Berita
Selingkuh Sipil-Aktor Negara dalam Kekerasan Atas Nama Agama
Menjelang awal tahun baru 2015, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang konsen terhadap penegakan HAM, dan The Wahid Institute yang konsen membangun toleransi keberagamaan, telah mengeluarkan laporan tahunannya masing-masing.
Dalam laporan akhir tahun(2014)nya, baik Komnas HAM maupun Wahid Institute meski mencatat ada beberapa perbaikan, namun masih menyoroti banyaknya pelanggaran dan kekerasan atas nama agama di Indonesia. Baik yang dilakukan oleh aktor non negara, mau pun aktor negara, bahkan joint action keduanya.
Wahid Institute mencatat dari jumlah peristiwa, ada 78 peristiwa (49%) yang dilakukan aktor negara dan 80 peristiwa (51%) oleh aktor non negara. Aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian (25 pelaku); Pemkab (18 pelaku); Pengadilan dan Aparat Desa/Kelurahan (8 pelaku); serta Aparat Kecamatan (6 pelaku).
Selain itu, dari Satpol PP 4 pelaku; Kesbangpol dan Aparat Kantor Kemenag 3 pelaku; pengelola sekolah negeri, Dinas Dukcapil, DPR/DPRD, Bakorpakem, MPU Aceh, dan Kapolri 2 pelaku. Sisanya dari Dinas Pekerjaan Umum, Badan Perwakilan Desa, LPM, FKPD, Pengurus Parpol, Pemerintah Pusat, TNI dan Pemprov/Gubernur masing-masing 1 pelaku.
Sementara pelaku dari aktor non negara paling banyak dari warga yang tak menamakan diri (21 pelaku); massa yang menggunakan atribut FPI (12 pelaku); Forum Jihad Islam (9 pelaku); MUI (8 pelaku), dan Forum Umat Islam dan gabungan ormas masing-masing 7 pelaku.
Banyaknya aktor negara yang justru ikut serta dalam pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan ini tentu sangat disayangkan. Bagaimana negara yang mestinya menjamin kebebasan berkeyakinan warganya justru ikut serta dalam pelanggaran hukum sendiri.
Perselingkuhan Aktor Negara dan Non Negara
Dari temuan The Wahid Institute dan juga Komnas HAM, Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, yang ikut hadir dalam laporan tahunan Wahid Institute ini menengarai adanya perselingkuhan antara aktor negara dengan aktor non negara dalam pelanggaran KBB ini.
“Saya lihat ada pola ‘joint action’ aktor pemerintahan dan sipil. Sebagian besar kasus KBB itu tidak berdiri sendiri. Ada perselingkuhan jahat antara state actor dan non state actor,” ujar Imdad saat ABI Press wawancarai. “Ini memang efek negatif demokrasi yang butuh dulangan suara, yang dijanjikan oleh kelompok intoleran bagi aktor negara yang tak punya visi.”
“Polanya biasanya inisiatif awal muncul dari non state,” tutur Imdad. “Mereka demo, ke Pemda, melakukan lobi dan tawar-menawar. Karena tawar-menawar inilah, lalu actor state tersandera. Dan justru negara malah ikut-ikutan jadi aktor pelaku KBB.”
Hal ini sangat disayangkan Imdad. Padahal semestinya negara percaya diri dan tidak mau ditekan oleh segelintir kelompok intoleran.
“Saya sedih sekali melihat elit politik malah kerap menggandeng kelompok intoleran,” keluh Imdad. “Dari penguasa yang lama pun mereka hanya melakukan politik kepentingan, pingin cuci tangan saja. Victimize the victim.”(Muhammad/Yudhi)