Berita
Catatan Akhir Tahun Kebebasan Beragama Berkeyakinan
Laporan terkait kebebasan beragama berkeyakinan telah menjadi agenda tahunan sejumlah LSM yang ada di Indonesia sebagai bentuk kepedulian dan hasil pemantauan sejauh mana kehidupan harmonis telah terjalin di negeri kita. Salah satu LSM yang melaporkan catatan akhir tahunnya adalah The Wahid Institute di kantor mereka di Jakarta Pusat pada Senin (29/12).
Laporan The Wahid Institute yang disampaikan oleh Direkturnya, Zannubah Arifah Chafsoh Wahid atau biasa dipanggil Yenny Wahid melaporkan penurunan jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan yang pada tahun 2013 berjumlah 245, tahun ini berjumlah 154 peristiwa.
Tren menurunnya peristiwa pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan yang disampaikan oleh The Wahid Institute senada dengan apa yang disampaikan oleh Manajer program SETARA Institute, Hilal Safari dan juga Wahyu Wagiman, SH selaku Deputi Direktur Pembela HAM untuk Keadilan dari Lembaga Study & Advokasi Masyarakat (ELSAM) saat ditemui oleh ABI Press.
Pada tahun 2013 SETARA Institute mencatat terdapat 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan dan pada tahun ini tercatat 121 peristiwa. Begitupun dengan ELSAM yang mencatat dari 7 provinsi terdapat 26 peristiwa, sedangkan untuk tahun ini ELSAM mencatat dari 11 provinsi terdapat 52 peristiwa. Hal ini menurut Wahyu mengalami penurunan. Catatan ELSAM ini lebih berfokus pada kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang masuk ke pengadilan.
Sementara itu, laporan dari Komnas HAM menunjukkan hal yang berbeda dengan sejumlah LSM tersebut. Komnas HAM dalam siaran persnya pada Selasa (23/12) melaporkan terjadinya kenaikan peristiwa terjadinya pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan yaitu dari 39 berkas pelaporan yang masuk ke Komnas HAM pada tahun 2013, naik menjadi 67 berkas laporan pada tahun 2014. Demikian disampaikan Komisioner Komnas HAM M. Imdadun Rahmat.
Faktor Penyulut Intoleransi Jawa Barat
Seperti tahun-tahun sebelumnya Jawa Barat tetap mencatat rekor sebagai provinsi dengan tingkat tindak pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan paling tinggi, baik menurut laporan The Wahid Institute, Komnas HAM, SETARA Institute, maupun ELSAM.
Hilal menyampaikan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan Jawa Barat memiliki catatan yang tiap tahunnya tertinggi di antara wilayah lainnya di Indonesia.
Pertama, karena faktor kepemimpinan. Selama ini pemimpin daerah Jawa Barat dikenal banyak sekali mengeluarkan regulasi-regulasi yang dapat dijadikan landasan bagi masyarakat untuk melakukan tindakan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan.
“Salah satu contoh regulasi pemimpin di daerah Jawa Barat adalah tentang Ahmadiyah,” terang Hilal.
Terkait faktor pemimpin ini, diamini oleh Wahyu dan Imdadun Rahmat. Imdad menyatakan bahwa para pemimpin di wilayah Jawa Barat mengalami masalah dalam cara pandang mereka terhadap agama. Persepsi antara kelompok intoleran dengan penyelenggara pemerintah itu hampir sama sehingga terjadi state favoritisme, yaitu aparatur pemerintah yang seharusnya berdiri pada posisi yang sama di atas semua kelompok agama itu malah kurang dipahami.
“Sehingga antara aparat pemerintah dengan kelompok intoleran lebih kompak,” terang Imdad.
Faktor kedua adalah kepemimpinan kultural, yaitu tokoh agama dan masyarakat yang lebih bersikap intoleran.
Menurut Wahyu, di Jawa Barat, kelompok Islam garis keras melakukan penyiaran secara masif yang dipimpin oleh pemimpin kultural tanpa bisa dikontrol oleh pemerintah. Mereka selalu mengekspose tentang perbedaan dan melakukan pendekatan kepada masyarakat secara frontal.
Dalam kondisi seperti ini sayangnya, pemerintah daerah yang memiliki wewenang lebih tinggi tunduk terhadap pemimpin kultural dan bahkan sering kali mendukungnya dengan mengeluarkan regulasi-regulasi yang lebih memihak kepada kelompok intoleran.
“Mungkin ini karena DI/TII dulu berkembang pesat di Jawa Barat,” sangka Wahyu.
Faktor ketiga adalah transisi sosial, dimana sejumlah kota besar di wilayah Jawa Barat merupakan kota satelit yang berada dalam kondisi transisi menuju kota yang lebih modern. Akibatnya, masyarakat menjadi sangat kompleks secara kultural dan kemudian tatanan relasi sosialnya menjadi sangat inklusif.
Untuk faktor yang ketiga ini, peneliti The Wahid Institute, Muhammad Subhi Azhari mengungkapkan dengan istilah segregasi sosial. Yaitu pemisahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dan hal ini lazim terjadi di kota Satelit, kota kecil yang terletak di tepi kota besar. Ini seperti banyak kota yang terdapat di wilayah Jawa Barat yang berada di sekitar kota Jakarta.
“Perilaku intoleran lebih cenderung marak di kota Satelit,” ungkap Subhi.
Selain faktor-faktor yang tersebut di atas, Imdad juga menambahkan adanya faktor politik. Kekuatan politik Islam di Jawa Barat menurut Imdad sangat dominan. Sehingga suara kelompok Islam mayoritas itu, termasuk kelompok Islam yang intoleran, sangat didengar. Akibatnya kelompok intoleran memilki posisi nilai tawar tinggi di mata para politisi yang ingin berkuasa di Jawa Barat.
Kualitas
Terkait kualitas dari tindak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dari tahun sebelumnya, menurut Imdad dan Hilal memang mengalami peningakatan dari segi tindakannya.
Hilal menyoroti bahwa saat ini tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan lebih berkualitas dari segi keberanian mereka untuk melakukan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di tempat umum. Hilal menyontohkan bagaimana FPI yang mengkafirkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) secara terang-terangan di tempat umum sehingga dapat didengar dan ditonton oleh banyak orang.
Di sisi lain Imdad pun menyoroti bagaimana para intoleran mulai gencar berusaha memaksa pemimpin wilayah setempat untuk memasukkan regulasi-regulasi yang diskriminatif sehingga dapat diperlakukan sebagai sebuah peraturan dan regulasi tersebut oleh kelompok intoleran lalu dijadikan landasan untuk melakukan tindak intoleransi.
Hal ini juga disampaikan oleh Wahyu. “Mereka awalnya mengeluarkan fatwa, kemudian dengan fatwa itu mendesak pemerintah membuat regulasi yang akan dijadikan landasan bagi mereka untuk melakukan tindak intoleransi.”
Solusi
Dari banyak sumber masalah yang disampaikan, hampir semua, baik SETARA, Komnas HAM, ELSAM, maupun The Wahid Institute menegaskan bahwa Penetapan Presiden Republik Indonesia (PNPS) Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama merupakan sumber masalah.
Mereka sepakat bahwa keluarnya fatwa ataupun regulasi diskriminatif di daerah adalah akibat adanya perundang-undangan diskriminatif tersebut. Maka pencabutan atau revisi terhadap PNPS tahun 1965 tersebut merupakan salah satu solusi untuk menekan tindak pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan di Indonesia.
“Satu masalah akan selesai apabila UU induk PNPS 165 itu dicabut,” tegas Wahyu.
Intoleransi 2014
Bentuk pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan digambarkan dalam bermacam bentuk oleh para peneliti. Hilal dari SETARA Institute menggambarkan bahwa tahun 2014 adalah tahun ketika pemerintah tersandera oleh agen-agen intoleran. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Imdadun Rahmat selaku Komisioner Komnas HAM.
Sementara itu Wahyu dan Adiani Vivian, selaku Program Officer ELSAM yang ditemui ABI Press menggambarkan bahwa tahun 2014 dari sudut pandang ELSAM merupakan tahun saat kebebasan dijamin tapi juga sekaligus diintimidasi, sehingga hanya melahirkan keadilan semu. Salah satu tandanya, proses hukum tidak mencerminkan suatu kepastian hukum yang dijamin dan keadilan yang menjadi hak setiap warganegara belum tergambarkan mampu dipenuhi sama sekali.
“Contohnya aktor penyerangan Jemaat Doa Rosario, sampai sekarang masih DPO,” terang Adiani.
Suara Korban
Sementara itu, Koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Sobat KBB) Pendeta Palti Panjaitan menyatakan bahwa kondisi kebebasan beragama berkeyakinan di tahun 2014 semakin terancam. Hal ini menurut Pendeta Palti terbukti tidak ada rumah ibadah baik Masjid, Gereja, Kuil, Pura, Sanggar yang telah ditutup dan dipersoalkan, mendapatkan penyelesaian.
Dalam kesempatan ini Pendeta Palti menyampaikan 7 poin terkait dengan tindak pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan selama tahun 2014.
Pertama, Pendeta Palti merasa miris dengan apa yang dilakukan oleh Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto yang tidak tunduk terhadap perintah pengadilan, namun mengambil keputusan menyegel permanen Gereja GKI Yasmin. Begitupun dengan kasus Gereja HKBP Filadelfia yang masih belum tuntas hingga saat ini.
Poin kedua, yang patut disorot adalah para pelaku intoleran dari unsur aparat negara atau non negara yang seolah kebal terhadap hukum, karena tidak pernah ditindak hingga saat ini.
Poin ketiga, terkait regulasi diskrimnatif yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak pernah dibatalkan dan cenderung bertambah banyak.
Poin keempat, terkait hak-hak sipil, politik dan ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) penganut agama “minoritas” tidak terpenuhi. Semua akibat atau dampak dari regulasi diskriminatif tersebut. Hal ini seperti menimpa kelompok Penghayat Kepercayaan dan Ahmadiyah.
Poin kelima, tentang pemulihan para korban, baik fisik, psikis, materi dan lain-lain tidak pernah ada. Pendeta Palti menyontohkan para pengungsi Muslim Syiah Sampang, Sidoarjo dan pengungsi Ahmadiyah di Transito NTB.
Poin keenam, soal pendirian rumah ibadah yang semakin sulit. Bahkan Pendeta Palti menegaskan bisa dikatakan tidak ada, setelah terbitnya peraturan bersama dua menteri. Jika ada yang berdiri, rumah ibadah tersebut berdiri di lokasi pengguna mayoritas rumah ibadah tersebut.
Poin ketujuh, terkait nasib tragis para korban intoleransi yang cenderung juga dikorbankan kembali dengan cara dikriminalisasi dan tak jarang distigmatisasi negatif.
“Tahun 2014 adalah tahun intoleransi, tahun diskriminasi atas nama Tuhan,” tegas Pendeta Palti.
Permasalahan menahun dalam hal kebebasan beragama berkeyakinan pemerintahan lama yang tak kunjung terselesaikan, kini menjadi warisan pemerintahan baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Mungkinkah tekad Nawacita Joko Widodo yang hingga bulan ketiga kepemimpinannya belum menampakkan titik terangnya akan mampu mengatasi warisan permasalahan kebebasan beragama berkeyakinan pemerintahan sebelumnya, atau lagi-lagi hanya akan mentok menjadi slogan bombastis politis, yang kosong tanpa makna? (Lutfi/Yudhi)