Berita
Menanti Putusan Gugatan Swastanisasi Air di Jakarta
“Piye kabare? Isih penak jamanku to?” Kalimat itu mungkin tidak asing lagi bagi sebagian orang. Bagi yang tahu, tentu ingatannya akan tertuju pada sosok Soeharto, mantan Presiden RI yang menjabat lebih dari 30 tahun itu.
Kalimat yang biasanya ada di stiker itu mungkin hanya sebagai sindiran terhadap kondisi pemerintahan sekarang. Namun, berbagai masalah yang terjadi di era pemerintahan Soeharto sendiri pun juga diwariskan hingga saat ini.
Tidak semua “warisan buruk” rezim Soeharto diketahui masyarakat luas. Salah satu contoh misalnya kerjasama dengan perusahaan Asing di bidang pengelolaan air di Jakarta. Hal itulah yang mendorong terjadinya gugatan warganegara yang dimulai sejak dua tahun lalu. LBH Jakarta merupakan salah satu lembaga yang ikut andil di dalamnya.
Atas tekanan Bank Dunia (IMF) Soeharto menjalin kerjasama selama 25 tahun, sejak tahun 1997 hingga 2022. “Hingga tahun 2011 saja, Pam Jaya (PDAM) sudah membukukan akumulasi kerugian hingga 1,2 Triliun,” kata Arif Maulana salah satu pengacara publik LBH Jakarta dalam sebuah diskusi (7/1). Arif menuturkan kerugian itu timbul akibat PDAM harus membeli air kepada perusahaan asing lebih mahal dari harga jual yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Ada dua perusahaan asing yang menguasai air di Jakarta; di bagian Timur perusahaan dari Inggris (PT Aetra) dan bagian Barat dari Perancis (PT Palyja). “Diperkirakan tahun 2022 kerugian negara akan mencapai 18,2 Triliun,” tambah Arif.
Kenapa Pam Jaya harus membeli air kepada dua perusahaan asing tersebut?
Arif menjelaskan bahwasanya Pam Jaya yang mewakili pemerintah sudah tidak menguasai aset dan tidak bisa memproduksi air sendiri. Itu yang merupakan salah satu faktor pendorong digugatnya swastanisasi air agar kembali dikelola negara. Menurut Arif, kerjasama “tertutup” itulah yang menguntungkan pihak asing dan merugikan negara. “Pihak asing datang begitu saja, tanpa modal yang jelas dan menggunakan infrastruktur Pam Jaya yang sudah ada sebelumnya dalam mengelola air di Jakarta, lalu mereka menjual ke Pam Jaya yang kemudian disalurkan ke masyarakat,” tambah Arif. Dengan kata lain, Pam Jaya sudah tidak memiliki kewenangan lagi selain membeli air dengan harga mahal lalu dijual dengan harga murah. Hutang merupakan jalan satu-satunya guna menutupi kerugian itu. “Pada akhirnya, uang pajak rakyat melalui APBD atau APBN akan digunakan untuk membayar itu,” imbuhnya.
Kenapa pemerintah tidak memutus kerjasama itu?
Ancaman pemutusan kontrak menyatakan jika salah satu pihak memutus kerjasama diwajibkan membayar kompensasi 2 hingga 6 Triliun. “Juga kemungkinan adanya gugatan arbitrase internasional,” tambah Arif. Hal itulah yang mungkin menjadi salah satu faktor pemerintah tidak memutuskan hubungan kontrak itu.
“Jika ini tidak dibuka, akan berdampak semua sektor bisa diswastanisasi, dan kerugian negara akan lebih besar,” ungkap Arif.
Kerugian lain atas kerjasama ini adalah tingkat kualitas air di Jakarta terbilang buruk dan harga paling mahal jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Bahkan menurut data yang dirilis, harga air PDAM di Jakarta paling tinggi angkanya mencapai dua hingga tiga kali lipat dibanding kota-kota lain di Indonesia.
Sidang gugatan yang berlangsung selama dua tahun lalu ini pun telah mencapai puncak dan tinggal menunggu putusan persidangan. “Putusannya tanggal 13 Januari nanti,” kata Arif.
Menurutnya, sekarang adalah waktu-waktu yang sangat dibutuhkan pengawalan ketat atas putusan tersebut agar tidak ada intervensi pihak-pihak lain yang tak diinginkan.
Sementara itu, pihak LBH dan jaringan yang peduli dengan swastanisasi ini terus melakukan kampanye untuk menyadarkan masyarakat dan menggalang dukungan. Salah satu rencana kampanye berikutnya adalah Aksi Mogok Mandi pada 10 Januari nanti, dan Aksi Mandi Bareng pada 11 Januari di Bundaran Hotel Indonesia. (Malik/Yudhi)