Berita
Perjalanan Cinta Aminah Menuju Karbala
Setelah sekian lama menunggu, hari yang didambakan Aminah pun akhirnya tiba. Hari itu adalah momen perjalanan spiritual, menziarahi makam suci cucunda Nabi, Husein bin Ali di Karbala.
Aminah, begitu orang-orang memanggilnya. Pemilik nama Aminah ini aktif di salah satu Ormas Islam di Indonesia bernama Ahlulbait Indonesia (ABI) sebagai Wakil Pimpinan Nasional Muslimah ABI.
Di usianya yang genap 57 tahun ini, bisa dibilang Aminah sudah tidak muda lagi. Namun hal itu tidak menghalangi tekadnya untuk selalu beraktivitas. Terlebih untuk menempuh perjalanan ziarah ke Karbala, yang adalah tantangan tersendiri baginya. Bayangkan saja, jarak 97 km harus ia lalui dengan berjalan kaki. Hingga bersama lebih 20 juta orang dari berbagai negara ia dapat berkumpul di satu titik, tempat terbantainya cucu Nabi dalam membela Islam sejati.
Bagi Muslimin Syiah, Al Husein bukanlah sekadar manusia biasa yang ketika meninggal dunia namanya akan lenyap begitu saja. Karena ia adalah salah satu Imam, pemimpin kaum muslimin sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw. Sebaliknya, seiring bertambahnya hari, makin bertambah pula orang yang mengenal namanya, keagungan dan perjuangannya membela agama kakeknya. Semakin hari, makin bertambah pula orang yang datang menziarahinya. Dan salah seorang dari puluhan juta peziarah itu adalah Aminah.
Awal Desember lalu, Aminah berangkat bersama rombongan peziarah dari Jakarta. Mendapat info bahwa di Karbala saat itu sedang musim dingin, ia pun menyiapkan perlengkapan baju-baju hangat, selain bekal tekad yang kuat.
Berangkat dari Indonesia, pesawat sempat transit di Malaysia, lalu perjalanan berlanjut menuju Najaf, Irak. Dua malam menginap di Najaf, ia ziarahi makam Imam Ali bin Abi Thalib. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju makam Imam Husein di Karbala dengan menempuh perjalanan sejauh 97 km.
Usai sholat Subuh, perjalanan dimulai. Di sepanjang jalan menuju Karbala terdapat tiang-tiang di sisi jalan. Jarak satu tiang dengan tiang lain adalah 50 meter untuk memudahkan para peziarah sebagai patokan arah atau untuk menentukan titik kumpul suatu rombongan. Sementara ada 1400 tiang yang harus dilalui. Di tiang nomor 600, pada hari kedua perjalanan Aminah bersama rombongan sudah berkumpul dengan rombongan lain dari Indonesia. Mereka sudah membuat janji sebelumnya untuk saling bertemu di sana. Rombongan pun berjumlah 35 orang.
Rasa lelah, capek, dan udara dingin menemani peziarah sepanjang jalan. “Kalau dini hari suhunya sekitar 5 derajat Celsius,” tuturnya. “Sementara kalau siang sekitar 11 derajat Celsius. Kaki melepuh menjadi pemandangan biasa. Namun, warga Karbala yang jumlahnya kurang dari satu juta itu siap melayani para tamu atau peziarah di sepanjang jalan. Mereka menyediakan makan-minum, pijat, air panas dan pelayanan lain yang dibutuhkan para peziarah secara cuma-cuma. Kita merasa aman seperti di rumah sendiri karena mereka di sana orangnya sangat baik-baik. Mereka menawarkan apa saja. Mulai dari orang tua hingga anak kecil menawarkan sup hangat, nasi, bubur, semuanya enak. Gratis,” kisah Aminah mencurahkan pengalamannya.
Ziarah ini merupakan impian lama Aminah sebagai seorang Muslimah yang sebelumnya telah menunaikan ibadah Haji dan Umrah. “Saya rasa semua pencinta Ahlulbait juga sangat menginginkan hal itu,” ungkapnya.
Perjalanan itu biasa juga disebut sebagai Ziarah Arbain karena bertepatan dengan peringatan 40 hari pasca syahidnya Imam Husein di Karbala. Di mana pada hari-hari itu, keluarga suci Nabi dirundung duka luar biasa. Sehingga pada tiap tahunnya, para pencinta Imam Husein dan keluarga suci Nabi itu melakukan ziarah untuk mengenang, mengambil pelajaran dan mengharap syafaat darinya. Hal ini serupa tradisi Muslim Ahlusunnah yang kerap menziarahi makam para wali, ulama dan tokoh yang mereka yakini memiliki keutamaan-keutamaan.
Perjalanan jauh menjadikan para peziarah harus berhenti sejenak, beristirahat di beberapa tempat yang mereka lalui. Begitu pula dengan rombongan Aminah. Di perjalanan ia mendapati pelajar Indonesia di Irak yang membuka Maukib (tempat peristirahatan). Mereka membuka tenda-tenda, sekaligus menyiapkan kasur untuk para peziarah. Maka Aminah bersama rombongan pun memutuskan beristirahat sejenak.
Dari tempat peristirahatannya, tampak maukib-maukib lain. Aminah beserta rombongan ibu-ibu mendatangi sebuah maukib yang didirikan peziarah asal Thailand. Sambil berkenalan mereka pun saling bantu membuat hidangan semacam donat untuk dibagikan kepada para peziarah. “Ada seribuan donat kali ya,” kata Aminah. Tidak hanya dengan warga Thailand, Aminah pun sempat berkenalan dengan warganegara lain asal Irak, Iran dan sebagainya. “Mungkin ini kehendak Allah agar kita saling bersatu, bersilaturahmi dan saling mengenal,” imbuh Aminah.
Terpisah dari Rombongan
Di hari ketiga, dari tiang 1046 hingga 1400, Aminah menempuh perjalanan sendirian tanpa didampingi rombongan dari Indonesia. Awalnya ia ingin mendokumentasikan sebuah gambar saat perjalanan. Tak lebih dari satu menit, rombongan dari Indonesia sudah lenyap dari pandangan mata. Bukan hal biasa mengingat jutaan orang berjalan di sekelilingnya. “Seperti arus yang tidak berhenti-berhenti,” Aminah menggambarkan. Ia pun mulai khawatir. Apalagi saat itu handphone miliknya mati, sehingga tidak bisa menghubungi anggota rombongan lain.
Ia pun terus berjalan. Meski sudah bertemu petugas keamanan, namun rombongan Indonesia masih sulit ditemukan. Ia memutuskan berjalan lagi. Tak lama setelah itu, ia bertemu dengan wanita bernama Banin yang kemudian menemani perjalanannya, istirahat dan makan bersama. Banin bersama seorang wanita dengan kursi roda, yang belakangan diketahuinya sebagai ibunda Banin. Dari perbincangan singkat dengan sang ibu, Aminah tahu bahwa wanita itu seorang diri mampu merawat 6 anaknya setelah lama menyandang status single parent. “Mungkin Allah sengaja mempertemukan aku dengan orang ini supaya aku memberi sesuatu kepadanya,” pikir Aminah.
Dengan keyakinan mantap, perjalanan pun dilanjutkan. “Ini rumah Imam, saya yakin akan dibimbing dan tidak akan tersesat,” tekad Aminah saat itu. Sampai di suatu pertigaan, ibunda Banin memanggil petugas keamanan, untuk bertanya lagi. Saat itu tiba-tiba ada seseorang yang datang menyapa Aminah. Ia adalah Haidar, mahasiswa Indonesia di Irak. Rasa bahagia mulai menyelimutinya. Bagaimana tidak, di kala ia mencari satu rombongan di antara jutaan orang, lalu muncul seorang yang ia kenal.
Sampai di Karbala
Perjalanan berlanjut. Aminah pun tiba di Karbala mendahului rombongan dari Indonesia. Di Karbala pula mereka berkumpul, bermalam dan melakukan prosesi ziarah, dan doa bersama.
Banyak cerita yang tercurah dari pengalaman Aminah. Mulai dari ribuan orang yang rela berkorban dengan harta dan tenaga, serta berkumpulnya jutaan umat Islam dari berbagai negara di dunia. “Kita bisa jadi duta Indonesia,” tutur Aminah. Sebab, mereka sempat difoto saat berziarah dengan membawa bendera Indonesia. Aminah terheran-heran ketika ada yang menanyainya tentang Indonesia. Ternyata banyak yang tidak tahu Indonesia. “Dimana itu Indonesia?” tanya peziarah kepada Aminah. “Jarak tempuhnya 10 jam kalau dari sini ke sana naik pesawat,” jawab Aminah menggambarkan seberapa jauh letak Indonesia.
Dari 35 peziarah asal Indonesia ada pula yang mendokumentasikan perjalanan ziarah itu. Aminah menyebut, namanya adalah Maya. Seorang fotografer yang juga pernah menjadi tim sukses pemenangan Jokowi saat pilpres lalu. “Dia bilang akan menyampaikan ke pak Jokowi kalau kita adalah Duta Indonesia,” kata Aminah.
Usai ziarah di Karbala, rombongan bertolak ke Najaf, Qom (Iran) untuk menziarahi makam-makam para Imam lainnya, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia.
Aminah sempat bercerita perihal kunjungannya ke Iran. Ia menggambarkan perbedaan Iran yang sekarang dengan Iran sebelum tahun 1976 adalah nuansa Iran ala kebarat-baratan masih ada saat itu. “Setelah Revolusi Islam yang dipimpin Imam Khomeini, semuanya berubah. Sekarang terasa lebih aman, tertib, dan akhlak mereka baik-baik,” ungkap Aminah.
Makna Ziarah Bagi Aminah
Perjalanan panjang menempuh jarak 97 km dengan berjalan kaki, di tengah kondisi cuaca sangat dingin, tentu ini tidak bisa dipandang sebagai wahana senang-senang sebagaimana orang yang pergi berwisata. Ada yang dikorbankan entah harta maupun tenaga. Tak kurang dari 3000 US$ Aminah siapkan untuk perjalanan itu. “Mulai dari niat, tiba-tiba rizki itu ada saja,” ungkapnya.
Semua itu, kata Aminah karena didorong oleh kekuatan cinta. Cinta kepada Ahlulbait Nabi, dan ajaran sucinya. “Tanpa cinta tak akan ada yang berziarah, tak akan ada yang menerima tamu segitu banyaknya. Bagaimana bisa penduduk Karbala yang kurang dari 1 juta jiwa, menerima tamu lebih dari 20 juta jiwa.”
Penting menurutnya seorang ibu mengajarkan kepada anak-anaknya mencintai Imam Husein agar tidak ada lagi anak yang tidak mencintai Imam Husein karena Rasulullah juga mencintai Imam Husein. “Pelajaran besar di Karbala. Saya merasa bukan orang beneran. Melihat begitu banyak orang berjuang dengan hartanya, tenaganya, tapi saya merasa tidak pernah melakukan apa-apa di Indonesia. Mereka memberikan semuanya, orang yang cacat, yang jalannya terseok-seok, mereka semua menggunakan segala cara untuk mendatangi Imam yang mereka cintai,” pungkasnya. (Malik/Yudhi)