Buku
Resensi Buku Mazhab Kelima
Judul Buku : Mazhab Kelima; Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya
Penulis : Prof. Muhammad Husain Thabathaba’i
Penerbit : Nur Al-Huda
Halaman : 344 halaman
Cetakan : Cetakan 1, April 2013
Sebagai ulama Syiah di era modern yang kapasitas keilmuan dan produktivitas karyanya sudah tak diragukan lagi, Muhammad Husain Thabathaba’i atau biasa dikenal sebagai Allamah Thabathaba’i kembali menulis buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul “Mazhab Kelima,” Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya.
Latar belakang penulisan buku ini, seperti dijelaskan oleh intelektual Muslim, Sayid Husein Nasr pada bagian prakata, adalah untuk menjawab berbagai syak wasangka yang dituduhkan oleh orientalis Barat mengenai ajaran Syiah. Menurut Nasr, dikarenakan minimnya kajian mendalam, terbatasnya referensi yang otoritatif serta aroma tendensi politis untuk menajamkan perbedaan mazhab, Syiah digambarkan oleh orientalis Barat sebagai sebuah sekte politik yang tidak terlalu berharga dipelajari, heterodoxy (menyimpang dari mainstream Islam pada umumnya), bahkan dicap sebagai heresy (ajaran menyimpang).
Meski tidak sedikit pula beberapa intelektual Barat seperti Louis Massignon, Henry Corbin, atau Annemarie Schimmel yang berupaya menjelaskan Syiah secara adil.
Tidak ingin proses taqrib antarmazhab berakhir sia-sia, maka Allamah Thabathaba’i beserta Sayid Husein Nasr yang membantu memberi pengantar, editing, dan lampiran pada buku ini merasa wajib menerbitkan sanggahan intelektual terhadap para orientalis.
Secara umum buku ini membahas soal latar belakang historis kelahiran Syiah, perkembangan cabang aliran dalam tubuh Syiah, akidahnya, berikut ushuluddin.
Ciri khas pemikiran Allamah terlihat kentara di buku ini. Ada dua keunggulan buku yang dapat disoroti dalam resensi ini. Pertama, selain menggunakan dalil primer nash Al-Qur’an dan hadis, baik dari sumber Syiah maupun Sunni, penulis sangat piawai menyandarkan argumennya dengan filsafat. Hebatnya, jika argumen filsafat seringkali terjebak pada penggunaan bahasa berat dan sulit dipahami pembaca awam, dalam buku ini Allamah mampu memakai bahasa sederhana. Inilah variabel pembeda “Mazhab Kelima” Allamah dengan buku-buku sejenis yang bersifat pengantar kajian ajaran Syiah. Sebagian besar buku pengantar yang ada, pada umumnya memberikan porsi lebih pada aspek ritual ibadah dan kurang menjelaskan aspek irfan. Kemungkinan ini disebabkan karena penulis buku bertema serupa tidak ingin menyulitkan pembaca pemula.
Kelebihan kedua ialah adanya bab khusus membahas cabang-cabang aliran dalam Syiah (hal. 101). Allamah memberikan deskripsi ringkas namun padat soal sejarah dan ciri-ciri berbagai sub-aliran dalam Syiah. Penulisan bab ini penting karena seringkali khalayak pemula, kesulitan mengidentifikasi manakah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyyah yang banyak dianut di belahan dunia termasuk Indonesia, dengan sub-aliran Syiah lainnya yang terkadang sering dijumpai melakukan praktik pemahaman berbeda dengan Syiah mainstream. Kerancuan membedakan aliran-aliran dalam Syiah plus ulah sebagian kalangan takfiri yang dengan sengaja memanfaatkan ketidaktahuan umat demi memecah belah ukhuwah ini lalu menimbulkan berbagai miskonsepsi terhadap ajaran Ahlul Bait. Salah satu senjata yang sering digunakan kalangan takfiri untuk menghukumi “sesatnya Syiah” dan sempat beredar luas di sebuah forum online adalah adanya catatan sejarah bahwa pihak Syiah bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian besar di Makkah-Madinah pada 929 Masehi. Padahal, pelakunya hanya sebagian kecil dari sebuah sub-aliran bernama Qaramithah yang kini sudah punah keberadaannya. Belum lagi, serangan lewat upaya menonjolkan sosok kontroversial “tokoh” Syiah, Yasser Habib padahal sejatinya di lingkungan Syiah sendiri, sosok ini sudah dikucilkan karena mempraktikkan sikap ghuluw (berlebih-lebihan).
Secara keseluruhan, buku bersampul hardcover ini layak untuk dimiliki siapa saja yang hendak mempelajari Syiah terutama dari segi filosofis dan penting untuk mengenal perkembangan Syiah agar tidak mudah dijerumuskan oleh informasi keliru baik yang berasal dari akademisi orientalis Barat maupun oknum takfiri. Terlebih, otoritas Allamah Thabathaba’i dan kapasitas Sayid Husein Nasr sudah cukup membuat buku ini tak diragukan lagi sebagai buku pengantar yang layak masuk kategori “Must Read !” (Fikri/Yudhi)