Berita
Murtini dan Sukinah, Dua Kartini dari Rembang
“Bumi niku kan wis nyuwun tulung sak jane. Anakku tulungono aku, aku iki lagi kesusahan aku lagi nangis-nangis njaluk tulung. Kulo sebagai anake kan merasa terpanggil, dulur-dulur terpanggil. Kudu nyelametna gunung.”(Ibu Sukinah)
Kartini tidak mati. Kartini masih hidup dan akan terus hidup di Rembang. Di dada wanita-wanita pemberani di pegunungan Kendeng yang berbulan-bulan tegar melindungi ‘ibu’ mereka dari cengkeraman pabrik PT Semen Indonesia Tbk.
Namanya Sukinah, ibu berumur 38 tahun yang baru memiliki satu cucu dari anak perempuannya ini adalah satu dari ratusan warga kampung sekitar gunung Kendeng yang berada paling depan membela tanah mereka dari bahaya didirikannya pabrik semen.
“Gunung Kendeng itu kan tempatnya air, menghidupi sampai empat kabupaten,” tutur Sukinah saat diwawancarai ABI Press di KontraS, Selasa (9/12) dalam kunjungannya ke Jakarta mencari dukungan penghentian pendirian pabrik semen.
“Nanti kalau tanahnya dikeruk, airnya bisa habis. Padahal gunung Kendeng ini kan punyanya masyarakat semua, tapi kok malah dirusak sama pengusaha dan pemerintah?” keluh Sukinah.
Sukinah mengaku ia pribadi terus memperjuangkan dan melawan didirikannya pabrik semen ini justru karena ia adalah seorang wanita, seorang ibu.
“Bumi niku kan wis nyuwun tulung sak jane. Anakku tulungono aku, aku iki lagi kesusahan aku lagi nangis-nangis njaluk tulung. Kulo sebagai anake kan merasa terpanggil, dulur-dulur terpanggil. Kudu nyelametna gunung,” terang bu Sukinah dengan bahasa Jawanya yang medok. “Rumiyin mbah-mbah pejuang perjuangkan bumi pertiwi adus getih. Tapi kok arep dirusak begitu saja?”
Dipukul, Diinjak, Dilemparkan ke Semak-Semak Hingga Pingsan oleh Polisi
“Masih tetep kayak kemarin ya? Tenda-tenda harus dibubarkan. Ayo dibubarkan!”
Teriakan keras polisi yang memaksa ibu-ibu yang sedang menumbuk lesung sembari menyanyikan lagu Ibu Pertiwi itulah yang membekas di ingatan Murtini, sesaat sebelum ia ditarik oleh aparat yang merebut paksa lesung dan tumbukannya dari ibu-ibu.
“Aku ditarik-tarik, trus diinjek jempol kaki kanan sampe berdarah,” tutur Murtini. “Sendalku ilang, sendal japit wernane siji kuning, siji ijo.”
Saat ditarik dan diinjak oleh polisi inilah Murtini yang mengaku sama sekali tak bersenjata terpaksa menggigit tangan polisi di dekatnya untuk melepaskan diri hingga membuat ia dipukul oleh polisi tersebut.
Saat Murtini mengatakan bahwa yang memukulnya bernama Mahmud, saat mendengar polisi tersebut justru menantang, “Yo, Bu! Mahmud. Tulis sing gede-gede!” tutur Murtini.
Tak hanya dirinya, ibu lainnya, Paedah juga sampai pingsan dipukul oleh preman pabrik semen. Juga Rusman yang dilihatnya dipukuli tiga orang polisi pada insiden tanggal 27 November 2014 lalu.
Saat ditanya apakah putri satu-satunya, Novita Sari yang sedang mondok di Blora tahu apa yang terjadi dengan dirinya, Murtini menjawab ia tak memberitahu anaknya. “Ngko ngganggu ngajine,” jawab Murtini yang menceritakan sehari sebelum dipukul polisi, anaknya yang tak tahu musibah yang menimpa ibunya itu mengirim sms minta tambahan uang untuk bekal ngajinya di pondok.
Murtini juga menuturkan bahwa saat insiden 16 Juni 2014 pun ia menjadi korban kekerasan aparat polisi yang bukannya melindungi warga malah menyerang warga.
“Waktu demo kulo diseret polisi kaleh. Trus kulo balik malih blokir jalan, diseret manih ning pinggir jalan,” terang Murtini. “Kulo nganti mbrangkang-mbrangkang (merangkak), trus niku dilempar karo polisi sekawan ning semak. Ngantos polisine derek kecemplung setunggal. Aku langsung pingsan.”
Murtini sadar dari pingsannya baru saat mendengar banyak orang menangisinya. Ia dibawa ke rumahnya dan dirawat oleh dokter Hesti.
Meski mendapatkan kekerasan dari aparat kepolisian yang mestinya melindungi warga, Murtini mengaku ia tak gentar. Ia akan tetap membela dan mempertahankan tanah warga dari cengkeraman pabrik semen yang bisa menghancurkan alam gunung Kendeng.
“Kulo tetep semangat. Kulo mboten ajrih mboten nopo,” tegas Murtini.
Sukinah pun menegaskan hal yang sama. Saat ada polisi yang mengancam akan menangkapnya ia justru menantang polisi itu. “Cekelen (tangkap) pak aku wong tani. Monggo nek arep dicekel. Tak ngonokno sisan mas,” ujar Sukinah.
“Sing koruptor sing maling wae gak dikapak-kapakno. Lah aku memperjuangkan lingkungan. Podo memperjuangkan NKRI dicekel iku trus piye?” tantang Sukinah, membuat polisi itu diam seribu bahasa.
Murtini dan Sukinah terus tegar berjuang. Darah Kartini mengalir kental di tubuh mereka. Di tubuh ibu-ibu Rembang yang bersatu melawan kerakusan pemilik modal yang ingin menggagahi bumi pertiwi. Merekalah Kartini-Kartini masa kini. (Muhammad/Yudhi)