Berita
Menggali dan Memahami Makna Universal Arbain
(Wawancara dengan Ustaz Abdullah Beik)
Peringatan Arbain sebagai bentuk mengenang pengorbanan keluarga Rasulullah untuk agama Allah seringkali mendapatkan penilaian miring dari sebagian kalangan.
Untuk memperjelas persoalan seputar Arbain, ABI Press mewawancarai Ustaz Abdullah Beik. Berikut ini petikannya.
Apa Arbain itu dan mengapa menjadi penting untuk diperingati?
Arbain sesuai dengan arti katanya adalah 40. Artinya 40 hari pasca kesyahidan Imam Husein as, yang syahid pada 10 Muharam dan 40 hari berikutnya adalah 20 Safar. Kenapa dilakukan peringatan kembali Arbain? Hal ini karena beberapa faktor, pertama adalah sumber sejarah yang menyebutkan bahwa kafilah Imam Husein atau kafilah tawanan Ahlul Bait pasca kesyahidan Imam Husein yang dipimpin Sayidah Zainab dan Imam Ali Zainal Abidin yang masih sakit pada masa itu, setelah peristiwa Asyura mereka digiring dari Karbala ke Kufah lalu menuju Damaskus dan kemudian kembali dari Damaskus menuju Karbala yang dalam catatan sejarah melewati Mesir. Karena itu di Mesir ada Masjid “Kepala Imam Husein” atau Masjid Ra’sul Husein karena menurut sejarah kepala suci Imam Husein pernah diletakkan di tempat itu. Meski sebagian meyakini kepala Imam Husein dikuburkan di sana tapi mayoritas atau mungkin semua ulama Syiah meyakini tidak demikian. Melainkan hanya pernah diletakkan di sebuah batu dan batu itu menjadi bagian dari masjid di Mesir . Sedangkan kepala suci itu dibawa kembali ke Karbala yang waktu tibanya itu tepat pada arbain atau hari ke 40.
Memang ada perbedaan pandangan apakah maksudnya hari ke 40 atau 20 Safar di tahun itu atau tahun berikutnya. Sebagian ulama meyakini tahun berikutnya karena berdasarkan hitungan normal, orang berjalan biasa itu tidak akan cukup 40 hari kembali ke Karbala dengan rute perjalanan darat dari Karbala ke Damaskus dan kembali lagi ke Karbala. Apalagi dengan asumsi, mungkin saja perjalanan itu diselingi dengan beberapa kali istirahat di berbagai tempat.
Ditambah lagi jika waktu beberapa hari kafilah itu berada di Istana Yazid di Damaskus, maka bisa jadi perjalanan kembali ke Karbala memakan waktu yang lebih lama lagi. Itu sebabnya ada pula yang meyakini bahwa kafilah sampai pada tahun berikutnya. Tetapi seingat pembacaan saya dan penuturan para ulama, banyak yang meyakininya di tahun itu pula. Jadi mungkin perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang singkat, dalam artian tidak banyak berhenti di banyak tempat.
Ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh sebagian ulama yang menyebutkan waktu tempuh 40 hari itu bisa dan mungkin terjadi. Artinya, ada bukti-bukti sejarah yang menyebutkan misalnya bahwa dalam 40 hari itu memungkinkan bagi kafilah Ahlul Bait untuk kembali ke Karbala.
Setibanya di Karbala sejarah mencatat bahwa beliau berdua, yakni Imam Ali Zainal Abidin dan Sayyidah Zainab beserta rombongan bertemu seorang shahabat Nabi yang bernama Jabir bin Abdullah al Anshari, yang Jabir itu sudah dalam kondisi buta karena sudah tua. Jabir adalah seorang pencinta Ahlulbait yang saat tragedi Karbala beliau tidak bisa ikut karena tua dan buta.
Tetapi hal itu kemudian mendorong beliau, artinya kecintaan itu kemudian mendorong Jabir, untuk berziarah ke Karbala. Waktu sampainya di Karbala pun pas hari Arbain sehingga bertemulah kedua Kafilah ini; yang satu dari Madinah dan yang satu dari Damaskus. Itulah sebuah pijakan yang kemudian oleh Muslim Syiah dijadikan sebagai prosesi peringatan Arbain.
Jadi, mengikuti seorang Jabir sebagai seorang sahabat dan pencinta Rasul atau mengikuti apa yang dilakukan oleh Imam Ali zainal Abidin dan Sayidah Zainab untuk berziarah. Itu yang pertama, yakni dari catatan sejarah yang menurut saya dari sini, Muslim Ahlusunnah itu semestinya juga bisa mengakui sebagai sumber hukum yang kuat, karena salah satu sumber hukum dari Ahlusunnah itu cukup pekerjaan yang dilakukan oleh seorang sahabat itu bisa menjadi hujjah, menjadi otoritas, menjadi sesuatu yang valid untuk bisa diikuti.
Lalu mengapa Arbain itu menjadi penting untuk terus kita peringati?
Peringatan Arbain ini menjadi penting karena dua hal, yang pertama adalah adanya beberapa riwayat dari Ahlul Bait pasca Imam Husein yang mengatakan bahwa ziarah Arbain itu penting. Ziarah di hari Arbain dianggap sebagai ciri khas seorang mukmin, ciri khas seorang pengikut Ahlul Bait.
Misalnya dalam sebuah hadis masyhur yang makruf yang dibawakan oleh Imam Hasan al Askari, di jaman itu beliau memberikan ciri kepada para pengikut Ahlul Bait itu dengan melakukan ziarah Arbain, itu yang pertama yakni adanya beberapa riwayat. Yang kedua, karena pelajaran yang bisa ditelaah dan bisa menjadi pengingat kembali terhadap peristiwa perjalanan tawanan Ahlul Bait itu tidak bisa disampaikan pada hari-hari Asyura atau pra Asyura sampai Asyura, sebagaimana diketahui pengikut Ahlul Bait juga selalu melakukan majelis duka Imam Husein pada waktu-waktu tersebut.
Ceramah tentang Imam Husein dan apa yang bisa digali dari itu, sebelum Asyura mungkin mulai dari tanggal 1 hingga 10 Muharam. Biasanya kisah yang diambil adalah untuk mengingat kembali dalam rangka menangisi apa yang menimpa Imam Husein yang puncaknya ada pada hari Asyura. Padahal terdapat pelajaran-pelajaran yang juga bisa diambil tetapi tidak bisa diceritakan pada saat pra Asyura dan Asyura, karena saat itu tidak lazim ada cerita tentang kafilah pasca syahidnya Imam Husein di Karbala, melainkan hanya fokus pada tragedi Asyura.
Jadi kapan cerita tentang perjalanan kafilah Ahlul Bait pasca Asyura itu diceritakan? Itu pada masa Arbain. Baik di hari Arbainnya, atau di sebagian negara banyak juga yang melakukan kajian sebelum Arbain. Mungkin seminggu sebelum Arbain atau 10 hari sebelum 20 Safar itu dilakukan kajian-kajian yang episodenya adalah episode pasca Asyura. Tentang apa saja yang terjadi pada kafilah itu, baik tentang duka atau kesedihan yang dialami oleh Alhul Bait atau berbagai pelajaran lain yang bisa diambil. Karena kalau kita mengambil satu paket hikmah peristiwa Asyura itu tidak hanya berhenti pada Asyura saja tetapi dilanjutkan oleh kafilah ini.
Dalam episode itulah ada khotbah-khotbah Sayidah Zainab di sepanjang jalan ketika banyak orang bertanya langsung siapa mereka yang berada di kafilah itu. Begitu juga saat di istana Ubaidillah bin Ziyad dan di istana Yazid. Selain itu, masih ada Imam Ali Zainal Abidin yang berbicara kepada berbagai kelompok di sepanjang jalan itu, yang menurut banyak riwayat, banyak sekali khotbah beliau yang kemudian bisa diambil juga sebagai pelajaran.
Untuk kita yang ada di Indonesia, seperti apa kita harus memperingati Arbain ini?
Kalau kita kembali pada riwayat itu, tentu yang paling afdol adalah Ziarah dekat. Karena tidaklah sama orang ziarah dekat dengan ziarah jauh tetapi tentu sesuai dengan kemampuan. Tentu saja banyak orang secara realitas tidak bisa melakukan ziarah dari dekat akibat ketidak kemampuan finansial atau kewajiban-kewajiban yang lain yang tidak bisa ditinggalkan.
Maka untuk gantinya, pengikut Ahlul Bait bisa melakukan ziarah dari jauh dengan melakukan peringatan-peringatan di berbagai belahan dunia. Itu adalah sebuah ritual yang biasa dilakukan. Di Indonesia pun para pencinta Ahlul Bait melakukannya di beberapa tempat. Mereka memperingati Arbain, yang intinya pada momen ziarah jauh itu tentu juga ada ceramah, tentu juga di situ ada pembacaan narasi duka, yang kesemuanya diadakan dalam rangka mengingatkan kembali pada apa yang menimpa Imam Husein, keluarga dan para sahabatnya saat Asyura dan pasca Asyura, sekaligus mengambil berbagai pelajaran penting darinya.
Menurut saya banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dalam perjalanan itu, khususnya khotbah-khotbah dan diskusi-diskusi yang dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin dan Sayidah Zainab. Itu bisa menjadi bekal bagi pengikut Ahlul Bait di manapun mereka berada, baik itu bekal dalam kehidupan keberagamaan personal, bagaimana loyalitas pada agama, loyalitas kepada ajaran agama sekaligus juga kewajiban komunal, kewajiban bermasyarakat, kewajiban bernegara. Bagaimana menggali nilai-nilai kemanusiaan nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai keadilan dari berbagai riwayat yang bisa diambil dalam cerita atau dalam kisah pasca Asyura sampai dengan Arbain.
Apa saja menurut Ustaz pelajaran yang dapat kita teladani yang cocok dengan situasi saat ini?
Menurut saya ada beberapa hal, di antaranya adalah bagaimana kita mesti punya jiwa rela berkorban yang contohnya bisa kita ambil dari peristiwa Asyura dan Arbain. Yakni dari pelaku kebangkitan yang dilakukan oleh baik Imam Husein sendiri, keluarga ataupun para sahabatnya. Begitu juga pasca Asyura bagaimana mereka dalam rangka menjaga agama ini tetap rela untuk berkorban, letih, susah, payah, ditawan, digiring dan berbagai kesulitan lainnya, tapi mereka juga rela menanggungnya. Karena mereka punya pemahaman yang benar bahwa manusia itu harus berkorban demi menjaga agama ini, baik agama dalam artian sebuah doktrin, sebuah keyakinan yang harus diyakini sendiri atau kemudian ditransformasikan ke generasi berikutnya. Khususnya pada bagaimana kita menjaga agama untuk diri kita masing-masing, sangat penting bagaimana kita bisa mempertahankan nilai-nilai agama itu untuk kemudian kita amalkan.
Tentunya, segala nilai agama itu akan punya efek selain untuk pribadi pasti ada efeknya juga bagi masyarakat. Karena itu bagi bangsa Indonesia, kalau kita mau mempelajari dan menggali, tentu nilai-nilai pengorbanan untuk menjaga nilai agama itu pasti akan bermanfaat juga untuk seluruh bangsa. Misalnya bagaimana orang bisa menjaga dirinya untuk jujur dalam apa yang dia lakukan, jujur dalam melaksanakan amanat, tidak korupsi, tidak melakukan manipulasi, dalam berbagai hal. Karena korupsi, manipulasi, dan tidak jujur dalam melaksanakan berbagai amanat dan tugas itu sangat merugikan negara, sangat merugikan bangsa, sangat merugikan rakyat.
Semangat itu bisa digali setiap orang dan kemudian bisa menanamkan jiwa pengorbanan itu dalam dirinya dengan misalnya meneladani nilai-nilai yang ada dalam Asyura, dari kafilah Imam Husein pasca Asyura hingga Arbain.
Bagaimana dengan anggapan sebagian saudara-saudara kita yang menuduh bahwa prosesi peringatan Arbain itu lebih penting daripada menunaikan ibadah Haji?
Mungkin perlu diperjelas, kalaupun misalnya ada riwayat yang menyebutkan begitu, tentu riwayat itu harus dipahami tidak parsial. Artinya, semua hadis yang ada itu tidak bisa dipahami secara parsial sebagaimana ayat Al-Qur’an pun tidak bisa dipahami secara parsial. Hadis, ayat tetep harus dipahami secara utuh, secara holistik dengan berbagai ayat dan hadis lain.
Jadi kalau misalnya dihadapkan pada pertanyaan mana yang lebih penting antara ziarah Imam Husein dengan Umrah atau dengan Haji, tentu akan berbeda kodisinya antara orang yang memang belum pernah melakukan ibadah Haji dan orang yang belum pernah Umrah, dengan mereka yang sudah atau bahkan berkali-kali Haji dan Umrah.
Hadis yang menyebutkan bahwa ziarah Arbain itu adalah penting, pertama bisa jadi pada kondisi yang disampaiakan oleh Imam pada saat itu. Bahwa ziarah Arbain adalah sangat penting mungkin pada kondisi para Imam ingin memberikan sebuah pelajaran penting pada saat itu kepada umatnya yakni menghidupkan kembali, mengingatkan kembali memberikan motivasi kembali dengan cara misalnya ziarah kepada Imam Husein itu adalah salah satu faktor yang bisa difahami.
Yang kedua adalah tentu bagi orang yang sudah melakukan ibadah Haji, bagi orang yang sudah melakukan Umrah, apa lagi berkali-kali, maka ziarah Arbain adalah lebih afdol daripada misalnya Haji lagi atau Umroh lagi. Khususnya karena waktunya memang berbeda, atau karena ongkos perjalanan dan uangnya yang tidak mencukupi.
Tapi bagi mereka yang tidak pernah melakukan ibadah Haji ataupun tidak pernah Umrah, tentu Haji adalah kewajiban. Jadi tidak bisa dibandingkan antara sebuah kewajiban dengan sebuah amalan Sunnah karena ziarah Arbain atau ziarah Imam Husein pada waktu-waktu yang lain adalah Sunnah. Tidak ada satu pun ulama yang meyakininya wajib. Maka hadis itu tidak lebih ingin mengatakan bahwa bagi mereka yang sudah berhaji dan sudah tidak ada lagi kewajiban berhaji karena Haji itu kewajibannya adalah satu kali seumur hidup, begitu juga Umrah adalah tidak wajib, maka ziarah Arbain atau ziarah Imam Husein itu tentu punya nilai, punya efek, punya motivasi positif yang akan tertanam dalam diri seseorang setelah dia melaksanakan ziarah Arbain, maka karena itulah disebut lebih afdol.
Arbain selalu diidentikkan dengan Syiah tapi pada kenyataannya di lapangan, yang melaksanakan ziarah Arbain bukan cuma orang Syiah, bagaimana dengan hal itu?
Pertama, seperti yang saya katakan tadi, kalau merujuk pada catatan sejarah bahwa yang pertama melakukan ziarah Arbain itu adalah sahabat Jabir bin Abdullah al Anshari, begitu juga Imam Ali Zainal Abidin dan Sayidah Zainab. Maka ini cukup untuk menjadi alasan bahwa orang berziarah kepada Imam Husein di hari Arbain karena sudah ada teladan, ada contoh dari sahabat Nabi. Karena itu Arbain tidak khusus Muslim Syiah, yang meyakini bahwa Imam Ali Zainal Abidin adalah teladan, para ulama dan kaum Muslimin yang lain pun juga meyakini secara umum bahwa mereka ini bisa menjadi teladan.
Yang kedua, bahwa budaya ziarah tentu juga bukan khusus bagi Syiah. Budaya ziarah juga diyakini oleh Ahlusunnah bahkan ziarah kepada Rasul yang kemudian digandengkan dengan Haji dan Umroh itu adalah menujukkan akan budaya ziarah yang ada pada kaum Muslimin secara umum. Tetapi dengan momen khusus Arbain, tentu menjadi beda. Tapi pada umumnya, tradisi ziarah itu adalah milik semua.
Ditambah lagi, tentu setiap orang akan melihat bahwa yang penting dalam ritual itu adalah bagaimana mengambil hikmah dan orang akan lebih merasa bahwa dia tertuntut lebih termotivasi untuk mengambil hikmah itu ketika dia ikut terlibat dalam menapak tilas apa yang dilakukan oleh Ahlul Bait atau seperti yang dicontohkan oleh sahabat Nabi, Jabir, yang rela berjalan kaki dari jauh untuk datang berziarah lebih dekat kepada Imam Husein.
Orang pasti akan lebih merasakan itu dan saya kira tidak beda antara Syiah dengan Ahlusunnah ketika merasakan bahwa ini adalah sebuah motivasi, ini adalah inspirasi, ini, adalah sebuah kekuatan yang bisa men-charging dirinya dalam rangka lebih mendekatkan diri kepada Allah, lebih bisa menggali nilai-nilai dan lebih membumikan nilai-nilai tersebut.
Di dalam prosesi Arbain saya lihat ada beberapa saudara kita yang dari Nasrani ikut dalam prosesi tersebut, bagaimana pendapat Ustaz terkait hal ini?
Itu karena memang nilai-nilai yang ada di situ universal, nilai-nilai yang tidak tersekat oleh ajaran agama atau mazhab tertentu. Maka orang pasti akan meyakini bahwa itu sebagai nilai yang tinggi, nilai yang patut untuk digali dan dibumikan. Nilai keadilan, nilai pengorbanan, memperjuangkan kebenaran, itu semuanya adalah nilai-nilai universal dan orang merasa kalau itu memang sebagai nilai universal yang layak mereka raih. Bagaimana meraihnya? Itu akan lebih terasa ketika ditelaah, diteladani, dilakukan, ditapak tilasi. Karena tentu akan lebih memberikan efek yang berbeda daripada sekadar baca buku dan tanpa mengamalkannya. Sebab itu bisa saja dari berbagai agama khususnya Nasrani yang sangat dekat dengan Islam. Terlebih lagi Nasrani Arab yang tinggal di sekitar Irak dan di Irak sendiri, adalah mereka yang sangat mengenal nilai-nilai itu.
Bahkan mungkin kalau kita lihat di India misalnya, umat Hindu di India sangat mengenal Imam Husein, sangat mengenal nilai-nilai yang diperjuangkan Imam Husein. Mungkin dari bacaan mereka sendiri, atau dari apa yang sering mereka dengar saat disampaikan oleh para penceramah di berbagai majelis Asyura dan Arbain, yang itu kemudian menjadikan mereka tertarik. Sekali lagi karena nilai-nilai pengorbanan itu sangat sesuai dengan fitrah, sangat sesuai dengan nilai-nilai universal, maka tidak lagi memandang agama apapun.
Apakah ini menandakan bahwa Arbain itu bukan milik satu mazhab ataupun satu agama tertentu melainkan milik seluruh umat manusia?
Ya, saya meyakini bahwa sebagaimana Islam itu diturunkan, yakni Rasulullah itu diturunkan untuk semua manusia maka dari itu disebutkan sebagai “rahmatan lilalamin,” maka begitu juga para penerus Rasulullah, para Imam suci itu juga adalah milik seluruh umat manusia. Hanya saja kemudian sejauh mana manusia bisa memanfaatkan itu. Mungkin momen-momen tertentu semacam Asyura dan Arbain itulah yang menjadi sebuah magnet yang bisa menarik mereka.
Di sisi lain, kalau saja setiap orang atau semua manusia itu mau menggali dan mendalami ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi atau yang dilanjutkan oleh para Imam, tentu saya kira juga akan menjadi magnet yang sama.
Apa pesan Arbain untuk tahun ini?
Saya kira pada setiap momen atau peristiwa yang berhubungan dengan Alhul Bait maka menurut saya pesan yang selalu harus ada adalah bagaimana kita bisa menghidupkan dan membumikan nilai-nilai mulia yang diajarkan oleh Ahlul Bait itu di dalam kehidupan kita. Pada saat yang sama juga kita tidak lupa untuk tetap memupuk dan memberikan pesan yang selalu harus kita ulang-ulang kepada para pengikut Ahlul Bait pada khususnya untuk selalu bisa menjalin persatuan di kalangan kaum Muslimin dan persatuan itu juga adalah bagian nilai yang harus diambil dari teladan kehidupan para Imam suci Ahlul Bait.
Sepanjang hidup mereka, mereka selalu mengedepankan persatuan. Baik dari Imam Ali sampai pada Imam Mahdi misalnya, itu selalu kita lihat dalam kehidupannya bahkan banyak pengorbanan yang telah mereka lakukan. Mereka pun berkorban dalam rangka mengedepankan persatuan. Karena itu menurut saya layak para pengikut Ahlul Bait selain mengambil nilai-nilai yang lain, nilai persatuan ini juga tak kalah pentingnya untuk selalu diingatkan.(Lutfi/Yudhi)