Berita
Bencana Tanah Longsor Masih Mengancam!
Sebagai bagian dari siklus alam, bencana merupakan fenomena yang tak bisa dihindari. Ia akan selalu ada dan berulang. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia sendiri dari ujung barat hingga ujung timur merupakan daerah paparan bencana mulai dari gempa, tsunami, banjir, juga longsor. Tak hanya harta, ribuan nyawa telah ditelan bencana.
Belum hilang dari ingatan kita jerit pilu keluarga di Dusun Jemblung, Karangkobar Banjarnegara saat melihat sanak keluarga tercinta ditimbun longsor 12 Desember 2014 lalu. Ketidaksiapan masyarakat dan pemerintah menghadapi bencana telah memakan korban ratusan jiwa tak berdosa.
Di musim penghujan ini, yang puncaknya di bulan Januari dan Februari, BNPB memperkirakan bencana longsor masih mengancam beberapa daerah di Indonesia. Menurut BNPB kejadian longsor sangat dipengaruhi musim penghujan. Selama sepuluh tahun terakhir bencana longsor terjadi banyak di bulan Januari, Februari, dan Maret.
“Hujan itu penyebab utama. Kalau tak hujan tentu tak jadi longos. Apalagi setelah kemarau kerenggangan tanah itu besar. Jika hujan lebat dan lama, tentu air yang masuk ke dalam tanah bisa mengakibatkan tanah longsor,” terang Kepala Bidang Peringatan Dini Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG), Kukuh Ribudiyanto. “Apalagi jika di tempat yang kemiringannya tajam dan jarang ada pepohonan.”
Dalam pantauan BNPB, trend kejadian bencana bencana tanah longsor sendiri dari tahun 2005-2014 cenderung mengalami peningkatan. Di tahun 2014 sendiri sudah lebih dari 350 kejadian tanah longsor. Total dalam kurung waktu sepuluh tahun terakhir ada 2.278 kejadian tanah longsor, 1.815 meninggal/hilang. 79.339 mengungsi, 7.679 rumah rusak berat, 1.186 rusak sedang, 8.140 rusak ringan. Jumlah yang tentu tak boleh diremehkan.
BNPB menyebutkan wilayah rawan longsor di Indonesia, tersebar di sepanjang bukit Barisan di Sumatera, Jawa bagian tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. 274 kabupaten/kota berada di dalam bahaya bencana longsor. Tiga kota yang terbanyak terkena longsor adalah Wonogiri (90 kali), Bogor 75 kali), dan Wonosobo (72 kali). Bagi warga tiga kota ini dihimbau harus lebih ekstra hati-hati.
Ubah Paradigma Kebencanaan, Kunci Wujudkan Masyarakat Tangguh Bencana
Praktisi kebencanaan, Petrasa Wacana, saat ABI Press wawancarai menyebutkan bahwa dalam menghadapi bencana ini pertama masyarakat harus memiliki pemahaman mengenai ancaman bencana di lingkungannya.
“Ketika kita paham bahwa sekitar kita ada ancaman. Kita akan berpikir apa respon kita terhadap ancaman. Kalau kita tidak merespon apa-apa berarti kita rentan dari ancaman bencana,” ujar Petrasa.
Petrasa mencontohkan seperti di Kebumen, masyarakatnya yang tinggal di lereng bukit karena sadar ancaman tanah longsor membangun rumah dari bambu tanpa paku, hanya diikat. Sehingga ketika tanah longsor, rumah ikut bergerak mengikuti pergerakan tanah.
Selain Kebumen, Petrasa juga mencontohkan bagaimana masyarakat Sasak di Lombok Barat, di desa Blantik memiliki hukum adat awik-awik. Yaitu hukum adat untuk melindungi hutan.
“Kearifan lokal itu kan bagaimana orang beradaptasi. Ini bagian dari kearifan lokal ketika masyarakat paham di sekitar mereka ada ancaman,” terang Petrasa. “Berdasarkan sejarah, bencana pasti berulang. Informasi dari generasi ke generasi inilah yang harus dijaga agar jangan sampai terputus.”
Meski ada modal kearifan lokal, Petrasa mengakui bahwa ada juga masalah sosial yang justru membuat masyarakat lupa dengan kearifan lokal warisan leluhur.
“Misalnya kalau rumah tidak tembok takut dianggap orang miskin. Orang tak berpikir bahwa rumahnya itu dibangun kontruksinya agar bisa adaptasi jika ada bencana. Itu yang kadang-kadang menjadikan kearifan local itu luntur,” ujar Petrasa.
“Juga pandangan fatalistik ketika terjadi bencana warga hanya pasrah dan menyebutnya sebagai ‘takdir’ Tuhan, atau itu ‘azab’ Tuhan,” tambah Petrasa. “Ini terutama di daerah-daerah religius seperti Sumatera Barat, Aceh, NTT, juga Papua.”
Ancaman dan Bencana, Risiko dan Dampak
Salah satu paradigma yang juga penting untuk diubah menurut Petrasa, adalah prioritas antara ancaman dan bencana. Antara risiko dan dampak.
“Misal di desa A jumlah meninggal 500 orang sementara yang terdampak 5.000 orang. Desa B meninggal 5.000 orang terdampak 500 orang. Banyak orang akan berbondong-bondong ke desa B. Padahal kalau dalam konteks emergency itu, dalam konteks risiko yang harus diprioritaskan itu mestinya justru desa A. Karena kalau tidak direspon cepat bisa jadi mereka akan jadi korban,” tutur Petra.
“Sayangnya media biasanya hanya melihat berita dari sisi bagaimana korbannya tidak dari orang-orang yang terdampak,” keluh Petra. “Begitu juga banyak relawan yang lebih tertarik pada aksi ‘heroik’ penanganan bencana di lokasi bencana. Padahal bagaimana masyarakat yang terdampak agar bisa pulih dan menjadi tangguh menghadapi bencana itu lebih penting.”
“Investasi 1 dolar untuk tindakan pencegahan dan pembentukan masyarakat tangguh bencana itu, akan menghemat 7 dolar biaya penanganan bencana,” pungkas Petrasa, mengutip hasil penelitian di Amerika mengenai nilai pentingnya pencegahan dan pembangunan masyarakat sadar bencana ketimbang sekedar penanganan paska bencana. (Muhammad)