Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Sisi Lain Hari Solidaritas Palestina

ABI Press

Hingga saat ini permasalahannya belum juga usai. Antara bangsa yang mempertahankan diri dan tanah airnya dengan sekelompok orang yang tiba-tiba datang dari berbagai negara yang kemudian mendirikan sebuah “Negara” secara paksa di tanah Palestina. Israel namanya. Pro-kontra bermunculan, antara pihak yang merestui Israel berdiri, dan pihak yang menentang dengan alasan penjajahan. Jutaan warga Palestina mengungsi, diusir dari tanah kelahirannya, dibantai, dan tanahnya dirampas begitu saja. Inilah yang membuat mayoritas masyarakat dunia yang cinta kedamaian dan keadilan menjadi geram, dan marah serta sulit untuk tidak mengatakan bahwa bangsa Israel adalah penjajah di tanah Palestina.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Mujtahid Hashem, Direktur Voice of Palestine (VOP). Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terus bergerak menyuarakan kemerdekaan bangsa Palestina di Indonesia.  “Bahkan mereka lebih keji dibanding Belanda saat di Indonesia dulu. Belanda ketika datang ke Indonesia betul mereka membentuk sebuah pemerintahan tapi tidak sampai mengusir orang Indonesia keluar dari Indonesia,” tutur Mujtahid ketika ditemui tim ABI Press, Jumat (28/11). Bahkan menurutnya, hingga saat ini tak kurang dari 7 juta warga Palestina menjadi pengungsi.

“Namun jika itu hanya dipahami sebagi konflik antara Palestina dan Israel, atau Zionis yang ada di Palestina saja, itu salah!” ungkap Mujtahid. Karena menurutnya, tanpa dukungan koalisi Internasional yang sekarang ingin menguasai PBB yang juga diwakili Amerika, Eropa, dan seluruh aliansinya, tidak mungkin rezim Zionis bercokol di Palestina hingga saat ini.

Lalu, bagaimana peran Amerika dalam penyelesaian masalah ini?

Terakhir kali ABI Press mengikuti perkembangan pembahasan ini di Pusat Kebudayaan Amerika di Jakarta pertengahan November lalu. Sebagai salah satu pendukung rezim Zionis, pihak Amerika mengadakan acara Titik-Temu Islam dengan Yahudi yang dalam isi pembahasannya juga menyangkut masalah Palestina. Sebagaimana kita tahu bahwa mayoritas penduduk Palestina adalah Islam, dan rezim Zionis berasal dari bangsa Yahudi. Dalam acara itu, dihadirkan dua narasumber. Rabi Marc Schneier (Presiden The Foundation for Ethnic Understanding) mewakili Yahudi, dan Imam Shamsi Ali (Imam Masjid Jamaica Muslim Center New York) dari pihak Islam.

Bagaimana Islam memandang zionisme?

ABI Press_Titik Temu Islam-YahudiShamsi Ali dalam kesempatan itu menjelaskan bahwa Muslim tak perlu melampiaskan kemarahan terus-menerus. “Kalau kita lihat dalam Al-Quran, kita disuruh menahan kemarahan itu, bukan tidak marah tapi marah itu kita tahan kemudian diekspresikan dalam hal yang positif,” tutur Shamsi Ali. Sebab menurutnya, kelompok perlawanan yang diwakili Hamas dan bersikukuh menghapus Israel justru dihadapkan pada kenyataan sebaliknya, semakin lama tanah Palestina semakin berkurang, tidak bertambah. Ia juga berpendapat, untuk menyelesaikan permasalahan ini harus dilakukan banyak pendekatan berbagai pihak, dan mencari formulasi baru yang rasional untuk mencapai kemerdekaan.

Rasional seperti apa?

“Jadi ada slogan yang disampaikan oleh Hamas bahwa Israel harus dihapus dari peta dunia, retorika seperti itu yang tidak perlu! Yahudi itu kan, kita juga harus punya empati bahwa mereka juga punya sejarah ketakutan yang luar biasa, jadi yang saya maksudkan rasional di sini adalah dalam proses ke depan ini, saya belum punya formula juga secara pribadi, tapi yang pasti saya tidak setuju kalau hanya emosi yang kita kedepankan karena sudah terlalu banyak korban. Setelah anak-anak, wanita meninggal, sepuluh ribu rumah dihancurkan lalu kita mengatakan kita menang, karena Israel sudah keluar, kemenangannya dimana?” tanya Shamsi Ali. “Kita harus menahan diri sekarang, dan memikirkan formula penyelesaiannya. Orang Islam dari luar kebanyakannya berpura-pura membantu, dalam artian, seoalah-olah temen-temen di luar ini lebih Palestina dari orang Palestina sendiri, padahal lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan domestik politik,” pungkas Shamsi Ali.

Rabi Marc Schneier mewakili Yahudi berpendapat, ada Muslim yang baik dan yang tidak baik. Begitu juga dengan Yahudi. “Saya tidak melihat ini sebagai konflik Arab-Israel, atau Muslim-Yahudi, tapi saya pikir ini konflik antara suara moderat dan suara para ekstremis,” tuturnya. Ia juga menjelaskan bahwa antara Yahudi dan Israel tidak dapat dipisahkan. “Memisahkan Yahudi dengan Israel, sama halnya memisahkan Halal dari Islam,” tambahnya.

Ia menambahkan bahwasanya sudah lebih dari 2000 tahun ketika meninggalkan tanah Israel selalu berdoa setiap hari agar Israel bagi mereka bukan hanya 67 tahun. “Tanah Isarel itu adalah keyakinan dasar kami sebagai Yahudi,” kata Marc Schneier.

ABI Press_Titik Temu Islam-YahudiMarc Schneier berharap dalam konflik ini, terutama bagi masyarakat Indonesia ada yang menyuarakan juga suara Isreal, dan tidak hanya suara dari satu sisi yaitu Palestina, “Saya ingin mendengar kata Israel, sebab sangat kecil sekali Anda semua mempunyai rasa sensitif terhadap kami dan anda harus memahami keyakinan Yahudi dan itulah tujuan yang ingin saya capai di Indonesia,” harap Marc Schneier.

Bagaimana dengan tuduhan bahwa Israel menjajah Palestina?

“Saya kira tidak, saya kira Muslim harus menentang Hamas, saya tidak melihat adanya perbedaan antara Hamas dan ISIS, saya pikir keduanya adalah buruk dan jahat. Maaf, tapi Israel diserang oleh Hamas. Sebagai contoh jika ada roket yang meluncur ke Jakarta, tentu kalian akan merespon juga,” pungkasnya.

Lain halnya dengan Mujtahid Hashem, ia berpendapat apa yang dilakukan Amerika terkait isu solusi masalah Palestina hanyalah retorika, sebagai upaya pengalihan isu dan memecah konsentrasi perlawanan terhadap rezim Zionis Israel. “Kalau memang berniat membantu, dari dulu Palestina sudah merdeka,” ungkapnya. “Saya melihat Palestina akan merdeka misalnya kita mendukung perlawanan terhadap rezim Israel. Dialog, proses perdamaian, ya hanya akan berhenti di proses saja, perdamaian itu tidak akan tercapai tanpa negara Palestina berdiri, berdaulat di seluruh wilayah Palestina,” jelas Mujtahid Hashem.

Mengenai pernyataan Marc Schneier, Mujtahid Hashem menegaskan, walaupun orang Israel tidak setuju disebut penjajah tapi realitas yang terjadi sebetulnya adalah bentuk penjajahan. Lebih lanjut ia menjelaskan, mereka (kelompok Yahudi) datang dari berbagai tempat didukung koalisi Internasional dan menancapkan kekuatannya di Palestina kemudian membuat sebuah pemerintahan, sebuah negara yang sangat diskriminatif. Negara yang menyatakan bagi orang Yahudi di seluruh dunia bahwa mereka mempunyai hak datang ke Israel dan diakui sebagai warganegara. “Mereka ini datang dan melakukan pengusiran terhadap penduduk asli yang ada di Palestina. Sulit dikatakan sebagai bukan penjajah,” ujar Mujtahid.

Mengkritisi Marc Schneier terkait pernyataannya, Mujtahid menjelaskan bahwa Hamas dengan ISIS jauh berbeda. Dan pernyataan Marc Schneier tidak benar. “Hamas itu gerakan perlawanan terhadap penjajah di negara Palestina. Berbeda dengan ISIS. ISIS itu dari berbagai dunia, datang kesana mendeklarasikan sebuah negara dan tanahnya juga tidak jelas. Yang dilakukan Hamas adalah gerakan perlawanan dan pembebasan, tapi yang dilakukan oleh ISIS ini tidak, justru penindasan,” ungkapnya.

Bagaimana dengan hari solidaritas Palestina 29 November yang ditetapkan PBB?

“Nah, memang untuk yang tanggal 29 November ini kita tidak mengenalkan secara khusus karena filosofinya. PBB menetapkan tanggal 29 November sebagai hari solidaritas bangsa Palestina mengacu pada resolusi 181 tahun 1947 tanggal 29 November dimana tanah Palestina itu dibagi menjadi dua. Israel untuk orang Yahudi dan Palestina untuk orang Arab. Dimana Yerusalem itu di bawah kontrol Internasional, rezim Internasional (PBB).”

Dari segi itu banyak yang menentang. Ada hak apa, PBB membagi Palestina menjadi 2 bagian wilayah berdasarkan etnik seperti itu? Tidak rasional, dan sampai sekarang masih banyak pihak yang menolak itu. Sebab itu 29 November yang ditetapkan PBB sebagai hari solidaritas Palestina tidak banyak disambut oleh masyarakat dunia termasuk lslam. Bahwasanya tanah Palestina itu milik bangsa Palestina. Tidak harus dibagi. Palestina bisa dihuni orang Yahudi, orang Arab, orang Islam, bisa juga orang Kristen dan mempunyai hak yang sama. “Bukan dibagi berdasarkan etnik atau agama, ini akan terjadi kekacauan yang luar biasa,” pesan Mujtahid Hashem.

ABI PressKalau dalam konteks pembelaan bangsa Palestina secara umum menurutnya tidak masalah pada tanggal 29 November. “Cuma, kita menolak sebenarnya jika itu dijadikan momentum, semacam 29 November sebagai solidaritas Palestina bagian dari legitimasi eksistensi rezim Zionis Israel. Kenapa? Karena PBB memperingati ini karena menurut dia wilayah Palestina itu dibagi dua. Kalau dibagi dua mestinya Palestina itu sudah menjadi negara, nyatanya sampai sekarang tidak, yang ada Israel. Maka PBB perlu membangun solidaritas untuk mendukung negara Palestina. Secara filosofi ini kurang tepat,” terang Mujtahid Hashem.

Adakah kaitan ISIS di Timur Tengah dengan upaya pelemahan perlawanan Palestina terhadap Zionis?

“Saya melihat bahwa apa yang dilakukan ISIS di Timur Tengah adalah projek pengalihan isu. Dari isu Palestina menjadi isu ISIS. Kita berjuang menjadikan Palestina menjadi isu utama, bagi masyarakat dunia yang cinta kebebasan, juga masyarakat Muslim terhadap permasalahan yang terjadi di dunia. Palestina itu menjadi masalah utama yang harus segera diselesaikan. Banyak yang melihat ini sebagai proyek zionis, koalisi Internasional untuk mendistabilisasi wilayah-wilayah di sekitar Israel. Karena kalau misalnya kita baca dokumen dari Kementerian Luar Negeri Israel bahwa untuk menjaga eksistensi rezim Zionis ini ya salah satunya mendistabilisasi wilayah sekitar Palestina. Sehingga rezim Zionis ini semakin hari semakin kuat dan negara sekitarnya semakin lemah. Sebab itu ketika ada yang mengatakan bahwasannya Al-Qaeda yang ada di Timur Tengah, kemudian ISIS yang ada di Irak dan Suriah ini bagian dari proyek Zionis untuk melemahkan perlawanan, ya saya mengamini,” ungkapnya seraya menambahkan bahwasanya banyak NGO yang ada di Palestina dan di berbagai wilayah di dunia, dengan adanya isu ISIS yang ada di Irak dan Suriah, membuat konsentrasi atas isu Palestina menjadi berkurang daripada sebelumnya.

Apa pentingnya mendukung Palestina?

“Kita sekarang melihat, Palestina dijajah, haknya diambil, dan ternyata penderitaan yang dialami bangsa Palestina dan keberadaan rezim Zionis Israel tak lepas dari konteks hegemoni power, yang mendukung eksistensi penjajah di Palestina itu. Dalam konteks seperti itu Palestina juga butuh dukungan Internasional yang tentunya anti terhadap kezaliman.”

“Setidaknya ada 3 alasan kenapa harus membantu Palestina. Pertama, alasan kemanusiaan. Kita sebagai manusia yang ngin merdeka tentunya. Kalau misalkan kita merdeka dan ada orang yang ditindas, kemudian kita diam, itu kan dipertanyakan kemanusiaannya.”

“Kedua, yang menjadi alasan, kita sebagai bangsa Indonesia tentunya. Pembelaan terhadap bangsa Palestina itu sebagai suatu kewajiban konstitusional. Kalau ada satu orang Indonesia yang tidak mendukung kemerdekaan bangsa Palestina itu sebenarnya dia tidak mengerti konstitusi yang telah kita tetapkan bersama. Sebab itu Indonesia lewat Konferensi Asia-Afrika kemudian juga gerakan Non-Blok, dulu ketika digagas Soekarno ingin memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina, itu adalah tugas konstitusional. Tugas bangsa Indonesia. Dan jika pemerintah Indonesia tidak melakukan itu berarti inkonstitusional sebenarnya.”

“Nah, kita sebagai bangsa Indonesia, saya di LSM, sebagai masyaraat sipil mengajak masyarakat Indonesia mendukung cita-cita mulia ini. Cita cita bangsa Indonesia kan cita-cita yang mulia. Cita-cita mulia yang tersirat bahwasanya kita ingin membebaskan masyarakat dunia dari penindasan, perbudakan dan dari penjajahan.”

“Alasan ketiga, sebagai Muslim ada tugas keagamaan juga. Bahwa dukungan kita terhadap bangsa Palestina adalah bagian dari satu ibadah. Membela yang tertindas dan melakukan perlawanan terhadap kezaliman.”

Apa saja jenis aktivitas yang dilakukan dalam mendukung cita-cita Palestina merdeka?

“Di kita, bentuk kegiatan solidaritas Palestina itu banyak. Yaumul Quds (Quds Day) yang kita lakukan setiap tahun, kemudian kita juga melakukan peringatan Nakba setiap 16 Mei, atau tanggal 30 Maret sebagai hari Palestine Land Day. Semua itu bagian dari solidaritas masyarakat dunia terhadap kemerdekaan bangsa Palestina.”

Terlepas dari sejarah ditentukannya hari solidaritas Palestina oleh PBB yang menurut Mujtahid Hashem secara filosofis kurang tepat maknanya, sebagian orang tetap menyambutnya dengan beragam cara. Sebagai contoh, konser peduli Palestina yang bertema “Konser Perdamaian” yang rencananya akan dilangsungkan di Istora Senayan, Jakarta. Hal itu menurut Mujtahid tidak masalah selama dukungan itu bersifat dukungan bagi kemerdekaan Palestina secara umum, bukan dari susut pandang PBB.

Sekadar catatan, ketika sebagian kaum muslimin membincang Palestina, sebagian orang yang mengatasnamakan Islam justru sedang merancang acara yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok Islam selain mereka.

Deklarasi Nasional anti Syiah di GarutSekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Nasional Anti Syiah (ANAS) itu ingin mendeklarasikan diri secara terbuka dengan mengusung slogan “Perkokoh Barisan Ahlusunnah, Tolak Syiah Rafidhah” di masjid Agung, Garut, Jawa Barat.

Seperti yang kami beritakan sebelumnya, ANAS telah mendeklarasikan diri di Bandung Jawa Barat beberapa bulan lalu, dan telah menimbulkan korban (baca berita pemukulan wartawan ABI Press).

Entah apakah ini merupakan bagian dari proyek rezim Zionis dalam mengalihkan isu Palestina atau tidak, yang jelas, acara tersebut bertolak belakang dengan kesepakatan ulama sedunia dalam Risalah Amman (baca:  Risalah Amman) yang menyepakati beberapa hal terkait persatuan umat Islam yang di antaranya menegaskan bahwa Syiah merupakan bagian dari Islam.

Penolakan sekelompok orang yang mengaku Islam terhadap Muslim Syiah tidak hanya dapat menjadi pengalih isu Palestina, melainkan dapat memicu perpecahan di tengah kaum muslimin. (Lutfi-Malik/Yudhi)