Berita
“Nebang”
Garut, merupakan salah satu nama kota kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Selain terkenal pemandangannya yang indah karena letaknya di dataran tinggi dan banyak pegunungan, Garut juga terkenal dengan produk khasnya yaitu jaket kulit, dan dodol Garut. Di bidang wisata, Garut juga memiliki banyak tempat pariwisata alam. Namun, di tengah keindahan alam dan terkenalnya produk-produk yang dihasilkan, Garut sempat memiliki masalah dalam hubungan toleransi beragama. Hal ini yang semestinya juga harus diketahui masyarakat di luar Garut, sebagai bahan pembelajaran.
“Pada tahun 1985 hingga 1996-an, ada istilah popular namanya ‘Nebang’ yang dalam bahasa lain berarti menjatuhkan. Seperti nebang pohon, yang artinya menjatuhkan pohon. Namun Nebang di sini adalah Nebang orang. Maksudnya menjatuhkan (keyakinan, argumentasi, pendapat orang lain dengan berdebat),” kata Andi, salah satu warga Garut yang kini tinggal di kecamatan Malangbong.
Siapa yang Nebang dan siapa yang ditebang?
Kepada ABI Press, Andi menjelaskan awal mula munculnya istilah Nebang. Menurutnya itu adalah sebuah fenomena sosial (euforia) saat awal-awal masuknya Muslim bermazhab Syiah ke kota itu. “Mereka yang kemudian mengaku-ngaku sebagai orang Syiah banyak yang Nebang orang lain; mendatangi tokoh masyarakat, pesantren-pesantren untuk didebat, entah masalah fikih, sejarah dan sebagainya. Dengan merasa diri paling benar, orang yang didebat lalu di-Tebang (dijatuhkan) argumentasinya,” tutur Andi. “Padahal cara-cara seperti itu tidak dibenarkan dalam agama bahkan dalam ajaran Syiah sendiri,” tambahnya.
Hal itu yang menurutnya menjadi pemicu ketidakharmonisan masyarakat, khususnya antar umat Islam di sana. Tak heran jika konflik pun sering terjadi. “Namun sekarang, dengan tingkat kesadaran masyarakat yang lebih baik, ditambah lagi hadirnya banyak mubalig lulusan Iran yang memberi pencerahan dan cara dakwah yang baik, Nebang pun mulai berkurang, meski kadang masih ada di beberapa tempat,” tambah Andi.
“Sekarang sudah mulai berubah di Malangbong. Bahkan kita mengisi dengan hal-hal positif yang dapat mempererat hubungan silaturahmi, seperti adanya Perduli Masjid Ahlulbait Indonesia (Permabi), pengobatan gratis, peringatan Maulid Nabi bersama dan kegiatan sosial lainnya,” tambah Andi.
“Namun beberapa waktu lalu ada Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) yang juga memanfaatkan situasi Nebang ini, isu lama dimunculkan sebagai bahan untuk menjatuhkan orang Syiah,” pungkas Andi.
Sementara itu di wilayah Garut lainnya, ABI Press terhubung dengan Rahmat. Ia adalah warga asli Garut yang saat ini menjabat sebagai ketua DPC ABI kecamatan Garut Kota. Menurutnya Nebang ini adalah cara yang salah dalam berdakwah, walaupun banyak orang masuk Syiah dari hasil Nebang. “Sebab dengan caranya ia memaksakan argumen sendiri untuk menjatuhkan argumen lawan,” tuturnya.
“Menurut saya, terus terang ini fenomena yang mewabah di Garut. Yang cukup digemari bahkan sampai saat ini. Sampai hari ini masih ada yang melakukan walau sedikit. Ini tidak benar dalam berdakwah. Kurang baik. Karena cara seperti itu berpotensi mengundang perpecahan dan gesekan,” kata Rahmat.
Karena di Garut, sebagian besar pemeluk Syiah adalah hasil Nebang, Rahmat menilai hal itu yang kemudian menjadikan Nebang sebagai sebuah karakter dan budaya yang terlestarikan.
“Inilah makanya yang memunculkan penyakit sosial di masyarakat yang pada akhirnya lambat laun saya khawatir akan menimbulkan situasi yang merugikan,” tambahnya.
“Proses Nebang itu harus kita hentikan! Kalau mau berdakwah tunjukkan bahwa kita sebagai orang terbaik di lingkungan, paling santun dan menghargai sesama,” tegas Rahmat.
Sebab menurut Rahmat, sejak kejadian-kejadian Nebang, muncul berbagai sikap fanatisme dan insiden-insiden. “Bahkan sampai ada kasus yang sampai ditangani oleh kepolisian,” kata Rahmat.
“Berawal dari orang-orang yang mengaku Syiah, mendatangi tokoh masyarakat, pesantren-pesantren dan mendebat mereka untuk ditumbangkan keyakinannya.”
“Hal itu juga yang kemudian memunculkan banyak opini di tengah masyarakat terutama dalam memandang Muslim Syiah secara keseluruhan. “Yang terakhir terjadi adalah Deklarasi Anti Syiah. Mereka mengklaim deklarasi itu terbesar di Jawa Barat. Mengalahkan deklarasi serupa di Bandung. Mereka mengklaim ada 2000 tokoh masyarakat, 164 pimpinan Ormas dan pondok pesantren mendukung deklarasi itu. Mereka juga menggunakan isu Nebang dalam aksinya. Walaupun saya tidak yakin akan jumlah itu, namun hal ini merupakan suatu yang harus diwaspadai karena ini hanyalah kesalahpahaman saja,” tutur Rahmat.
“Saya sampai pada kesimpulan mereka (orang-orang yang gemar Nebang) itu adalah takfiri dalam tubuh Syiah yang notabene bukan mewakili Syiah. Sebagaimana juga ada di kelompok lain. Takfiri di tubuh Muslim Sunni yang sebenarnya tidak dianggap sebagai orang Sunni. Hal tersebut hanya muncul dari sikap ekstremisme golongan.”
“Saya berharap Muslim Syiah dimanapun berada lebih memperbanyak hubungan silaturahmi kepada tokoh masyarakat setempat dengan mengisi kegiatan-kegiatan sosial, jangan ikut-ikutan terpancing memaksakan aksi Nebang orang lain,” tambah Rahmat
“Bagi Muslim di luar Garut, saya berharap cara-cara berdakwah seperti ini jangan diulangi, hal itu dapat memperburuk hubungan antara umat beragama,” pungkas Rahmat.
Bagaimana Syiah memandang fenomena itu?
Di dalam buku Syiah Menurut Syiah (SMS) yang diterbitkan oleh tim penulis Ahlulbait Indonesia (ABI), juga menyebutkan bahwa ekstremitas dalam keyakinan mampu berproses menuju ekstremitas sikap dan gaya hidup. “Ekstremitas sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam penafsiran terhadap doktrin agama.” (Buku SMS hal: 233)
Ekstremitas tidak hanya terdapat dalam suatu kelompok tertentu melainkan di pelbagai tempat, agama, mazhab dan sebagainya. Seperti halnya disebutkan di atas bahwasanya ekstremitas dalam tubuh Syiah tidak serta-merta mewakili Syiah, bahkan dianggap bukan Syiah. Hal yang sama juga berlaku dalam semua kelompok.
Di bagian lain dalam buku SMS menyebutkan bahwa “Kebanyakan orang mengukur keyakinan dari perilaku penganutnya.” (Hal: 7) Padahal keyakinan tidak dapat diukur oleh perilaku. Sebab itu, terkait hal ini di bagian lain dalam buku yang sama juga dijelaskan dalam bahasan tentang “Konsep dan Realitas” (Hal:11).
Untuk menilai apakah yang terjadi di Garut yang disebut dengan istilah “Nebang” itu dilakukan oleh orang-orang Syiah, setidaknya dapat dinilai melalui konsep ajarannya. Apakah ajaran Syiah mengajarkan hal demikian? Faktanya, baik Rahmat maupun Rustandi beranggapan sebaliknya. Hal tersebut tidak mewakili Syiah dalam konsep yang sebenarnya.
“Setiap orang bisa saja mengaku Syiah atau Ahlus Sunnah padahal tidak sama sekali mencerminkan Syiah atau Ahlus Sunnah. Imam Ali pernah berkata, “I’rif al-haqq, ta’rif ahlah, kenalilah kebenaran, niscaya kau bakal mengenali penganutnya.” (Hal: 8). (Malik/Yudhi)