Berita
Peran Gusdurian dan Islam Indonesia Di Mata Alissa Wahid
Berkembangnya berbagai komunitas dalam menyuarakan toleransi dan menjaga kearifan dalam negeri sendiri, mendapat perhatian lebih dibandingkan komunitas yang sering meneriakkan intoleransi dan ekstremisme.
Gusdurian sebagai salah satu komunitas yang sering pasang badan untuk membela suara keadilan, memiliki peran penting dalam perkembangan perjuangan toleransi di Indonesia. Walaupun berbasis pandangan Gus Dur yang notabene muslim, Gusdurian tetap membela berbagai kalangan tanpa membeda-bedakan latar belakang mereka.
Berikut petikan wawancara ABI Press dengan putri Gus Dur, Alissa Wahid, saat ditemui di Wahid Institute (5/12) dalam memandang peran Gusdurian di Indonesia dan perkembangan Islam di Indonesia.
Bagaimanakah Gusdurian bersikap dengan keadaan Indonesia yang seperti sekarang ini?
Kuncinya sebetulnya begini, yang pertama; Gusdurian itu sebagai kelompok aktivis yang mengambil inspirasinya dari keteladanan Gus Dur, tentu saja kemudian perlu mengembalikan ke nilai-nilai yang diteladankan Gus Dur.
Bagaimana seorang Gus Dur akan bersikap terhadap situasi semacam ini, prinsip apa yang akan dipakai, itu dulukan. O, ternyata tahun 80-an ketika Gus Dur melawan Orde Baru, yang beliau lakukan adalah bertumpu pada prinsip kemanusiaan, keadilan, dan pembebasan. Terutama ini tiga prinsip yang utama, sedangkan yang lainnya itu pelengkap. Misalnya sikap kekesatriaan, itu kan juga salah satu nilainya Gus Dur.
Kalau kesatria itu kan berani bertindak membela yang lemah, tidak itung-itungan terhadap keselamatan diri sendiri. Tetapi betul-betul bertindak untuk sesuatu yang lebih mulia itu kesatria. Nah, kalau nilainya Gus Dur keempat ini diteladani, dari situ kemudian tugas Gusdurian adalah meng-kini-kan keadilan yang seperti apa ini dalam konteks sekarang. Pembebasan-pembebasan dari penindasan-penindasan yang sekarang ini terjadi dan bagaimana harus mencari jalan keluarnya.
Jadi dari nilai yang di-kini-kan, baru setelah itu berbicara strategi, apa yang bisa dilakukan oleh Gusdurian di masing-masing ruang kerjanya dan ruang geografisnya.
Apakah konsen isu-isu dari teman-teman Gusdurian di daerah-daerah merupakan bagian pengembangan seperti yang disampaikan tadi? Konsennya bagaimana? Bisakah diceritakan konsen Gusdurian itu lebih kemana?
Yang jelas, karena kita meneladani Gus Dur, tentu saja, keuntungan sekaligus tantangannya adalah luasnya bidang garap. Karena Gus Dur itu ada dimana-mana, sepak terjangnya tertinggal dimana-mana. Mau ngomongin NU dan pesantren, mau ngomonginn Islam di Indonesia, mau ngomongin hubungan antar agama, mau ngomongin isu HAM, mau ngomongin isu demokrasi, dan mau ngomongin isu-isu civil society, mau ngomongin strategi kebudayaan, mau ngomongin isu ekonomi rakyat. Itu semua Gus Dur punya itu-intinya, gitu. Jadi itu kita menyerahkan pada teman-teman Gusdurian mau ngambil sektor apa yang penting nilainya sama. Yang penting nilainya adalah anti penindasan, nilainya adalah kemanusiaan, itulah yang diutamakan sehingga ketika ada situasi, misalnya situasi Rembang dimana ibu-ibu petani itu harus memperjuangkan nasib kehidupan mereka, dengan adanya pabrik semen di sana.
Maka tumpuan perjuangan Gusdurian di sana adalah kemanusiaannya, keadilannya melawan penindasan-penindasan yang dilakukan oleh aparat atas nama pabrik semen. Jadi kalau ditanya, kemudian fokusnya Gusdurian apa? Fokusnya Gusdurian sebetulnya tetap sama, fokusnya Gusdurian itu adalah isu agama, keyakinan. Kemudian isu civil society, kekuatan masyarakat sipil. Ketiga, soal demokrasi dan negara, dalam hal ini tentu saja negara dalam melayani rakyat, dan keempat kemanusiaan. Udah, intinya itu, cuma sektornya banyak.
Bagaimana tentang kondisi kemajemukan di Indonesia? Mengingat adanya potensi ancaman dalam hal tersebut?
Sebetulnya kalau kita bicara terancam, sebetulnya yang terancam itu kan kemajemukan berkeyakinan. Kemajemukan suku tidak gitu. Jadi primordialismenya itu. Itu sekarang basisnya adalah soal keyakinan, jadi kemerdekaan berkeyakinan itu yang sekarang ini sedang terancam. Tapi lintas suku kan sekarang sudah tidak terlalu terasa ya, orang tidak lagi mempersoalkan. Oh, saya Batak. Oh, saya Jawa. Oh, Jawa harus menang. Itu kan sudah ngga ada. Nah, konyolnya kemerdekaan berkeyakinan itu kan membawa nama Tuhan, jadi berat banget. Ketika terjadi penindasan, penindasannya itu lebih intens dan itu sudah susah sekali menurunkan tensinya karena atas nama Tuhan, itu kan sesuatu yang sangat tinggi apalagi kalau orang Islam yang sudah diikat dari awal bahwa wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduun. Bahwa apa-apa yang saya lakukan adalah ibadah kepada Allah, Allah sudah yang paling tinggi.
Sehingga ketika berbicara oh agama saya dihina, oh, ini menyesatkan, terus jadi kayak sudah ngga nalar lagi. Itu kan berbahaya karena sudah membawa nama Tuhan. Itu sebabnya kenapa Gus Dur dari dulu menolak kelindan antara agama dengan politik. Karena politik itu kan masalah kekuasaan, ketika agama itu berkelinden dengan politik, gawat. Karena kekuasaannya kemudian dipakai atas nama Tuhan. Itu takdir tunggal, terus orang lain tidak boleh hidup. Itu lho problemnya. Tapi ketika agama itu benar-benar dijadikan panduan hidup, nilai-nilai hidup, itu akan menjadi berbeda. Agama kemudian mewarnai orang menjadi lebih spiritual.
Dan ketika orang begini; Gus Dur selalu bilang mereka bukan fundamentalis, yang fundamentalis itu kita, iya karena kita benar-benar bertumpu pada fundamental agama. Mereka itu pro kekerasan, mereka justru radikal, yang radikal itu mereka. Mengapa? Karena kemudian mereka menggunakan kekerasan karena anti kemapanan. Sementara orang-orang fundamentalis, sejatinya harusnya bertumpu pada prinsip-prinsip ilahiyah. Kalau prinsip-prinsip ilahiyah yang dipakai, ya dia ngga akan menyerang orang lain, dong. Intinya di sana, tantangannya ialah bagaimana menguatkan prinsip dasar ini, pondasi kehidupan beragama ini, sehingga justru kemudian orang hidup dengan nilai-nilai itu dan bukan dengan kekuasaan.
Banyak analisis, terkait pengaruh politik global oleh kelompok-kelompok yang ditunggangi sehingga melahirkan perang proxy yang mengatasnamakan Tuhan untuk melemahkan NKRI. Bagaimana dengan hal yang seperti ini?
Sebetulnya, kalo menurut saya, bukan melemahkan Indonesia ya, yang dituju. Begini. Ada banyak kelompok, semuanya dengan agenda masing-masing. Saya percaya ada kelompok-kelompok yang memang memimpikan glorifikasi (kejayaan) Islam sebagai sesuatu yang formal. Kayak memindahkan kehidupan akhirat (kehidupan surga lebih tepatnya) ke masa sekarang.
Memindahkan kehidupan surga itu yang dibawa ke dunia dengan paradigmanya. Cara berpikirnya adalah kaffah. Jadi kalau total caranya Islami itu, surga ada di dunia, ada yang memperjuangkan seperti itu. Tapi ada juga, yang kepentingannya adalah kepentingan ‘pollitik,’ politik sesaat. Dia sebetulnya tidak memperjuangkan itu, tapi akhirnya ia berpindah ke zaman yang sekarang. Tapi kepentingannya hanyalah penguasaan saja. Ada yang kemudian melihat ini sebagai proxy yang melemahkan Indonesia. Tapi kalau menurut saya, saya ngga berpikir seperti itu.
Kalau melemahkan Indonesia, apa ya? Jadi negara-negara yang sering kita tuding mereka mau melemahkan Indonesia itu tidak mendapatkan terlalu banyak keuntungan kalau Indonesia lemah gara-gara ini. Saya kira ngga sampai ke sana, ya. Tetapi bahwa ada kepentingan-kepentingan yang sangat kuat dan melihat Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Lha, penduduk muslim Indonesia itu lebih besar dari seluruh penduduk muslim di Timur Tengah. Kalaupun ada kondensasi mereka, kondensasinya ya di situ. Bahwa Indonesia secepatnya harus menjadi masyarakat muslim yang berkiblat pada Timur Tengah, tidak bisa menjadi muslim yang khas Indonesia, gitu.
Islam di Jazirah Arab itu menguat di masyarakat yang homogen. Karena itu mereka tidak melihat kebutuhan untuk menyelaraskan diri dengan kelompok-kelompok dengan orang-orang dari kelompok yang lain. Semua struktur sosial dibuat betul-betul ya untuk kepentingan orang Islam. Ya semua orang Islam, ya ngga ada masalah.
Tapi Islam di Indonesia sejak awal tumbuh di tanah yang heterogen, karena itu dia berdamai. Dia melakukan akulturasi dan lain-lain. Kemudian ada pertemuan-pertemuan, perjumpaan-perjumpaan, dengan kelompok-kelompok yang lain, dan harus membangun sistem sosial yang bisa menghidupi semua, sehingga Islam yang tumbuh di Indonesia adalah Islam yang memang lebih terbuka, adaptif, benar-benar bertumpu pada nilai-nilai keislaman, bukan sekadar pada praktek, bukan prosedural, bukan ritual tapi value. Kalau masyarakat Islam di Indonesia makin membesar dan caranya tetap begini, coba bayangkan yang lebih disukai dunia, kira-kira yang mana?
Waktu Milad 102 tahun Muhammadiyah, saat pertemuan perdamaian para tokoh muslim dari seluruh dunia, angkanya semakin besar. Apalagi nanti kalau bonus demografi. Muslim Indonesia bisa jadi akan berkembang menjadi model masyarakat muslim yang diharapkan dunia. Kenapa? Karena lebih siap berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang lain. Sementara di Timur Tengah mereka tertutup, kan? Karena itu timbul kesan, wah, Indonesia ini tidak biasa.
Jadi sebenarnya kita ada optimisme dan kita punya modalnya?
Ya, kita punya modal. Justru modal ini sedang tergerus bila kita tidak bisa menyelamatkan.
Dari siapakah itu?
Ideologi, bahwa Islam ini cara yang ini lho, ngga bisa dengan cara yang itu. Sehingga dunia kan menjadi tidak tenang. Coba bayangkan kalau Indonesia kemudian pecah menjadi Islam yang ini, dengan kelompok yang sikap terbukanya lebih sedikit. Udah ngga bisa lagi Indonesia menjadi model. Atau menjadi pilar peradaban Islam yang baru. Ini kan sistemnya kayak dulu zaman Nabi Saw yang terus pindah ke Baghdad. Cuma sekarang pindahnya jauh ke Indonesia. Bagaimana cara mempengaruhi itu. Nah justru itu, PR kita adalah sekali lagi menjaga kemajemukan itu tidak hanya bicara identitas tapi pada level value. Bagaimana menumbuhkan nilai tasamuh, nilai tawasub, tawadzun kalau di NU. Moderat tidak ekstrem, toleran, terbuka, dan adil. Bagaimana menumbuhkan itu sebagai nilai hidup. Sehingga melihat orang lain juga akan adil, lebih terbuka, moderat, tak akan mau untuk bersikap ekstrem, itu kan. PR-nya gitu. Ini modal dasar untuk mempertahankan kemajemukan. Tapi kalau ngga ada adil, bisa-bisa adil itu dipahami hanya berlaku kepada diri sendiri tidak kepada orang lain. Orang lain tidak layak diperlakukan adil karena dia bukan Islam seperti kita.
Apa pesan Anda untuk teman-teman Gusdurian dan umat Islam di Indonesia ?
Gus Dur sudah sering sekali mengingatkan bahwa prinsip ‘al-muhafadhatu ‘alal qodimis shalih wal-akhdu bil jadidil ashlah (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang terbukti lebih baik), mempertahankan yang baik dari tradisi yang sudah ada tetapi mengambil yang lebih baik dari kemajuan, itu satu-satunya sikap yang akan membantu umat Islam di Indonesia untuk tidak jumud, tidak kaku. Tetapi tetap berakar pada nilai-nilai kearifan tradisi kita sendiri. Jadi nilainya, bukan ritualnya. Jadi kita ngga perlu untuk merasa terancam dengan kelompok lain atau peradaban yang lain, karena kita sesungguhnya memiliki poros. Bahwa kita punya nilai-nilai ini, dan ini perlu kita pertahankan, tetapi kalau ada yang lebih baik, ini juga perlu kita ambil.
Tidak menutup diri pada perubahan, kemajuan, pada modernisasi. Tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai kearifan kita sendiri. Nah, PR nya Gusdurian dan umat Islam di indonesia adalah menggali nilai-nilai kearifan apa yang sudah ada, yang diwariskan pendahulu kita, para pendiri bangsa, para masyayikh (tetua), dan seterusnya. Tetapi pada saat yang sama juga membuka diri, terhadap inovasi-inovasi perkembangan peradaban, perkembangan keilmuan. Tujuannya, selalu ujungnya tetap kemaslahatan umat. Sehingga Islam rahmatan lil ‘alamiin betul-betul bisa kita pegang. Jadi menggali kearifan kita sendiri, tapi juga pada saat yang sama membuka diri pada kemajuan dan perkembangan zaman. (Ahmad/Yudhi)