Berita
Menakuti ‘Senyap’ dan Paranoia Kiri
Bila anda termasuk penggemar kajian sejarah berlatar peristiwa 1965, tentulah film Senyap atau dalam versi internasionalnya berjudul The Look of Silence adalah tontonan yang tidak boleh dilewatkan. Di berbagai kota, film besutan Joshua Oppenheimer ini mendapat sambutan hangat dari elemen mahasiswa, aktivis pergerakan, maupun khalayak umum. Mulai dari ruang sekretariat yang sempit sampai aula nan megah, hampir semua mengagendakan pemutaran Senyap dan diskusi ilmiah membahas sisi lain huru-hara pasca 1965.
Namun, era Reformasi rupanya belum menjadi jaminan untuk bebas mengkaji topik sensitif dalam sejarah bangsa sekalipun dalam konteks wacana akademis. Lebih-lebih seputar kontroversi 1965 dan hal-hal berbau paham kiri, sebagian pihak masih merasa tabu membahasnya. Terbukti, setelah tayang perdana, beberapa waktu lalu media online Tanah Air digaduhkan dengan berita pembubaran paksa forum bedah film Senyap. Seperti di Kabupaten Malang misalnya, acara nonton bareng di Warung Kelir terpaksa dihentikan setelah seorang pria bersorban menghardik panitia karena menilai muatan film berpotensi membangkitkan “komunisme gaya baru” dan “menghapuskan sejarah versi sebenarnya.” Demikian pula di Yogyakarta, Aliansi Jurnalis Independen selaku panitia penyelenggara bedah film akhirnya terpaksa membatalkan acara setelah ditolak izinnya oleh aparat berwajib dan mendapat ancaman dari ormas tertentu.
Penolakan film Senyap adalah satu dari sekian banyak kasus yang mengindikasikan kuatnya alergi terhadap hal-hal bernuansa “kiri” dan “merah” di Indonesia. Kehadirannya masih ditakuti bak hantu: tak nyata tapi terasa.
Melalui tulisan ini saya mencoba memberi usulan mengenai bagaimana sepatutnya kita menyikapi kehadiran ideologi kiri sebagai salah satu paham yang pernah memiliki akar sejarah sejak era Revolusi Industri. Bukan kapasitas saya dalam tulisan ini melakukan apresiasi apalagi kritik terhadap konten Senyap karena secara pribadi, menontonnya saja belum.
Bisakah Ideologi Kiri Mati?
Jargon khas yang acap diteriakkan oleh kubu penentang paham kiri -entah mereka secara politik berada di kubu religius, nasionalis, maupun demokrat– adalah “Jangan Biarkan Komunisme Hidup di Indonesia!” Atau lebih satir lagi adalah mereka yang mengatakan bahwa seiring berakhirnya Krisis Perang Dingin, komunisme turut mati bersama remah-remah almarhum Blok Timur.
Benarkah segampang itu sebuah paham dapat ‘dibunuh’ hanya lewat jargon penolakan dan tindakan represif? Apakah kehancuran negara yang dulunya pernah menerapkan sebuah ideologi dalam sistem politik pemerintahannya menandakan pula bahwa paham tersebut ikut lebur digerus roda sejarah? Agaknya, naif jika kita berpikiran sebuah ideologi bisa dimatikan dengan cara-cara demikian. Mengapa?
Sebagaimana diketahui, ideologi berasal dari bahasa Yunani ideas (pemikiran manusia) dan logos (pengetahuan), yang berarti ideologi adalah seperangkat gagasan hasil pemikiran manusia mengenai cara pandang seseorang terhadap dunia dan tatanan ideal. Logikanya, jika ideologi sebagai buah kecerdasan manusia hendak dilenyapkan, maka manusia sebagai subjek pasif (penerima ideologi) maupun subjek aktif (kreator ideologi) harus dilenyapkan juga, dan tentulah ini tidak mungkin.
Ideologi apapun itu, akan tetap hidup atau setidaknya terdokumentasikan selama peradaban manusia eksis.
Lebih-lebih dalam konteks tulisan ini, pemikiran kiri harus diakui masih menemukan peminat. Salah besar jika bubarnya Blok Timur diartikan sebagai bubarnya komunisme sebagai ideologi. Hal itu hanya menandakan kegagalan sistem politik dalam tatanan praktis, sedangkan ideologi kiri sebagai suatu paham justru menyempurnakan dirinya mengikuti perkembangan zaman, tidak lagi doktriner seperti pada masa Joseph Stalin. Kemampuan paham kiri untuk melakukan otokritik dan belajar dari kegagalannya di masa lalu justru membuat ajaran Karl Marx dan Friedrich Engels ini tidak sepi peminat, bahkan warna-warni sub-aliran pemikiran di dalamnya kian kaya. Lantas, bagaimana kita harus menyikapi geliatnya?
Belajar Sebagai Kontrawacana
Karena ideologi kiri nyaris mustahil dimatikan seperti tokoh antagonis Jason Voorhees dalam sekuel film Friday 13th, maka kita harus arif menyikapi kehadirannya. Pertama-tama, sadarilah bahwa pelarangan secara represif hanya akan membuat sesuatu semakin terlihat seksi. Ingatlah hukum emas “makin dilarang makin bikin penasaran.” Menutup-nutupi kesempatan untuk memelajari hal baru disertai ancaman adalah teknik primitif di era keterbukaan. Ini sudah tidak relevan dan kontraproduktif.
Dalam istilah teori kritis, karena kiri sebagai ideologi adalah wacana, maka yang dapat kita lakukan sebagai bentuk kontrawacana adalah: mempelajarinya!
Sebagaimana petuah Sun Tzu sang maestro strategi pertempuran, jika ingin mengalahkan lawan maka berpikirlah seperti lawan. Artinya, jika hendak membendung paham kiri katakanlah, pahami secara komprehensif bagaimana alur pemikiran ideologi itu, temukan titik lemahnya, dan lakukan kritik secara ilmiah.
Kontrawacana model begini jauh lebih menusuk jantung permasalahan daripada hanya sekadar mengenal kulit luar komunisme plus variannya dari literatur yang tidak objektif. Belajar secara parsial hanya akan menghasilkan kritik mandul tanpa isi, tidak substansial malah cenderung menggelikan dari sudut pandang saintifik. Apalagi jika menanggapinya dengan ancaman dan tindakan rusuh, jelas ini adalah logika kekuatan orang lemah yang tidak mampu melakukan kontradiskursus.
Sejarah sekali lagi menunjukkan bagaimana Murtadha Muthahhari, ulama cum intelektual Iran justru mengajukan gagasan agar paham kiri diajarkan luas di institusi pendidikan, langsung oleh ideolog partai komunis Iran.
Muthahhari dengan bijak menilai bahwa hal ini tidak akan melemahkan akidah muslim Iran sehingga tidak perlu dikhawatirkan berlebihan. Justru dengan belajar langsung dari sumber primernya secara objektif, kaum muslim dapat menemukan kejanggalan terhadap kerancuan basis pemikiran kiri dan melakukan kritik matang.
Pula halnya Ayatullah Baqir Shadr dari Irak dengan kitab masterpiece-nya, Falsafatuna. Beliau piawai melakukan kajian kritis terhadap Marxisme berbekal sumber primer dari Lenin, Mao Tse Tung, dan Kedrov. Tidaklah mungkin beliau mampu melakukan kontrawacana seperti itu bila mengedepankan sikap paranoid.
Di Indonesia, kita mampu menemukan kearifan bersikap terhadap ideologi kiri dalam sosok Soekarno. Tak segan dirinya belajar buku-buku Marx, Engels, Proudhon, dan tokoh lainnya. Meski demikian Soekarno tetap mampu bersikap independen dari Marxisme dengan menghasilkan Marhaenisme, dan corak ke-Islaman beliau terjaga hingga di akhir hayatnya berpesan jika wafat kelak dirinya ingin diselimuti oleh bendera Muhammadiyah.
Sebagai penutup saya mengajukan pertanyaan yang cukup dijawab saja dalam hati: masihkah kita akan terus bersikap tak bijak dalam mengkonter sebuah wacana dan menakuti kehadiran film atau diskusi ilmiah layaknya penampakan makhluk gaib? (Fikri/Yudhi)