Berita
Gus Dur dan Papua, Dua Fenomena Luar Biasa
Saat masih banyak masyarakat Indonesia lain sedang menikmati libur tahun baru 2015, tidak demikian halnya dengan GUSDURian. Jumat (2/15) malam mereka justru memulai aktivitasnya dengan melaksanakan Forum Jumatan GUSDURian yang pada malam itu mengambil tema “ Gus Dur dan Papua.”
Topik tentang Papua sudah kedua kalinya diangkat GUSDURian. Acara awal tahun itu sengaja digelar untuk menghormati momen khusus pergantian nama Irian Jaya ke Papua, tepatnya pada 1 Januari 2000 silam, yang diprakarsai oleh Gus Dur.
Koordinator Nasional GUSDURian, Alissa Qotrunnada Munawarah atau biasa disapa Alissa Wahid menuturkan bahwa nilai-nilai Gus Dur berangkat dari nilai ketauhidannya sebagai seorang Muslim yang harus menegakkan Islam rahmatan lil ‘alamin, yang kemudian diwujudkan untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, pembebasan dari penindasan dan persaudaraan.
“Karena itu kemudian pendekatan Gus Dur dalam isu Papua juga didasarkan pada nilai-nilai tersebut,” ujar Alissa.
Sementara itu, Taha Al Hamid, Sekjen Dewan Presidium Papua yang sekaligus sahabat Gus Dur bercerita bagaimana kesan-kesan beliau terhadap Gus Dur dan bagaimana Gus Dur memanusiakan warga Papua. Sebab setelah lebih dari 40 tahun bersama dengan Indonesia, Jakarta gagal “meng-Indonesia-kan” orang Papua.
“Tapi mereka sangat sukses mengindonesiakan emas Papua, hutan Papua, minyak, gas dan seterusnya,” tegas Taha. “Namun kebijakan-kebijakan Gus Dur terhadap Papua, membuktikan hanya Gus Dur yang menganggap kami sebagai manusia,” lanjutnya.
Kemudian Taha menceritakan bagaimana pertemuan Tim 100 dari Papua dengan Gus Dur di Istana. Tim itu kemudian menyampaikan sebuah pilihan “Bersama atau berpisah?” Gus Dur menurut Taha menjawabnya bahwa apapun pilihan masyarakat Papua, bersama atau berpisah harus ditempuh dengan satu cara damai “dialog.”
“Mari kita berdialog dan terus berdialog hingga kita temukan titik temu bersama,” kata Taha menirukan Gus Dur.
Taha melanjutkan ceritanya bahwa Gus Dur, sambil menunjuk meja kerjanya mengatakan bahwa di ujung sini ada Aceh dan di ujung sana ada Papua, kemudian Gus Dur mempersilakan masyarakat Papua kalau ingin punya lagu sendiri, punya bendera sendiri, punya sistem pendidikan sendiri, mengurus kekayaan alamnya sendiri, semua dipersilakan oleh Gus Dur.
“Asalkan kita bicara bersama, di atas meja ini,” tegas Gus Dur, seperti cerita Taha.
Mendengar pernyataan Gus Dur tersebut, masih menurut Taha, Tim 100 dari Papua kebingungan dan keheranan sebab selama ini menurut Taha segala sesuatu telah ditentukan dari Pusat. Apa yang terbaik bagi Papua ditentukan oleh Pusat. Tapi Gus Dur menyerahkan dan memberikan keleluasaan kepada masyarakat Papua untuk menentukan jalan hidup mereka.
Bagi Taha, Papua adalah fenomena dan Gus Dur juga fenomena yang sangat luar biasa dalam hal kemanusiaan. Saat Gus Dur meninggal, Taha mengungkapkan bahwa bagi masyarakat Papua seolah langit runtuh, sebab Gus Dur selalu di hati masyarakat Papua.
“Duka yang sangat mendalam, ketika kita mendengar Gus Dur meninggal dan kita akan lebih berduka lagi kalau kita yang masih hidup ini tidak dapat terus mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur,” pungkas Taha. (Lutfi/Yudhi)