Berita
Travel Warning AS dan Australia Terkait Ancaman ISIS di Indonesia
Setelah tragedi pesawat AirAsia QZ8501 pada 28 Desember 2014, beberapa minggu kemudian tepatnya 3 Januari 2015, Indonesia tiba-tiba dikejutkan keluarnya travel waring pemerintah Amerika bagi warga AS yang ada di Indonesia, termasuk juga aset-aset AS yang ada di Surabaya dari ancaman aksi serangan terorisme.
Tak lama berselang kejutan kedua pun terjadi, seolah mengamini apa yang Amerika lakukan, Australia yang warganya pernah menjadi korban terbanyak dalam tragedi Bom Bali, tiga hari kemudian juga mengeluarkan travel warning bagi warganya yang akan bepergian ke Indonesia, terutama yang berkunjung ke pulau Bali.
Setelah travel warning dari Amerika dan Australia itu, terjadi aksi teror di Paris Perancis, pada tanggal 7 Januari 2015. Tiga orang teroris menyerang kantor majalah Charlie Hebdo dan menewaskan 17 orang termasuk 2 orang polisi yang berjaga di kantor majalah satir tersebut.
Sejauh mana kemungkinan teror oleh ISIS di Indonesia?
Travel Warning
Mungkin tak berlebihan jika Amerika dan Australia mengeluarkan travel warning terhadap warganya yang akan berkunjung ke Indonesia sebab deklarasi dukungan terhadap ISIS pada tahun lalu cukup gencar dilakukan di sejumlah wiayah di Indonesia. Tak hanya itu, dukungan terhadap ISIS di Indonesia juga sangat masif dilancarkan di media-media sosial baik di Facebook, Twitter dan sejenisnya.
Apalagi travel warning tersebut dikeluarkan tidak lama setelah ancaman salah seorang anggota ISIS dari Indonesia bernama Salim Mubarok Attamimi yang beredar di sejumlah medsos. Dalam video berdurasi kurang lebih 4 menit tersebut Salim yang berasal dari Bangil dan tinggal di Malang, mengancam aparat kepolisian, pihak militer dan juga Banser NU dengan mengatakan bahwa ISIS akan datang ke Indonesia.
Hal tersebutlah yang menurut Ali Fauzi, mantan kombatan Afghanistan, Moro, Ambon dan juga sekaligus adik dari Ali Imron terpidana mati kasus Bom Bali, menjadi alasan bagi Amerika dan Australia untuk mengeluarkan travel warning bagi warganya beserta aset-aset mereka yang berada di Surabaya.
“Itu karena video Salim Mubarok yang mengancam akan melakukan serangan, makanya Amerika dan Australia mengeluarkan travel warning,” terang Ali Fauzi kepada ABI Press melalui sambungan telepon.
Ali Fauzi juga menyatakan bahwa bisa jadi travel warning ini adalah bentuk pengamanan aset-aset Amerika dan Australia di Indonesia, sehingga mereka yang akan melakukan teror tidak jadi melakukannya akibat telah adanya travel warning dari dua negara tersebut. Namun Ali Fauzi juga membuka kemungkinan bahwa travel warning ini adalah bentuk dikte Amerika dan Australia kepada kepolisian Indonesia.
“Ini bentuk dikte Amerika terhadap kepolisian Indonesia, saya yakin Polri lebih tahu,” tegas Ali Fauzi.
Selain itu, Ali Fauzi juga menjelaskan bahwa Salim Mubarok tidak akan kembali lagi ke Indonesia. Alasannya menurut dia adalah karena Salim Mubarok telah membawa serta keluarganya bersamanya ke Irak atau Suriah. Di dalam jaringan para kombatan sendiri tersiar bahwa mereka yang telah terang-terangan melakukan ancaman dalam video yang dirilis tanpa menggunakan penutup muka, maka besar kemungkinan mereka tidak akan kembali lagi ke Indonesia.
Terkait travel warning ini, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), M. Nasser mengungkapkan bahwa hal itu adalah kebijakan dari pemerintahan Amerika dan Australia. Sebab kebijakan travel warning dari kedua negara tersebut mungkin saja berasal dari data-data intelijen mereka.
“Itu masalah teknis ya, mungkin saja itu berasal dari data intelijen mereka, kita tidak tahu juga apa dasarnya,” terang M. Nasser kepada ABI Press.
ISIS Indonesia
Terkait sejauh mana ISIS menjadi ancaman bagi Indonesia, Ali Fauzi menegaskan bahwa hingga saat ini ISIS belum menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Alasannya menurut Ali Fauzi adalah mereka yang saat ini bergabung atau mendukung ISIS di Indonesia adalah orang-orang yang belum berpengalaman dan tidak memiliki keahlian bertempur memadai seperti halnya para veteran kombatan.
Sebab anggota ISIS yang ada di Indonesia tidak pernah mendapatkan pelatihan khusus, seperti halnya para veteran Afghanistan atau Moro. ISIS di Indonesia merupakan kelompok baru yang baru mengenal jihad dan kemudian mengaplikasikannya dengan sembarangan, sedangkan mereka tidak memiliki kemampuan simulasi perang dan juga pemboman.
“Anggota ISIS yang ada di Indonesia, kemampuan militernya itu nol,” tegas Ali Fauzi.
M. Nasser selaku anggota Kompolnas, menyikapi fenomena ISIS di Indonesia, menyorotinya dalam dua hal yang perlu disadari dalam menghadapi radikalisme ISIS ini. Pertama, agama Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, jadi bila ada yang memaknai bahwa jihad itu hanya dengan pedang, itu sudah menyalahi kodrat Islam sendiri.
Yang kedua, Indonesia adalah negara hukum yang memiliki aturan-aturan, sehingga ketika ada pemaksaan kehendak oleh sekelompok orang maka harus ditindak sebab hal tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Harus ada keberanian pemerintah, dalam hal ini kepolisian untuk melawannya,” tegas M. Nasser.
Inspirasi Kelompok Abu Jandal
Salim Mubarok Attamimi yang menghebohkan dengan video ancamannya terhadap Indonesia dikenal juga dengan julukan Abu Jandal Al Yamani Al Indunisi. Nama Abu Jandal itu bukan dipakai tanpa alasan. Nama tersebut diambil dari salah satu nama sahabat Nabi, Abu Jandal bin Suhail bin Amr.
Abu Jandal terhalang bergabung dengan Nabi dalam hijrahnya dari Mekkah ke Madinah akibat dari perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslimin dengan pihak kafir Quraisy. Pada akhirnya Abu Jandal bergabung dengan kelompok Abu Bashir, salah seorang sahabat yang juga terhalang untuk bergabung bersama Nabi di Madinah. Kemudian mereka membuat sebuah kamp di pantai Laut Merah dan membuat pasukan untuk merampok harta kaum kafir Quraisy yang mau pergi ke Suriah.
Hal ini merupakan salah satu inspirasi bagi anggota ISIS yang berada di luar Irak dan Suriah yang tidak bisa bergabung ke Irak dan Suriah untuk melakukan perjuangan dengan tujuan yang sama di negara masing-masing, tak terkecuali juga di Indonesia.
Jadi, kisah Abu Jandal ini dapat terus mengobarkan semangat anggota ISIS yang ada di sejumlah negara untuk mewujudkan impian mereka bersama, yaitu terbentuknya negara Islam di bawah pimpinan Abu Bakar al Baghdady, walaupun mereka tidak dapat bergabung dengan ISIS yang berada di Irak dan Suriah.
“Mereka berharap orang-orang yang tidak bisa pergi ke Suriah dan tidak bisa pergi ke Irak membuat aksi yang sama di Indonesia seperti aksinya Abu Jandal itu,” tegas Ali Fauzi.
Rekomendasi Untuk Pemerintah
Dengan kondisi ISIS Indonesia yang masih amatir dalam hal keahlian menggunakan senjata maupun merakit bom, maka Ali Fauzi menyarankan agar pihak pemerintah atau kepolisian untuk mendekati para veteran kombatan agar tidak bergabung dengan ISIS. Agar para veteran kombatan yang telah terlatih itu tidak mentransformasi keahliannya kepada anggota ISIS di Indonesia.
“Makanya langkah yang paling tepat bagaimana pemerintah itu kemudian mendekati beberapa veteran Afghanistan dan Moro, agar jangan sampai transformasi itu terjadi,” terang Ali Fauzi.
Sementara M. Nasser dari pihak Kompolnas mengingatkan bahwa negara harus hadir untuk melindungi kepentingan warganegara dari berbagai hal seperti halnya kejahatan-kejahatan terselubung, kejahatan-kejahatan ekonomi bahkan termasuk kejahatan radikalisme seperti kelompok ISIS.
“Rekomendasi Kompolnas adalah atasi, kalau mereka bersenjata, hadapi dengan senjata,” tegas M. Nasser.
Negara Pengirim Anggota ISIS ke Irak dan Suriah
Institute of Peace and Conflict Studies (IPCS) dalam laman webnya mencatat bahwa ada sekitar 3000-4000 orang dari Asia Tengah yang bergabung dengan para teroris di Irak dan Suriah. Mereka antara lain berasal dari negara Kazakhstan sekitar 250 orang, Kyrgyzstan sekitar 100 orang, Tajikistan sekitar 190 orang dan Turkmenistan sekitar 360 orang.
Sementara itu masih menurut IPCS, di Asia Tenggara sendiri terdapat 12.000 orang yang telah berangkat ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan kelompok teroris yang berada di sana. Sedangkan menurut Asianpasificpost terdapat 200 warga Australia, 30 warga Malaysia dan sekitar 500 warga Indonesia yang telah berangkat ke Irak dan Suriah.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan warganegara Indonesia yang telah bergabung dengan kelompok teroris di Irak dan Suriah pada November tahun lalu berjumlah 300 orang dan jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah.
Jumlah di Asia, baik Asia Tengah maupun Asia Tenggara tak sebanyak dengan jumlah mereka yang bergabung dengan kelompok-kelompok teroris dari Eropa yang terus saja meningkat dari 1.929 menjadi 2.580 jumlahnya dalam setahun terakhir menurut catatan IPCS. Perancis memegang peringkat tertinggi dengan jumlah 700 orang, meningkat 69,9 persen dari catatan akhir Desember 2013.
Tabel jumlah warga Eropa yang berangkat ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan kelompok teroris pada Desember 2013 dibanding pada November 2014 adalah sebagai berikut.
Sumber: Quilliam Foundation/The International Centre for the Study of Radicalization and Political Violence.
Dari Amerika terdapat lebih dari 100 orang telah bergabung dengan ISIS. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh juru bicara Pentagon Kol. Steve Warren yang dikutip oleh laman website mcclatchyd. Bahkan yang lebih mengejutkan di laman itu juga disebutkan bahwa intelijen Amerika sendiri menyebutkan lebih dari 300 orang warga Amerika yang telah bergabung dengan ISIS.
Dengan data-data tersebut di atas, tentu saja travel warning dari Amerika dan Australia seharusnya bukan ditujukan kepada Indonesia. Jika mau berlaku adil, travel warning tersebut seharusnya ditujukan juga bagi 80 negara lain yang juga dianggap sebagai pensuplai anggota ISIS ke Irak dan Suriah.
Mungkinkah travel warning terkait serangan ISIS akan Amerika dan Australia keluarkan untuk Eropa? Sementara kedua negara yang mengeluarkan travel warning untuk Indonesia itu juga pensuplai anggota ISIS ke Irak dan Suriah? (Lutfi/Yudhi)