Berita
Peran Kunci Perempuan Dalam Kelompok Radikal
Gerakan-gerakan radikal dan ekstrem tercatat sangat keras dalam aksi-aksinya. Baik dari tulisan, hujatan-hujatan verbal, hingga melakukan pemukulan, pembakaran, dan kekerasan fisik yang tak jarang menumpahkan darah sesama. Tak heran gerakan radikal dan fundamentalis terkesan sangat maskulin, jauh dari pengaruh feminitas kaum perempuan. Tapi benarkah demikian?
Lanny Octavia, dari Yayasan Rumah Kitab yang meneliti peran perempuan dalam gerakan-gerakan radikal ini justru menunjukkan fakta yang sebaliknya.
Salah satu pembicara dalam kajian bulanan Jaringan Islam Liberal (JIL) bertema “Peran Perempuan ‘Fundamentalis’ Dalam Gerakan Islam Fundamental,” Rabu (26/11) ini justru menyebutkan tanpa peran perempuan, kelompok fundamentalis ini akan lumpuh.
“Tak mungkin mereka eksis tanpa peran perempuan,” ungkap Lanny yang sudah mewawancarai 20 akhwat di kelompok ini. Dari NII, Hizbut Tahrir, Kader PKS, hingga Wahhabi Salafi. “Kelompok ini berkembang justru melalui perekrutan ikatan pernikahan. Reproduksi bagi mereka merupakan peran ideologis. Banyak anak bagi mereka merupakan kebanggaan. Jangan heran, meski pun ‘sakitnya tuh di sini’, mereka menerima poligami karena merupakan bagian dari ideologi.”
“Perempuan juga berperan sebagai simbol identitas kelompok, instrumen yang sangat efektif untuk menerapkan ideologi kelompoknya,”lanjut Lanny. “Juga berperan sebagai timses gerakan, kaderisasi, dan pencitraan demi dukungan publik.”
Mengapa Perempuan Terpengaruh Kelompok Fundamentalis?
Bukan rahasia lagi jika kelompok fundamentalis dalam doktrin ajarannya menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior dibanding lelaki. Lantas mengapa banyak perempuan yang terpengaruh kelompok ini?
“Ada rongga besar kebutuhan afeksi yang ditawarkan oleh kelompok ini dengan konsep akhi-ukhti, ikhwan-akhwat, usrah, dan sejenisnya yang memberikan rasa keamanan, kedekatan dan kekeluargaan,” terang Dr. Yuniati Chuzaifah, pembicara dari Komnas HAM.
“Selain itu, metode pengajaran pendidikan agama kelompok ini, meski dogmatik, tetapi tampil dengan metode partisipatif, atraktif dan menarik,” lanjut Yuniati. “Apalagi karena dibawakan oleh ustad-ustadnya yang menawan, charming. Jauh berbeda dengan guru-guru agama di sekolah yang kaku. Ini yang membuat banyak perempuan tertarik.”
Di akhir diskusi, Yuniati menekankan pentingnya peran keluarga, terutama Ibu dalam menjaga putra-putrinya dari pengaruh kelompok-kelompok ini. Ia mencontohkan bagaimana di Pakistan, pemerintah menggerakkan ibu-ibu untuk menjaga anaknya dari pengaruh fundamentalisme. (Muhammad/Yudhi)