Berita
Dua Pesan dari Peshawar
Di era pendudukan kolonial Inggris, tepatnya tahun 1927, tersebutlah seorang alim ulama agung dari Shiraz, Iran, yang memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Pakistan dan singgah beberapa lama di sebuah kota bernama Peshawar. Sang alim bernama Ayatullah Sayyid Mohammad Shirazi ini tekun mendakwahkan ajaran Ahlulbait ke tengah masyarakat. Tentu saja, sebagaimana resiko seorang muballigh di sebuah komunitas baru, pro kontra terhadap geliat aktivitas Sayyid Shirazi mulai mengemuka dibicarakan warga setempat. Sebagian khalayak menerima, namun sebagian lain terkhusus pemuka Ahlussunnah kurang setuju.
Sebuah langkah kemudian dilakukan oleh kubu yang kontra kehadiran Sayyid Shirazi untuk menanggapi dakwahnya. Apakah “tanggapan” itu berupa caci maki verbal? Atau beramai-ramai melakukan pengusiran agar dia angkat kaki ke kampung halamannya? Atau lebih parah lagi, kelompok kontra hendak merencanakan pembunuhan atas diri Sayyid dengan mengatasnamakan pemurnian akidah? Tidak, semua opsi mengerikan itu tidak pernah terjadi. Justru dari pihak Ahlussunnah mengajukan tabayyun secara ilmiah terhadap mazhab Ahlulbait yang dibawa oleh ulama Iran tersebut.
Meski tidak sepaham, namun dua ulama besar Sunni di masa itu yakni Hafiz Muhammad Rashid dan Sheikh Abdus Salam dari Kabul bersedia duduk berdiskusi dengan Sayyid Shirazi mengenai persoalan agama selama lebih kurang sepuluh malam. Diskusi publik bersejarah yang dihadiri 200 penonton ini pun tak ayal diliput oleh surat kabar lokal. Lalu seperti diketahui, hasil diskusi tersebut dibukukan dalam karya fenomenal Peshawar Nights yang telah di sudah dialihbahasakan pula ke Indonesia. Nama Peshawar menjadi harum karena gairah keilmuannya.
Tak dinyana 87 tahun kemudian tiba-tiba Peshawar kembali mencuat bahkan hingga media internasional beramai-ramai menyorotnya. Sayangnya kali ini bukan karena pretasi keilmuan atau hal-hal membanggakan lainnya. Kota ini berkabung setelah sekelompok takfiri bersenjata yang menamakan dirinya Tehrik-i Taliban menyerbu sebuah sekolah di bawah pengelolaan militer. 145 orang, 132 di antaranya adalah pelajar belia tewas dalam teror biadab tersebut. Saya menangkap fenomena-fenomena yang saling bertolak belakang ini sebagai dua pesan berbeda dari satu kota yang sama. Marilah kita bahas satu per satu.
Peristiwa pertama mewartakan pada kita pesan perdamaian dari Peshawar, bahwa perbedaan cara pandang akan lebih baik bila dikompromikan secara sehat dalam forum bernuansa ilmiah. Baiklah saya akui jika kalimat itu terdengar klise, seperti argumen seorang anak sekolah dasar dan membuat benak berpikir, “semua orang mah juga tahu kalau win-win solution itu bagus”. Tetapi, apakah semudah itu merealisasikannya terlebih bagi seorang alim dengan kadar keilmuan agama tinggi untuk bisa berbesar hati duduk bersama menerima kritikan dari pihak-pihak yang tidak sepaham dengan dirinya?
Berapa banyak yang masih menjalankan wasiat bijak dari lisan para arif agar alim ulama sebagai pewaris keilmuan Nabi dan imam tidak terjebak pada ujub? Serta sudah berapa banyak mereka yang bertitel agamawan namun karena merasa lebih berpengetahuan dari muslim lainnya lantas tidak mau bergaul dengan kelompok lainnya hatta melakukan pengkafiran?
Sayyid Shirazi dan ulama Sunni sebagaimana tercatat di Peshawar Nights justru mengedepankan cara-cara beradab. Kedua pihak tetap rendah hati, meniatkan diri untuk mencapai kesepahaman, saling mereproduksi pengetahuan, dan tidak berniat melakukan konfrontasi. Bukan malah membuat orang lari menjauhi mutiara Islam, justru kejadian selama 10 malam tersebut mampu menarik perhatian warga secara positif. Lebih hebatnya, setelah diskusi publik dihelat tidak ada catatan menyebutkan salah satu kelompok yang merasa “kalah” melakukan aksi balas dendam karena tidak mampu berlapang dada.
Kebalikannya dengan peristiwa kedua, sekelompok orang yang merasa diri paling Islam justru menebar pesan teror terhadap dunia pendidikan. Taliban, Al-Qaeda, maupun kelompok sejenis tidak memiliki iktikad untuk mengulangi pesan damai yang 87 tahun silam pernah dirintis di persada Peshawar. Mengutip informasi dari portal berita independent.co.uk, alasan mereka melakukan pembantaian keji ini saya yakin membuat manusia manapun yang masih memiliki nurani akan gemas, “Kita ingin (pemerintah) merasakan kepedihan yang sama seperti ketika mereka membunuhi anak perempuan kami”.
Balas dendam! Ya, motif yang sungguh kekanakan dan menghasilkan lingkaran setan kekerasan. Inikah cerminan “Islam” versi Taliban yang hendak disebarluaskan dari Peshawar untuk dunia? Ini adalah penodaan hebat terhadap upaya perdamaian yang dirumuskan oleh ulama-ulama besar dahulu di kota yang sama. Padahal tentu kita semua termasuk anggota Taliban saya yakin sudah sering mendengar hadis-hadis soal keutamaan menuntut ilmu, namun mengapa jua gerakan yang mencitrakan diri sebagai pembela syariat ini justru seolah mengacuhkan hadis-hadis tersebut dan malah membunuh kelompok yang oleh Allah sendiri dijanjikan mendapat rahmat dari penghuni lautan di setiap langkah mereka (yakni, pelajar)? (Fikri)