahmat, dari balik jeruji ruang tahanan sementara menceritakan bagaimana mereka ditangkap Polisi Hutan (Polhut) Balai Taman Nasional Ujung Kulon.
“Ceritanya mau Lebaran Haji…, mau beli-beli gak punya uang, terpaksa ke laut cari ikan buat Lebaran,” tutur lelaki paruh baya yang sudah memiliki empat anak dan istrinya sedang hamil 5 bulan ini.
“Kita dapetnya 23 kepiting, 4 lobster dan sisanya ikan sekitar 5 kilo,” ujar Misdan. “Lalu kita minggir ke pantai untuk istirahat. Sekitar jam 11 sedang masak Kerang Totok untuk dimakan, Polhut datang.”
Saat ditangkap dengan tuduhan memasuki wilayah konservasi dan merusak alam oleh Polhut, ketiga nelayan yang hanya memakai peralatan sederhana berupa jaring insang dan panah bawah air dari kayu ini tak sendirian. Menurut pengakuan Misdan dan Rahmat, banyak kapal nelayan lain yang juga sedang melaut menangkap ikan. Tak hanya kapal kecil berukuran 1 x 9 meter seperti yang mereka pakai, tapi juga kapal besar berukuran 3 x 12 meter yang mampu memuat 3 ton ikan pun banyak mengambil ikan di sekitar kawasan itu.
“Saya debat, kenapa cuma saya aja yang dibawa, di situ banyak nelayan. Orang Labuan, Panembang juga ambil ikan di sini. Padahal jarak ke sini 7 jam perjalanan. Ada juga yang dari Lampung, bahkan ada yang pake bom, tapi gak ditangkap,” ujar Misdan.
“Polhut menyita lobster dan kepiting sebagai barang bukti di pengadilan. Tapi ikan 5 kilogram yang kita tangkap dimakan semua sama mereka di perahu saat kita dibawa ke Polsek,” keluh Rahmat. “Mereka ngajak saya ikut makan, nggak, kata saya.”
Hukum Timpang Adili Rakyat Cari Makan
Misdan menceritakan tiap hari nelayan-nelayan ini ada di lokasi ia ditangkap, termasuk yang menggunakan bom. ABI Press sendiri ketika menyusuri TKP di tengah laut dekat pulau Handeuleum melihat ada belasan perahu nelayan dari yang besar dan kecil sedang mencari ikan. Termasuk tiga kapal pengebom. Bahkan ABI Press saat berbincang dengan nelayan yang sedang beristirahat di bibir pantai menyaksikan sendiri salah satu kapal itu meledakkan bomnya di tengah laut. Posisi mereka tepat berhadapan dengan pos Polhut di tepi pantai. Anehnya, meski mereka jelas-jelas melakukan pengeboman, tak ada tindakan apa-apa dari Polhut.
“Tiap hari mereka melakukan pengeboman di sini. Itu perahu dari Lampung. Kalau sedang rame sampe 10 perahu ngebom biar dapet ikan. Tapi gak ditangkep ama Polhut. Padahal jelas-jelas merusak karang laut,” ujar Suhantar Rubianto, nelayan setempat yang membawa kami ke tengah laut.
“Mereka mah beraninya ama nelayan kecil. Coba kalo kapal besar ato yang ngebom ikan, gak berani ditangkep,” tambah Suhantar.
Saat ABI Press berupaya mengkonfirmasi ke BTNUK Seksi Pengelolaan Taman Wilayah II Pulau Handeuleum, ABI Press hanya bertemu dengan dua petugas Polhut. Kepala Balai TNUK tidak ada di tempat. Salah seorang bernama Lilik menyebutkan tak ada orang di kantor. Menurutnya, sedang ada mutasi besar-besaran, termasuk Kepala Balai yang juga diganti.
“Memang ada yang suka ngebom di sini,” aku Lilik, salah seorang Polhut yang mengaku dirinya baru seminggu dipindahkan di sini. “Mereka kan bersenjata. Kita tidak berani tangkap sendiri, menunggu operasi gabungan dari TNI,” ujarnya.
Merasakan ketidakadilan ini, tak heran warga setempat yang merasakan solidaritas terhadap saudaranya mendemo polisi dan pengadilan. Kamirudin, Kepala Desa Ujung Jaya yang selalu mendampingi warganya saat diproses di pengadilan pun amat menyesalkan ketimpangan hukum ini.
“Kalau masalahnya tapal batas, kita sama sekali tak tahu mana tapal batasnya, tak ada rambu-rambu, juga tak pernah ada sosialisai ke masyarakat sama sekali,” keluh Kamirudin.
“Saya merasa sakit hati denger warga saya ditangkap, Pak. Mereka kan nangkap ikan cuma untuk perut saja. Cuma berapa kilo sih? Gak bisa bikin kaya. Kalo untuk memperkaya diri, harus ton-tonan nangkapnya,” tambah Kamirudin. “Mereka juga tidak merusak alam.”
Juminah, istri Damo, salah satu nelayan yang ditahan pun mengaku sangat sedih suaminya ditahan. “Ya, bingung ya? Anak-anak minta uang, tapi bapaknya yang biasa cari uang ditahan. Rumah juga bocor, biasanya yang menambal Bapak, tapi enggak ada,” keluh Juminah yang saat ABI Press temui sedang hamil 5 bulan.
Juminah tentu tidak sendirian, istri Rahmat dan Misdan yang juga sedang hamil itu pun merasakan hal yang sama.
Merintis Konservasi Alam yang Humanis
Melihat data yang ada, saksi ahli yang diajukan LBH Jakarta, Dedi Supriadi Adhuri Ph. D, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, menengarai konflik ini lahir dari tak adanya transparansi dan keterlibatan masyarakat oleh pemerintah.
“Saya melihat ini terjadi karena tak adanya fleksibilitas pada pengelolaan taman mau pun tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam disain pengelolaan taman,” tutur Dedi. “Di dunia tren ini sudah sejak 80-an berlangsung. Balai Ujung Kulon sepertinya terlambat mengikuti tren ini.”
“Kalau ada sosialisasi, seperti di Karimunjawa, justru masyarakat sendiri yang ikut menjaga, misalnya mengusir orang bawa bom, terlibat dalam memadamkan kebakaran hutan, mereka juga punya istilah khusus yang dipakai oleh zona inti. Itu artinya mereka sudah menginternalisasi dan memasukkan zona inti itu dalam pengaturan adat mereka,” papar Dedi. “Contoh lain juga ada di Gilimatra dan Gilitrawangan di Kupang.”
Dr. Soeryo Adiwibowo, pakar ahli dari Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) juga menyampaikan hal yang sama. Bahwa upaya konservasi alam tak boleh melupakan manusianya. Mesti ada dialog dan kesepakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat setempat.
“Dalam mengurai konflik, penting sekali untuk tak hanya melihat laut atau alamnya tapi juga manusianya. Apalagi kalau masyarakat itu sudah lama. Sebelum Taman Nasional dikukuhkan mereka sudah ada di situ. Kalau dianggap mereka tidak ada apalagi dianggap ancaman kan gak “di uwong-ke” (dimanusiakan). Sehingga terjadilah konflik,” tutur Soeryo.
Kamirudin, Kepala Desa Ujung Jaya yang warganya dikriminalkan ini pun mengaku siap jika BTNUK bersikap terbuka, mengadakan sosialisasi yang jelas ke masyarakat. Ia yakin, warga juga siap ikut menjaga alam bersama-sama.
Selamatkan Alam, Manusiakan Manusia
Hendra Supriatna, Koordinator Tim Advokasi LBH Jakarta yang mewakili Tim Advokasi Rakyat Ujung Kulon (TARUNG) saat ABI Press wawancarai juga menyebutkan bahwa pihak TNUK harus mengubah mindset bahwa warga setempat adalah musuh alam dan perusak semata.
“TNUK masih menganggap manusia (warga) sebagai predator. Mindset ini harus diubah. Bahkan masyarakat itu harus dilibatkan,” tuntut Hendra. “Ini kan konsep konservasi alam yang kuno, yang sudah ketinggalan jaman.”
“Karena mindset yang salah itulah, di sana itu ada kemiskinan struktural. Karena kebijakan yang tidak adil, masyarakat miskin. Inilah yang harus diperhatikan,” lanjut Hendra.
Manusia dan alam tak bisa dipisahkan. Melindungi ekosistem alam tentu adalah keharusan, tapi di saat yang sama manusianya juga jangan sampai diabaikan. Justru dengan kolaborasi yang baik antara alam dan manusialah, alam akan tetap terjaga. (Muhammad/Yudhi)